Akhir
Kartelisasi Partai
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti Politik Nasional, Pusat
Penelitian Politik (P2P), LIPI
|
KORAN
JAKARTA, 04 Februari 2014
Pemilu 2014 ini merupakan pemilu strategis
dalam perhelatan demokrasi elektoral di Indonesia sejak 2004 silam. Hal ini
disebabkan pemilu mendatang nantinya akan menandai dua momentum penting dalam
pembentukan preferensi politik pemilih.
Pertama, menguatnya politik figur ketimbang
politik partai. Sosok figur dinilai lebih natural dalam mempresentasikan
idealisme maupun sikap berpolitiknya daripada politik pencitraan yang seolah
dibuat retoris dan artifisial.
Kedua, menguatnya proses representasi dan
advokasi publik. Dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, tingkat
kecerdasan dan kematangan politik publik lebih kuat dalam melihat dinamika
politik yang serba abu-abu.
Adanya tingkat golongan putih yang semakin
menguat hingga pada pemilu 2009 silam mencatat hingga 70.99 persen menandakan
bahwa pemahaman politik publik sudah semakin cerdas dan memiliki
kecenderungan untuk memilih pilihan alternatif lain dalam pemilu mendatang.
Adanya dua hal tersebut tentu harus
disikapi secara matang dan rasional oleh partai politik maupun koalisi partai
akan bertarung pada pemilu 2014 mendatang.
Bahwa model party based government yang
memberikan justifikasi pada peran partai di pemeritahan dan legislatif
sebagai representasi publik sudah tidak relevan lagi untuk dibicarakan.
Dewasa kini, publik lebih menuntut adanya
peran aktif dari elite partai maupun elite pejabat publik untuk lebih
proaktif dalam menyambangi permasalahan riil di masyarakat.
Oleh karena itulah, perspektif voting
centric yang melihat publik sebagai partisipan pasif tentu sudah tidak berlaku
lagi. Publik ingin diangkat sebagai demos yang memiliki pengawasan langsung
terhadap kinerja wakilnya di legislatif maupun pemerintahan daerah.
Menguatnya proses representasi dan advokasi
publik memberikan sinyalemen negatif terhadap politik kartel yang telah
berlangsung selama ini.
Istilah kartel sendiri pertama kali
diungkapkan Slater (2004) yang menyebutkan kartel sebagai usaha untuk
membangun aliansi kekuasaan antara partai pemenang dengan partai kalah dalam
pemilu demi harmonisasi kekuasaan.
Partai pemenang membutuhkan suara partai
kalah untuk menjaga stabilitas kekuasaan dan meminimalkan suara kritis dari
pihak yang kalah terhadap jalannya pemerintahannya.
Maka, yang terjadi kemudian adalah proses
pragmatisme yang terjalin dalam dinamika kekuasaan yakni pengejaran terhadap
rente ekonomi, survivalitas, dan sustainibilitas kekuasaan.
Adapun karakteristik mendasar daripada
kelompok kartel sendiri kemudian meniadakan adanya batasan pemenang dan
oposisi, konteks ideologi, dan progam menjadi tidak penting untuk
dibicarakan, dan konsekuensi untuk masuk pemerintahan terbuka bagi semua
partai asal masuk menjadi anggota koalisi.
Politik kartel sejatinya bernuansa
transaksional dan hegemonic yang dibangun di atas logika transaksional dengan
memanfaatkan proses ketidakmatangan pemahaman demokrasi publik.
Hal itulah yang kemudian membuat
pemerintahan eksekutif dan legislatif selama kurun waktu 2004–2014 lebih
berorientasi kepada pemenuhan kepentingan elite dan partai ketimbang publik.
Adanya ketidaktegasan eksekutif dalam
mengeksekusi kebijakan dan menanggapi isu publik tentu berasal dari dinamika
politik kartel yang membangun kuasa presidensialnya.
Kondisi tersebut menjadikan model
pemerintahan kita semi parlementer karena besarnya intervensi politik partai
terlalu besar dalam pemerintahan.
Adanya korupsi oleh partai yang semakin
besar pasca Orde Baru maupun politisasi kebijakan publik yang acap kali
digunakan sebagai sapi perah pendanaan partai adalah hasil dari kartelisasi
kekuasaan. Hal itulah yang kemudian mendorong adanya proses dekartelisasi
kekuasaan pada pemilu 2014.
Dekartelisasi Politik
Maka, perhelatan Pemilu 2014 merupakan
jembatan dari dua proses, yakni proses transisi politik transaksional menuju
politik hati nurani dan memudarnya politik kartelisasi menuju menguatnya
representasi demos.
Revitalisasi publik sebagai demos sangatlah
menguat pada beberapa tahun terakhir sebagai respons atas pemberitaan negatif
terhadap partai maupun kandidasi yang senantiasa melakukan tindak pidana
korupsi maupun skandal lainnya.
Namun, yang perlu menjadi catatan adalah
revitalisasi demos ini masih digerakkan by
issue dan belum mengarah pada by
needs.
Tentunya menguatnya kritisisme demos dalam
pemilu 2014 mendatang hanyalah bersifat temporer belaka dan akan redup manakala
pemerintahan Pemilu 2014 sudah terbentuk.
Maka untuk melawan dekartelisasi sendiri,
perlu adanya proses institusionalisasi publik sebagai demos yang berperan
sebagai pengawas eksternal dalam proses politik.
Politik demos pada pemilu 2014 mendatang
akan menjadi determinan terbaik dalam memutus logika transaksional dan
kartelisasi politik selama ini. Namun, demos juga bisa hanya menjadi temporer
jika demos hanya digerakkan untuk mengkritisi sebuah isu saja sebagai basis
utama terbentuknya kesadaran politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar