Jumat, 14 Februari 2014

Prasyarat Pemilu Demokratis

                    Prasyarat Pemilu Demokratis

 Tjahjo Kumolo   ;   Sekjen PDI Perjuangan,
Anggota Komisi I DPR (Bidang Pertahanan dan Intelijen)
SUARA MERDEKA,  13 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
BERBAGAI lembaga survei memprediksi PDI Perjuangan unggul pada Pemilu 9 April 2014. Namun penulis dan se­mua kader partai tak mau terlena. Penulis juga memberi catatan, dengan syarat pemilu itu berlangsung demokratis dan tak terjadi kecurangan dalam pelaksanaannya, termasuk oleh penyelenggara, yakni KPU/KPUD, serta Bawaslu dan Panwaslu.

Catatan tersebut bertolak dari pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2004 dan 2009 yang diwarnai dugaan kecurangan, antara lain terlihat dari kekisruhan data daftar pe­milih tetap (DPT). Belum lagi masalah penggunaan teknologi informasi KPU yang tidak optimal dan tidak transparan, serta indikasi keurangan lain yang ditengarai banyak pihak.

Ada empat prasyarat supaya Pemilu 2014 benar-benar bisa berlangsung fair dan demokratis. Pertama; KPU/ KPUD, Bawas­lu, dan Panwaslu bersikap netral atau inde­pen­den dan tegas. Pada Pemilu 2004 dan Pe­mi­lu 2009 independensi KPU dipertanya­kan, dan itu terbukti dengan berga­bung­nya salah seorang komisioner KPU ke partai politik yang capresnya menang pada Pilpres 2004, dan bergabungnya salah seorang komisioner KPU ke parpol pemenang Pemilu 2009.

Ke depan syarat menjadi komisioner KPU harus diperketat, misal setelah berapa tahun seorang komisioner atau mantan komisioner KPU bisa menjadi fungsionaris parpol. Netralitas dan ketegasan ini menjadi prasyarat utama, karena sebagai regulator, KPU/KPUD ibarat wasit di lapangan sepak bola.

Kedua; aparat keamanan seperti TNI dan Polri juga harus netral. Pimpinan TNI dan Polri pada tiap tingkatan tidak boleh memanfaatkan kekuasaannya untuk 
memengaruhi atau bahkan mengarahkan keluarga besar TNI dan Polri untuk memilih parpol tertentu. Sikap netral TNI dan Polri dilandasi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Regulasi itu melarang prajurit TNI dan anggota Polri terlibat dalam berbagai kegiatan politik praktis, termasuk jadi anggota parpol, serta untuk dipilih jadi anggota legislatif dalam pemilu, atau jabatan politis lain.
Terlebih secara internal, Panglima TNI tahun 2008 juga telah mengeluarkan instruksi yang intinya melarang prajurit TNI untuk  menggunakan hak pilih dalam pemilu ataupun pemilihan kepala daerah (pilkada)  agar status TNI tetap netral dalam politik. 

Memasuki Pemilu 2014 Panglima TNI dan Kapolri telah beberapa kali menyampaikan secara terbuka bahwa instansi yang dipimpinnya akan netral dan siap mengamankan jalannya pesta demokrasi 2014.

Ketiga; memperbaiki sistem teknologi informasi KPU supaya transparan. Sistem teknologi informasi KPU pada Pemilu 2004 dan 2009 mengundang polemik dan kontroversi yang KPU sendiri tidak konsisten mempertanggungjawabkannya. Akibatnya, sengketa pemilu dan pilpres ditangani dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Teknologi informasi Pemilu 2014 harus transparan dan akuntabel.

Keempat; menghilangkan peran intelijen negara dalam penyelenggaraan pemilu. Ka­rena itu itu, penulis menolak Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) terlibat dalam pemilu mengingat dia bagian dari intelijen. Lebih baik ia berada di luar, ahkan harus menjamin pemilu berlangsung jujur, adil, dan demo­kratis. Termasuk bisa mengantisipasi dan mendeteksi dini ancaman gangguan kamtibmas yang dapat mengancam pelaksanaan pe­milu yang jujur, adil dan demokratis tersebut.

Polri sudah memprediksi Pemilu 9 Juli 2014 dan Pilpres 9 Juli 2014 rawan konflik sosial antarmassa pendukung parpol. Polri pun telah memetakan daerah mana saja yang rawan konflik tersebut berdasarkan data pelaksanaan Pilkada 2012 dan 2013. Hal ini juga sudah diantisipasi Polri, termasuk Polda Metro Jaya, dengan menggelar simulasi penanganan gangguan pelaksanaan pemilu.

Terkait hal itu, penulis meminta Badan Intelijen Negara (BIN) mendeteksi bibit konflik sosial bahkan upaya menggagalkan pelaksanaan Pemilu 2014. Ada sejumlah faktor yang membuat pemilu bisa gagal terlaksana, seperti aksi terorisme atau kerusuhan dan permainan oknum-oknum intelijen dengan parpol tertentu berdasarkan emosi sesaat. Namun, dalam menjalankan perannya, aparat BIN harus bekerja profesional, tidak boleh berpihak pada kepentingan parpol tertentu.

Dalam mengawal pelaksanaan Pemilu 2014, TNI dan Polri harus bersinergi. Sinergi ini sudah diatur dalam undang-undang. Dalam melaksanakan sinergi itu, kedua organ itu harus tetap menjaga netralitas dan independensi. Bagaimana pun, khususnya aparat intelijen, harus netral serta didukung ketercukupan anggaran dari APBN/D yang transparan dan akuntabel dalam penggunaannya, agar tak dimanfaatkan sebagai alat pemenang parpol tertentu melalui politik uang.

Dalam konteks ini, masyarakat, parpol, pers, dan LSM perlu bersama-sama mengawasi supaya TNI/Polri tetap netral dan tidak mengambil ruang di panggung politik. Berbagai elemen masyarakat, termasuk TNI/Polri, harus berani menentukan sikap ìsiapa kawan siapa lawanî bila ada pihak-pihak yang hendak merusak kedemokratisan Pemilu 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar