Militansi
Saksi di TPS
Edy Supratno ; Komisioner KPU Kudus
2008-2013
|
JAWA
POS, 07 Februari 2014
TARIK ulur dana
saksi partai politik (parpol) di tempat pemungutan suara (TPS) terus
berlangsung. Sejumlah aktivis LSM bahkan telah melaporkan masalah itu ke
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akar permasalahannya, dana itu rawan
diselewengkan.
Keberadaan saksi di TPS memang sangat strategis. Saksi menjadi representasi sekaligus ujung tombak peserta pemilu yang sedang berkompetisi. Keberadaannya sangat tepat untuk menghindari kecurigaan niat curang. Baik yang akan dilakukan sesama parpol maupun kesalahan disengaja atau tidak yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Untuk itulah, saat coblosan dan penghitungan suara berlangsung, posisi saksi berada di dalam "ring" TPS. Mereka ikut melegitimasi coblosan di surat suara itu sah atau tidak saat penghitungan berlangsung. Mengharapkan panitia pengawas lapangan (PPL) mengawasi semua TPS juga mustahil karena jumlah mereka sangat terbatas. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, jumlah PPL sama dengan jumlah desa/kelurahan. Pada Pemilu 2014 ini, jumlahnya ditambah. Tetapi, tetap tidak bisa satu TPS satu pengawas. Mentalitas Saksi Tidak seluruh saksi menyadari bahwa posisi mereka begitu kuat. Hal inilah yang membuat saksi mudah dilemahkan. Seorang teman yang lama menjadi bagian penyelenggara pemilu pada era pemerintahan Soeharto bercerita, banyak cara untuk mengecoh saksi parpol. Antara lain dengan cara memberikan kesenangan saat coblosan dan penghitungan berlangsung. Bagi saksi yang suka minuman beralkohol, disiapkan minuman dalam jumlah melimpah untuk diminum sampai mabuk. Selesai penghitungan suara, mereka tinggal tanda tangan. Buruknya kinerja saksi ini membuat kesempatan untuk berbuat curang pada saat itu sangat terbuka. Keberadaan pengawas pemilu ketika itu pun tidak lebih sekadar formalitas belaka. Karena itu, tidak heran jika di Kabupaten Kudus, konon, pernah terjadi peristiwa ganjil. Saat direkap antara jumlah pemilih dengan jumlah suara sah, ternyata lebih banyak suara sahnya. Dilatarbelakangi keinginan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas, pada Pemilu 1999, kinerja saksi relatif lebih baik. Pemantau pemilu dari berbagai lembaga juga cukup diperhitungkan sehingga tingkat kecurangan sangat kecil. Pada pemilu berikutnya, militansi kader parpol untuk menjadi saksi di TPS kian luntur. Mereka mau bersaksi sepanjang diberi honor. Parpol pun mulai menghitung biaya lain di luar biaya kampanye. Ini kesulitan baru bagi parpol karena mereka butuh dana yang besar. Tanda-tanda parpol sulit menyiapkan saksi di TPS dapat dilihat dari jadwal parpol menyetorkan nama-nama saksi kepada penyelenggara pemilu. Rata-rata terlambat. Baik dari parpol yang secara finansial tampak cukup kuat maupun parpol yang "bermotip" (modal tipis). Akhirnya, untuk parpol bermotip ini, banyak yang tidak mempunyai saksi di TPS. Selain permasalahan militansi, problem lain saksi adalah loyalitas kepada parpol. Pada Pemilu 2009 yang mulai menerapkan suara terbanyak dalam penetapan kursi, banyak saksi yang lebih loyal kepada caleg. Penyebabnya, saksi tersebut dibayar caleg bermodal kuat, bukan parpol. Karena itu, persaingan saksi antarcaleg dalam satu parpol pun terjadi. Ada satu parpol yang menghendaki saksi di TPS lebih dari satu. Satu dari caleg A, satunya lagi dari caleg B. Ingin semuanya sah, keduanya ngotot masuk dalam lingkungan TPS. Padahal, ketentuannya hanya satu saksi tiap parpol. Problem saksi dalam pemilukada juga setali tiga uang. Contoh di Kudus pada Pemilukada 2013 lalu, ada calon bupati yang tidak mendapatkan suara sama sekali di salah satu TPS. Padahal, di TPS tersebut ada saksinya. Ini bukti bahwa militansi dan loyalitas saksi hilang sama sekali. Lebih gila lagi jika yang menjadi saksi mempunyai hobi berjudi, diyakini kerjanya bakal tidak fokus. Varian perjudian di pemilukada banyak. Bukan semata-mata siapa yang bakal jadi bupati kelak yang menjadi medan taruhan, tapi apa pun bisa jadi taruhan. Misalnya varian siapa yang bakal menang di TPS lingkungan tertentu. Sering ditemui, saksi calon bupati X justru mendukung calon bupati Y karena demi kemenangan saksi tersebut dalam taruhan. Kalau menugasi saksi seperti ini, dijamin parpol atau caleg/calon kepala daerah tidak mendapatkan manfaat. Karena itu, sudah selayaknya anggaran dana saksi dibatalkan saja. Lebih baik mendesak parpol memperbaiki mentalitas kader-kadernya yang akan dijadikan saksi agar kesaksiannya berkualitas. Bagi kader yang benar-benar militan, menjadi saksi pemilu bukan sebuah pekerjaan, tapi merupakan dedikasi untuk sebuah perjuangan. Dengan begitu, menjadi saksi tidak perlu memberatkan APBN. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar