Niat
Korupsi Kecil
Danang Probotanoyo ; Aktif di Pusat Studi Reformasi Indonesia, Alumnus UGM
|
JAWA
POS, 04 Februari 2014
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengeluarkan Surat Edaran
Nomor B-1113/F/Fd.1/05/2010 kepada jajaran kejaksaan tinggi. Edaran tersebut
mengimbau agar korps Adhyaksa mempertimbangkan untuk tidak menindaklanjuti
korupsi dalam jumlah kecil (secara nominal).
Jaksa Agung Basrief Arief menjelaskan, penanganan korupsi dengan nominal yang kecil, seperti Rp 4 juta-Rp 5 juta, tidak perlu dilanjutkan sampai ke tahap penyidikan. Sebab, anggaran penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi mencapai Rp 50 juta. Artinya, penanganan kasus korupsi jangan sampai memboroskan uang negara. Nyaris serupa dengan surat edaran jaksa agung tersebut, Presiden SBY -pada Hari Antikorupsi Sedunia 2012- seakan menyiratkan hal yang sama. Presiden menyatakan perlunya negara menyelamatkan para pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi yang tiada niat sedikit pun untuk melakukan korupsi. Survei terbaru CSIS menunjukkan, 240 kepala daerah tersangkut korupsi. Itu belum termasuk pejabat di birokrasi kementerian dan pemda. Profil pelaku korupsi pun sangat jauh dari tampilan orang jahat atau orang bejat. Mereka adalah orang-orang terhormat dan berpendidikan tinggi. Banyak yang bergelar doktor bahkan profesor. Sosok mereka lebih mencerminkan orang santun dan ''lurus''. Melihat mereka, pasti kita tidak menyangka ada niat jahat di sudut hati mereka untuk melakukan korupsi. Persis sinyalemen presiden itu bahwa sebagian pejabat yang tersangkut masalah korupsi sebenarnya tidak berniat melakukannya. Benarkah niat itu tidak ada? Korupsi merupakan fenomena manusiawi, kultural, serta sistemik (Reza A.A.W., 2013). Korupsi bukan semata persoalan hukum, ekonomi, dan politik belaka. Perilaku korup telah bersemayam jauh di dalam sisi gelap manusia yang selama ini diselimuti baju-baju moral dan etika dalam citranya. Dengan menyadari itu, manusia diharapkan paham bahwa akar korupsi ternyata telah tertanam di dalam diri manusia tanpa perkecualian. Manusia hanya perlu belajar untuk mengekang dan membelenggu nafsu korupsi. Benih korupsi pada manusia, salah satunya, merupakan impact ''kehendak untuk berkuasa'' (the will to power). Menurut Friedrich Nietzsche, nafsu untuk berkuasa merupakan naluri alamiah manusia. Kekuasaan di sini tentu saja tidak terbatas pada tafsir kekuasaan politis, namun juga kekuasaan pada spektrum yang luas. Kehendak untuk berkuasa menjadi akar semua perilaku destruktif manusia. Perang, intrik politik, penindasan, dan korupsi terjadi karena adanya nafsu manusia untuk berkuasa. Setelah kekuasaan dalam genggaman, lantas lupa daratan dan melakukan korupsi. Pesan Lord Acton bahwa ''kekuasaan cenderung korup'' sangat terbukti. Lebih-lebih di Indonesia saat ini, kehendak berkuasa berkorelasi dengan maraknya korupsi. Orang beramai-ramai menginginkan kursi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ujung-ujungnya, mencari uang dengan jalan korupsi. Korupsi pun bisa dipahami sebagai bentuk konkret naluri khas manusia, yakni ''memburu kenikmatan''. Filsuf Prancis Marquis De Sade mengatakan, tujuan hidup manusia tidak lepas dari keinginan mencapai kenikmatan semaksimal mungkin. Bila menilik para pelaku korupsi di Indonesia, nyaris semua tidak layak bila dikatakan kurang sejahtera. Mereka jelas berasal dari kelompok ekonomi menengah ke atas yang seharusnya sudah cukup mereguk kenikmatan hidup tanpa korupsi. Sayangnya, manusia memang tidak pernah puas untuk mengejar kenikmatan. Mewabahnya korupsi di negeri ini pun terjadi karena sikap masyarakat kita sendiri yang menganggap korupsi sebagai hal yang biasa, bukan suatu kejahatan, apalagi extra-ordinary crime. Buktinya, beberapa waktu lalu marak diberitakan banyaknya pejabat bekas napi korupsi yang sekeluar lapas justru dipromosikan menduduki jabatan tertentu, jangankan dipecat. Pun masih banyak vonis hakim kasus korupsi yang ringan. Sudah begitu, di dalam penjara, mereka mendapat aneka kemudahan dan fasilitas serta secara periodik mendapat remisi. Masyarakat sering ikut-ikutan permisif terhadap korupsi. Mereka kerap mendemo gedung KPK atau kejaksaan demi mendukung pimpinan daerahnya atau pimpinan politiknya yang diseret karena korupsi. Menjelmanya tindak korupsi juga dilahirkan oleh sistem yang korup. Praktik mafia anggaran serta kongkalikong para pembuat dan pengguna anggaran, seperti Kasus Hambalang, menjadi buktinya. Korupsi diyakini akan semakin menyeruak dengan munculnya permissiveness berupa surat edaran yang ''memaklumi'' korupsi kecil dan statemen untuk ''menyelamatkan'' koruptor yang ''tidak berniat'' korupsi. Sungguh, memberantas korupsi tidak segampang perkiraan jaksa agung. Mengembangkan sikap permisif terhadap korupsi kecil sama saja melakukan persemaian agar korupsi kelak menjadi besar. Dalam bahasa Prancis: Le diable vienent dans un petit pat (Setan itu datang menghampiri mulai dari langkah yang kecil-kecil). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar