Prasyarat Pemilu
Demokratis
Tjahjo Kumolo ; Sekjen PDI Perjuangan,
Anggota
Komisi I DPR (Bidang Pertahanan dan Intelijen)
|
SUARA
MERDEKA, 13 Februari 2014
BERBAGAI lembaga survei
memprediksi PDI Perjuangan unggul pada Pemilu 9 April 2014. Namun penulis dan
semua kader partai tak mau terlena. Penulis juga memberi catatan, dengan
syarat pemilu itu berlangsung demokratis dan tak terjadi kecurangan dalam
pelaksanaannya, termasuk oleh penyelenggara, yakni KPU/KPUD, serta Bawaslu
dan Panwaslu.
Catatan tersebut bertolak dari
pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2004 dan 2009 yang diwarnai dugaan
kecurangan, antara lain terlihat dari kekisruhan data daftar pemilih tetap
(DPT). Belum lagi masalah penggunaan teknologi informasi KPU yang tidak
optimal dan tidak transparan, serta indikasi keurangan lain yang ditengarai
banyak pihak.
Ada empat prasyarat supaya
Pemilu 2014 benar-benar bisa berlangsung fair dan demokratis. Pertama; KPU/
KPUD, Bawaslu, dan Panwaslu bersikap netral atau independen dan tegas.
Pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 independensi KPU dipertanyakan, dan itu
terbukti dengan bergabungnya salah seorang komisioner KPU ke partai politik
yang capresnya menang pada Pilpres 2004, dan bergabungnya salah seorang
komisioner KPU ke parpol pemenang Pemilu 2009.
Ke depan syarat menjadi
komisioner KPU harus diperketat, misal setelah berapa tahun seorang
komisioner atau mantan komisioner KPU bisa menjadi fungsionaris parpol.
Netralitas dan ketegasan ini menjadi prasyarat utama, karena sebagai
regulator, KPU/KPUD ibarat wasit di lapangan sepak bola.
Kedua; aparat keamanan seperti
TNI dan Polri juga harus netral. Pimpinan TNI dan Polri pada tiap tingkatan
tidak boleh memanfaatkan kekuasaannya untuk
memengaruhi atau bahkan
mengarahkan keluarga besar TNI dan Polri untuk memilih parpol tertentu. Sikap
netral TNI dan Polri dilandasi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Regulasi itu melarang prajurit TNI dan
anggota Polri terlibat dalam berbagai kegiatan politik praktis, termasuk jadi
anggota parpol, serta untuk dipilih jadi anggota legislatif dalam pemilu,
atau jabatan politis lain.
Terlebih secara internal,
Panglima TNI tahun 2008 juga telah mengeluarkan instruksi yang intinya
melarang prajurit TNI untuk menggunakan hak pilih dalam pemilu ataupun
pemilihan kepala daerah (pilkada) agar status TNI tetap netral dalam
politik.
Memasuki Pemilu 2014 Panglima TNI dan Kapolri telah beberapa kali menyampaikan
secara terbuka bahwa instansi yang dipimpinnya akan netral dan siap
mengamankan jalannya pesta demokrasi 2014.
Ketiga; memperbaiki sistem
teknologi informasi KPU supaya transparan. Sistem teknologi informasi KPU
pada Pemilu 2004 dan 2009 mengundang polemik dan kontroversi yang KPU sendiri
tidak konsisten mempertanggungjawabkannya. Akibatnya, sengketa pemilu dan
pilpres ditangani dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Teknologi
informasi Pemilu 2014 harus transparan dan akuntabel.
Keempat; menghilangkan peran
intelijen negara dalam penyelenggaraan pemilu. Karena itu itu, penulis
menolak Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) terlibat dalam pemilu mengingat dia
bagian dari intelijen. Lebih baik ia berada di luar, ahkan harus menjamin
pemilu berlangsung jujur, adil, dan demokratis. Termasuk bisa mengantisipasi
dan mendeteksi dini ancaman gangguan kamtibmas yang dapat mengancam
pelaksanaan pemilu yang jujur, adil dan demokratis tersebut.
Polri sudah memprediksi Pemilu
9 Juli 2014 dan Pilpres 9 Juli 2014 rawan konflik sosial antarmassa pendukung
parpol. Polri pun telah memetakan daerah mana saja yang rawan konflik
tersebut berdasarkan data pelaksanaan Pilkada 2012 dan 2013. Hal ini juga
sudah diantisipasi Polri, termasuk Polda Metro Jaya, dengan menggelar
simulasi penanganan gangguan pelaksanaan pemilu.
Terkait hal itu, penulis
meminta Badan Intelijen Negara (BIN) mendeteksi bibit konflik sosial bahkan
upaya menggagalkan pelaksanaan Pemilu 2014. Ada sejumlah faktor yang membuat
pemilu bisa gagal terlaksana, seperti aksi terorisme atau kerusuhan dan
permainan oknum-oknum intelijen dengan parpol tertentu berdasarkan emosi
sesaat. Namun, dalam menjalankan perannya, aparat BIN harus bekerja
profesional, tidak boleh berpihak pada kepentingan parpol tertentu.
Dalam mengawal pelaksanaan
Pemilu 2014, TNI dan Polri harus bersinergi. Sinergi ini sudah diatur dalam
undang-undang. Dalam melaksanakan sinergi itu, kedua organ itu harus tetap
menjaga netralitas dan independensi. Bagaimana pun, khususnya aparat
intelijen, harus netral serta didukung ketercukupan anggaran dari APBN/D yang
transparan dan akuntabel dalam penggunaannya, agar tak dimanfaatkan sebagai
alat pemenang parpol tertentu melalui politik uang.
Dalam konteks ini, masyarakat,
parpol, pers, dan LSM perlu bersama-sama mengawasi supaya TNI/Polri tetap
netral dan tidak mengambil ruang di panggung politik. Berbagai elemen
masyarakat, termasuk TNI/Polri, harus berani menentukan sikap ìsiapa kawan
siapa lawanî bila ada pihak-pihak yang hendak merusak kedemokratisan Pemilu 2014.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar