Rabu, 05 Februari 2014

Akhir Kartelisasi Partai

Akhir Kartelisasi Partai

Wasisto Raharjo Jati  ;   Peneliti Politik Nasional, Pusat Penelitian Politik (P2P), LIPI
KORAN JAKARTA,  04 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Pemilu 2014 ini merupakan pemilu strategis dalam perhelatan demokrasi elektoral di Indonesia sejak 2004 silam. Hal ini disebabkan pemilu mendatang nantinya akan menandai dua momentum penting dalam pembentukan preferensi politik pemilih.
Pertama, menguatnya politik figur ketimbang politik partai. Sosok figur dinilai lebih natural dalam mempresentasikan idealisme maupun sikap berpolitiknya daripada politik pencitraan yang seolah dibuat retoris dan artifisial.

Kedua, menguatnya proses representasi dan advokasi publik. Dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, tingkat kecerdasan dan kematangan politik publik lebih kuat dalam melihat dinamika politik yang serba abu-abu.

Adanya tingkat golongan putih yang semakin menguat hingga pada pemilu 2009 silam mencatat hingga 70.99 persen menandakan bahwa pemahaman politik publik sudah semakin cerdas dan memiliki kecenderungan untuk memilih pilihan alternatif lain dalam pemilu mendatang.

Adanya dua hal tersebut tentu harus disikapi secara matang dan rasional oleh partai politik maupun koalisi partai akan bertarung pada pemilu 2014 mendatang.
Bahwa model party based government yang memberikan justifikasi pada peran partai di pemeritahan dan legislatif sebagai representasi publik sudah tidak relevan lagi untuk dibicarakan.

Dewasa kini, publik lebih menuntut adanya peran aktif dari elite partai maupun elite pejabat publik untuk lebih proaktif dalam menyambangi permasalahan riil di masyarakat.

Oleh karena itulah, perspektif voting centric yang melihat publik sebagai partisipan pasif tentu sudah tidak berlaku lagi. Publik ingin diangkat sebagai demos yang memiliki pengawasan langsung terhadap kinerja wakilnya di legislatif maupun pemerintahan daerah. 

Menguatnya proses representasi dan advokasi publik memberikan sinyalemen negatif terhadap politik kartel yang telah berlangsung selama ini.
Istilah kartel sendiri pertama kali diungkapkan Slater (2004) yang menyebutkan kartel sebagai usaha untuk membangun aliansi kekuasaan antara partai pemenang dengan partai kalah dalam pemilu demi harmonisasi kekuasaan.

Partai pemenang membutuhkan suara partai kalah untuk menjaga stabilitas kekuasaan dan meminimalkan suara kritis dari pihak yang kalah terhadap jalannya pemerintahannya.

Maka, yang terjadi kemudian adalah proses pragmatisme yang terjalin dalam dinamika kekuasaan yakni pengejaran terhadap rente ekonomi, survivalitas, dan sustainibilitas kekuasaan.

Adapun karakteristik mendasar daripada kelompok kartel sendiri kemudian meniadakan adanya batasan pemenang dan oposisi, konteks ideologi, dan progam menjadi tidak penting untuk dibicarakan, dan konsekuensi untuk masuk pemerintahan terbuka bagi semua partai asal masuk menjadi anggota koalisi.

Politik kartel sejatinya bernuansa transaksional dan hegemonic yang dibangun di atas logika transaksional dengan memanfaatkan proses ketidakmatangan pemahaman demokrasi publik.

Hal itulah yang kemudian membuat pemerintahan eksekutif dan legislatif selama kurun waktu 2004–2014 lebih berorientasi kepada pemenuhan kepentingan elite dan partai ketimbang publik.

Adanya ketidaktegasan eksekutif dalam mengeksekusi kebijakan dan menanggapi isu publik tentu berasal dari dinamika politik kartel yang membangun kuasa presidensialnya.

Kondisi tersebut menjadikan model pemerintahan kita semi parlementer karena besarnya intervensi politik partai terlalu besar dalam pemerintahan.

Adanya korupsi oleh partai yang semakin besar pasca Orde Baru maupun politisasi kebijakan publik yang acap kali digunakan sebagai sapi perah pendanaan partai adalah hasil dari kartelisasi kekuasaan. Hal itulah yang kemudian mendorong adanya proses dekartelisasi kekuasaan pada pemilu 2014.

Dekartelisasi Politik

Maka, perhelatan Pemilu 2014 merupakan jembatan dari dua proses, yakni proses transisi politik transaksional menuju politik hati nurani dan memudarnya politik kartelisasi menuju menguatnya representasi demos.

Revitalisasi publik sebagai demos sangatlah menguat pada beberapa tahun terakhir sebagai respons atas pemberitaan negatif terhadap partai maupun kandidasi yang senantiasa melakukan tindak pidana korupsi maupun skandal lainnya.

Namun, yang perlu menjadi catatan adalah revitalisasi demos ini masih digerakkan by issue dan belum mengarah pada by needs.

Tentunya menguatnya kritisisme demos dalam pemilu 2014 mendatang hanyalah bersifat temporer belaka dan akan redup manakala pemerintahan Pemilu 2014 sudah terbentuk.

Maka untuk melawan dekartelisasi sendiri, perlu adanya proses institusionalisasi publik sebagai demos yang berperan sebagai pengawas eksternal dalam proses politik.

Politik demos pada pemilu 2014 mendatang akan menjadi determinan terbaik dalam memutus logika transaksional dan kartelisasi politik selama ini. Namun, demos juga bisa hanya menjadi temporer jika demos hanya digerakkan untuk mengkritisi sebuah isu saja sebagai basis utama terbentuknya kesadaran politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar