Kontroversi
Akuisisi PGN
Irene Handika ; Dosen Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
04 Februari 2014
POLEMIK
akuisisi Perusahaan Gas Negara oleh Pertamina menjadi babak baru sebagai
kelanjutan dari perdebatan open access dan unbundling yang sengit disuarakan
tahun lalu. Muncul opsi reaktif agar seluruh pemangku kepentingan di bidang
usaha gas melalui pipa menyepakati dua skema besar itu. Namun, ada dua
permasalahan dasar dalam polemik ini, apakah kedua skema yang didalilkan itu
secara konstitusional sudah benar?
Betulkah mengawinkan dua badan
usaha negara untuk melaksanakan skema di atas dapat memperkuat hak negara
menguasai sumber daya gas sekaligus memakmurkan rakyat?
Mari kita lihat satu per satu.
Pertama, kesesuaian dengan konstitusi. Pasal 1 Ayat (3) Konstitusi
menyatakan, Indonesia adalah negara hukum sehingga segala pilihan dalam
penyelenggaraan negara wajib berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dilihat secara historis, open
access memang diamanahkan oleh Pasal 8 Ayat (3) UU Migas yang
mendalilkan ”pengusahaan pengangkutan gas bumi melalui pipa yang menyangkut
kepentingan umum diatur agar pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai”.
Diatur demikian karena jaringan pipa dianggap sebagai sarana yang bersifat
monopoli alamiah.
Masalahnya, pasal itu
multi-interpretasi: apakah dimaksudkan sepanjang kegiatan usaha pengangkutan
menyangkut kepentingan umum maka pipa dapat dimanfaatkan oleh semua pemakai,
atau dimaknai sebagai kebijakan karena usaha pengangkutan melalui pipa
dianggap berkaitan dengan penyelenggaraan kepentingan umum.
Dilihat dari konstruksi pengaturan
usaha hilir di UU Migas, open access bukan norma yang bersifat
imperatif.
Tidak ada sanksi terhadap badan
usaha yang tidak melaksanakannya. Mengacu pada konstruksi UU Migas, Pasal 29
Ayat (1) dan (2) menyatakan, ”Pada wilayah yang mengalami kelangkaan dan
daerah-daerah terpencil, fasilitas pengangkutan termasuk fasilitas
penunjangnya dapat dimanfaatkan bersama pihak lain, berdasarkan pertimbangan
aspek teknis dan ekonomis”, menjadikan penerapan open access bersifat kondisional.
Pasal 30 memberi pemerintah
keleluasaan untuk mengatur Pasal 29 lebih lanjut, tetapi dengan baju berupa
PP dan tentunya tidak bertentangan dengan UU ini.
Lebih lanjut
mengenai unbundling, yang tekstual diatur UU Migas ialah menyangkut
pemisahan usaha hulu dan hilir (non
vertical integration).
Tidak ada unbundling yang
tekstual dimaksudkan sebagai spin off antar-usaha hilir (niaga dan
pengangkutan), seperti yang diatur oleh Permen ESDM No 19/2009.
Perlu diatur
Unbundling diatur karena
praktik di negara-negara yang menganut liberalisasi gas memaketkan open access bersama unbundling.
Sebagai legitimasi kemudian dicari
Pasal UU Migas yang relevan, dimulai dari Pasal 1 angka 10 yang mengartikan
kegiatan hilir berintikan pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan, dan/atau niaga. Artinya, ada peluang untuk memisahkan usaha
niaga tersendiri.
Kemudian Pasal 23 Ayat (3)
menyatakan, ”Badan usaha dapat diberi lebih dari satu izin usaha sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dapat diartikan peluang dipisahkan
ada pada peraturan perundang-undangannya. Benarkah itu yang dimaksud?
Dilihat dari historisnya tidak,
pasca-UU Migas diundangkan skema bundled
dibolehkan oleh peraturan yang lebih superior, seperti PP No 67/2002 dan PP
No 36/2004, dan mengemuka justru melalui Permen ESDM No 19/2009.
Terlebih, posisi Pasal 23 di
bagian perizinan hendaknya dimaknai kebolehan memiliki lebih dari satu izin
usaha didasarkan pada terpenuhinya prasyarat sekaligus tidak bertentangan
dengan peraturan lain yang relevan, misalnya dengan UU No 5/1999.
Kedua, peraturan derivat yang
mengatur open access dan unbundling secara terselubung
dapat mematikan usaha pengangkutan, misalnya kebolehan bagi usaha niaga
membangun pipa dedicatedhilir dan kemudian oleh Pasal 19 Permen diberi
peluang sekaligus digunakan untuk usaha pengangkutan.
Tidak equal serta menciptakan rantai usaha yang lebih panjang dan
potensial menyuburkan broker.
Dalam kasus ini, Perusahaan Gas
Negara (PGN) yang selama ini mengusahakan pengangkutan dan niaga potensial
terkena imbas.
Diambillah langkah menghindari
badan usaha pemerintah dari kerugian sekaligus memperkuat dominasi pemerintah
dalam penguasaan gas dengan merangkul PGN dan Pertamina.
Demi rakyat
Tujuan baik yang sesuai dengan
filosofi bangsa sepanjang praktiknya mengakselerasi kemakmuran rakyat.
Konstitusi melalui Pasal 33 sudah
mengingatkan bahwa Hak Menguasai Negara satu paket dengan penyelenggaraan
kemakmuran rakyat.
Artinya, meskipun negara melalui
cabang produksinya (BUMN) dominan dan menguasai, tetapi tidak untuk
kemakmuran, maka bertentangan dengan konstitusi. Andai akuisisi terealisasi,
apakah operasi dengan skema open
access dan unbundling akan memakmurkan rakyat?
Skema itu baru, maka untuk
membantu menjernihkan dapat mengacu pada praktik negara lain.Open access dan unbundling diterapkan
di negara yang menganut liberalisasi gas, ini sudah bertentangan dengan Pasal
33 Konstitusi.
Mengenai manfaatnya, komparasi di
Amerika-Inggris dengan Rusia-Thailand menunjukkan akses terbuka dan unbundling meningkatkan harga
akibat tingginya volatilitas dan pengaruh terhadap penawaran dan permintaan.
Sebaliknya, di negara-negara yang
tidak menerapkan memiliki harga gas yang lebih rendah dengan tetap memiliki
kemungkinan kemampuan mengembangkan infrastruktur (Anton Ming-Zhi Gao:2010). Rakyat yang dirugikan akibat harga
tinggi.
Sebagai akhir, rencana akuisisi
perlu dikaji kembali karena ada hubungan erat dengan skema pengelolaan sumber
daya vital yang inkonstitusional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar