NU dan Godaan Politik
2014
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Litbang PW Fatayat NU DIY,
Peneliti
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 13 Februari 2014
“Restu
politik NU selalu diburu, karena jutaan warga NU tersebar di semua daerah di
Indonesia.”
Iklan
politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam menyambut hari lahir (harlah)
Nahdlatul Ulama ke-88 mengundang banyak tanya.
Pasalnya,
iklan yang tayang di televisi menampilkan sosok KH Said Aqil Siraj, Ketua
Umum PBNU, dalam rangkaian satu paket iklan. Publik tentu saja mempunyai
asumsi masing-masing. Tetapi, iklan politik tersebut membangun asumsi sangat
mendasar, bahwa NU ditafsirkan “hanya” mendukung PKB dalam gelanggang politik
2014.
Ini
tak lain karena NU ibarat gadis cantik yang dalam sejarah politik di
Indonesia suaranya selalu diperebutkan oleh partai politik. Restu politik NU
selalu diburu, karena jutaan warga NU tersebar di semua daerah di Indonesia.
Selain
itu, kader NU tidak sedikit yang tersebar di berbagai partai politik. Ini
menjadi tantangan sekaligus peluang. Menjadi peluang ketika para kader NU itu
mampu melakukan politik yang elegan mencermin nilai-nilai luhur yang
diajarkan NU. Dengan begitu, NU memberikan sumbangan besar dalam melahirkan
kader bangsa yang mengisi kemerdekaan ini.
Sebaliknya,
ketika para kader NU justru memanfaatkan NU, yang terjadi adalah musibah
besar karena NU secara organisasi dan jemaahnya akan diseret untuk kepentingan
suara politik.
Di
titik inilah, ujian Khittah NU 1926 dipertaruhkan. Sejak awal berdirinya, NU
sudah menegaskan diri sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak
dalam pendidikan, sosial budaya, dakwah, dan ekonomi.
Walaupun
pada 1952 NU pernah menjadi partai politik, sejak 1984 melalui Muktamar di
Situbondo, NU menegaskan dirinya kembali kepada Khittah 1926 dan menarik diri
dari atraksi politik kekuasaan. Perumusnya saat itu adalah KH Ahmad Siddiq
dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di tangan Gus Dur, Khittah 1926 menjadi
kekuatan NU dalam menegakkan kedaulatan dan martabat bangsa.
Godaan
Politik 2014
NU
memang bukan partai politik, tetapi kekuatan massa NU sangat potensial dalam
kancah politik nasional. Godaan politik tentu tak bisa dihindari. Apalagi,
politik citra dan politik uang masih kuat melekat dalam kultur politik di
Indonesia pasca-Reformasi.
NU
berhadapan dengan godaan politik uang. Dana partai politik dan elite politik
sangat mudah dikucurkan untuk mendulang suara. Dalam konteks lain, NU bisa
jadi mendapatkan tawaran sangat strategis untuk mendapatkan jatah kursi
kekuasaan dalam pemilu. Ini sudah bisa dilihat dari gelagat para tokoh NU dan kiai yang
semakin sering kedatangan tamu para pejabat dan politikus partai politik.
Menurut
Abdul Gaffar Karim (2014), Pemilu
Legislatif 2014 ini hanya akan menjadi pemanasan bagi pemilu presiden. Parpol
yang ada akan sibuk untuk mengejar eligibilitas untuk bisa mengusung capres
mereka.
Atau
kalau tidak, mereka akan sibuk mencari mitra koalisi agar bisa tetap bancakan
posisi kabinet. Spanduk parpol banyak yang tak ragu-ragu untuk menekankan
pemusatan energi pada pencapresan tokoh mereka.
Lebih
meriahnya lagi, akan ada saling bongkar kasus korupsi antar parpol, sebagai
wujud persaingan esktra-elektoral mereka.
Gaffar
juga melihat, hingga pemilu keempat era Reformasi ini bangsa Indonesia sudah
bekerja ekstra keras membangun dan menguatkan mekanisme serta organisasi
demokratik di ranah intermediary (ranah tengah dalam relasi antara negara dan
masyarakat, temasuk kepartaian dan pemilu).
Sejak
1998, Indonesia terus-menerus membenahi mekanisme pemilu, mengatur lanjut
para penyelenggara pemilu, menata parlemen, dan mendorong kepartaian yang
dinamis.
Dari
ranah ini, kemajuan memang terlihat. Akan tetapi sayang, bagi Gaffar, karena
hingga taraf tertentu kehidupan demokrasi prosedural ini cenderung melahirkan
elite ekonomi baru, yakni politikus yang bisa makmur secara ekonomi karena
kemampuannya mengambil keuntungan lebih dalam mekanisme formal demokratik.
Hal
ini berujung pada kian melebarnya kesenjangan antara kaya-miskin. Pada saat
yang sama, prosedur formal demokrasi yang tidak murah ini bisa mengurangi
kemampuan negara untuk menyediakan pelayanan dasar, yakni pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur.
Puluhan
triliun dana negara digunakan untuk memilih presiden
dan wapres, anggota lembaga-lembaga perwakilan, plus para bupati, wali kota,
gubernur dan para wakilnya. NU harus melihat ini sebagai tantangan serius.
Tidak
sedikit pemimpin NU tidak sadar dengan konteks ini, sehingga yang lahir
adalah gerakan pragmatis yang menjebak diri sendiri maupun NU secara
organisasi. NU justru sibuk dengan agenda pilkada yang merusak, bukan
melahirkan kader-kader bangsa yang siap membangun demokrasi dan mengikis
pragmatisme politik. Godaan politik 2014 tidak jauh beda, sehingga sangat
membahayakan masa depan NU.
NU
dan Ranah Masyarakat
Ketika
NU ikut serta atau mengamini ranah intermediary,
celaka yang terjadi. Sesuai amanat Khittah 1926, NU harus kembali menegakkan
pelembagaan demokrasi dalam ranah masyarakat.
NU
sudah waktunya menegakkan kembali bintang-bintangnya dalam memberdayakan
masyarakat sipil, sehingga lahir kembali kader-kader bangsa yang siap merubah
kondisi politik yang sedang dicengkeram oleh citra dan uang.
Dalam
mengembangkan ranah sipil ini, NU harus belajar dari sejarahnya. Bagi Abdur Razaki
(2014), saat Orde Lama NU memiliki posisi ganda. Selain berada “dalam
negara”, NU juga berada dalam masyarakat. NU meciptakan proses keseimbangan,
apa yang terjadi di negara dan apa yang terjadi di masyarakat.
Waktu
itu NU juga secara resmi mendirikan partai politik. Tetapi dalam Orde Lama
itu memang NU-Negara ini tidak terlalu kuat.
Negara
sedang melakukan pendisiplinan politik. Tapi NU dalam masyarakat itu tetap
melakukan proses-proses penguatan. Puncaknya saat Gus Dur menjadi PBNU pada
1984 yang sangat mengedepankan penguatan masyarakat sipil di hadapan negara
yang terlalu hegemonik.
Di
samping itu, NU juga harus menegakkan tiga panji
politik yang disampaikan Rais Aam PBNU, almarhum KH MA Sahal Mahfudh. Ketiga
panji itu adalah NU harus tegas dan tegak dalam memperjuangkan politik
kebangsaan, politik kerakyatan dan etika politik.
Kalau tiga hal ini dilakukan, politik 2014 tidak akan menjebak
NU dalam pusaran kekuasaan, melainkan menjadi aktor penting lahirnya
demokrasi bermartabat untuk Indonesia masa depan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar