Pada Januari ini, kita dikejutkan lagi dengan
banjir yang melanda sebagian Jakarta dan sekitarnya, Pulau Jawa, dan Manado.
Banjir tahun ini memang tidak sedahsyat 2013, tapi jangkauannya lebih luas,
melingkupi Pulau Jawa dan Manado di Sulawesi Utara.
Banjir melumpuhkan prasarana jalan di Pantai
Utara Jawa, mulai Cikampek sampai Brebes. Hal ini sebagai dampak siklon
tropis yang berada di Samudera Hindia dan perairan barat Australia sehingga
menyebabkan curah hujan yang tinggi.
Curah hujan yang tinggi ini diperkirakan masih
berlangsung sampai Februari. Hanya pada dua tiga hari ini, Minggu (2/1) dan
Senin(3/2), cuaca lebih terang, tidak mendung seperti hari-hari sebelumnya.
Banjir juga terjadi
sebagian wilayah Eropa, Filipina selatan, dan sebagainya. Karena intensitas
dan curah hujan yang tinggi, hujan yang berlangsung sepanjang hari, selama
dua sampai tiga hari, menyebabkan debit air permukaan meningkat tajam dan
akhirnya meluap karena tidak dapat tertampung sungai maupun situ-situ yang
ada, ataupun terinfiltrasi permukaan tanah.
Hal inilah yang menyebabkan perlunya dibangun
waduk-waduk penampung air hujan dan permukaan, seperti yang akan dibangun di
Ciawi dan Sukamahi, juga di sekitar DKI Jakarta dan di Jakarta. Adanya waduk
ini tentunya mengurangi peluang banjir di Jakarta dan sekitarnya jika
intensitas dan curah hujan tinggi.
Memang jika dirunut, Kota Jakarta sudah sangat
padat. Aktivitas ekonomi yang semakin meningkat memerlukan bangunan baru baik
untuk pabrik, rumah, perkantoran, maupun pusat perbelanjaan.
Pada akhirnya, luas ruang terbuka di Jakarta
semakin menyusut, mengurangi daya serap air oleh tanah melalui infiltrasi.
Air akhirnya tergenang pada lapisan beton atau aspal yang tidak dapat
menyerap air.
Jika memang banjir ini akan terjadi setiap
tahun, ide memindahkan ibu kota negara ke lokasi yang bebas banjir sangat
perlu dipertimbangkan. Jika memang dipindahkan, aktivitas ekonomi akan
berkurang karena sebagian besar perkantoran akan pindah dari Jakarta.
Lahan bekas kantor dapat dijadikan ruang
terbuka hijau/taman, bukan menjadi mal atau apartemen/hotel baru yang pada
akhirnya tidak menyelesaikan masalah. Jakarta sebagai ibu kota negara
sangatlah tidak layak jika sering disinggahi banjir.
Negara Amerika Serikat (AS) misalnya, memiliki
Kota Washington sebagai pusat pemerintahan. Namun, pusat ekonominya berada di
Kota New York. Jika ibu kota negara akan dipindahkan, sebaiknya keluar Pulau
Jawa, mungkin Kalimantan lebih cocok. Itu karena Pulau Sumatera juga sudah
relatif padat penduduk.
Banjir tahun ini tidaklah sepenuhnya disalahkan
kepada manusia, misalnya Jokowi-Ahok. Kalau dilihat secara jujur, intensitas
curah hujan sangat tinggi, hujan turun berturut- turut sampai tiga hari
dengan lebatnya, mulai Puncak-Cianjur sampai Jakarta dan sekitarnya. Tentu
ini meyebabkan banjir. Apalagi, luas ruang terbuka hijau sudah menyusut
setiap tahun. Pasti banjir terjadi.
Coba bayangkan daerah rawa yang sebelumnya
merupakan daerah penampung/resapan air diubah menjadi perumahan.
Akibatnya, jika terjadi hujan, air melimpas ke
jalan raya atau perumahan karena tidak ada lagi tempat penampungannya. Hal
ini lumrah terjadi di kota-kota di Indonesia. Contohnya daerah Cengkareng
yang dulunya merupakan rawa ataupun pertambakan, namun diubah fungsinya untuk
perumahan.
Lihat juga daerah Sawangan, Kemiri Muka, Kemiri
Sawah di Depok, yang dulunya persawahan sudah berubah fungsi menjadi
perumahan atau mal/apartemen. Ini akibat tekanan penduduk yang semakin lama
meningkat dan memerlukan hunian baru. Jika tidak dibangun hunian baru, ke
mana mereka tinggal?
Pada akhirnya, ini menjadi suatu dilema.
Daerah- daerah tersebut sebagian merupakan daerah langganan banjir. Jadi, ada
yang berubah, yaitu RTRW-nya (Rencana Tata Ruang Wilayah), yang sebelumnya
daerah resapan air menjadi perumahan dan properti lainnya.
Sebagai gantinya, pemerintah setempat harus
membangun waduk/situ penampungan air (waduk retensi) untuk menampung debit
air dan menghindari banjir.
Salah satu penyebab banjir ini tentu karena
kerusakan hutan, terutama daerah hulu (upstream).
Perubahan tutupan hutan berlangsung relatif cepat. Vegetasi yang semula
berupa hutan saat ini sudah berubah menjadi lahan pertanian. Contoh ini
banyak terlihat di kaki Gunung Gede Pangrango.
Taman Nasional Gede Pangrango yang luasnya
21.000 hektare merupakan daerah tangkapan hujan untuk Jabodetabek.
Vegetasi hutan di sini sebagian sudah berubah
fungsi menjadi lahan tanaman semusim, khususnya sayur-mayur dan perkebunan
teh. Banyak penduduk migran yang berasal dari Lembang dan Pengalengan
sekarang membuka lahan usaha tani sayur-mayur di kaki Gunung Gede Pangrango.
Lahan-lahan ini umumnya adalah lahan kehutanan
yang sebelumnya berbentuk hutan. Sebagai informasi, sumber mata air Ciliwung
dan Cisadane berasal dari Gunung Gede Pangrango. Taman Nasional ini
menghasilkan 231 miliar liter air per tahun. Satu pohon hutan tropis
menghasilkan 250 galon air selama masa hidupnya (Sumarto, Kompas, 26 Agustus
2010).
Berdasarkan data yang diperoleh, lahan kritis
di kawasan Bopuncur (Bogor Puncak Cianjur) mencapai 83.130 hektare pada 2009
(Pelita, 9 Februari 2009) dari luas lahan 130.000 hektare, (greendom-af,blogspot). Sementara itu,
saat ini sudah mencapai ± 95.000 hektare.
Kondisi yang sama terjadi di Taman Nasional
Halimun, Gunung Salak. Dari luas Taman Nasional seluas 113.357 hektare,
hingga 2009 sekitar 30 persen luas wilayahnya sudah rusak/kritis. Itu perlu
penghutanan kembali/reboisasi (Muliawati A Mataelang.org, 1 Oktober 2013).
Daerah ini merupakan mata air dan hulu dari
Sungai Ciujung, Kabupaten Serang. Setiap tahun, Sungai Ciujung meluap, membanjiri
daerah bantarannya. Pada 2013, membuat jalan tol Jakarta-Merak terputus
selama beberapa hari. Taman Nasional Halimun, Gunung Salak, juga hulu dari
beberapa anak Sungai Cisadane, seperti Ci Anten dan Ci Nangneng (Wikipedia,
id.wikipedia.org).
Langkah apa yang diperlukan agar dapat
meminimalkan banjir? Tentu pertama adalah mereboisasi hutan yang sudah kritis
atau gundul. Kedua, memperbanyak ruang terbuka hijau. Hal ini harus sesuai
Undang-Undang Kehutanan No 41/ 1999, yang mensyaratkan harus ada luas tutupan
hutan minimal 30 persen di setiap provinsi, terutama di Pulau Jawa.
Tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa
sebenarnya sudah relatif tinggi dengan tingkat kepadatan 1.019 jiwa per km
persegi, berpenduduk 136,6 juta jiwa (BPS, 2010), Pulau Jawa seluas 13,4 juta
hektare hanya memiliki luas hutan sekitar 2,14 juta hektare, 16,2 persen dari
luas Pulau Jawa).
Hanya 100.000 hektare yang merupakan hutan
primer. Jadi, perlu dilakukan reboisasi hutan. Hal ini diperlukan agar
terjadi keseimbangan hidrologis.
Pada RUTRW sudah disusun jelas zona mana untuk
hutan, pertanian tanaman semusim (pangan), pertanian tanaman
keras/perkebunan, permukiman, dan perkotaan. Jadi, kepala daerah jangan
memberikan izin usaha terhadap usaha yang nantinya mengubah RTRW, misalnya
dari hutan menjadi perkebunan atau usaha agribisnis lain.
Di daerah hilir tetap diperlukan penyuluhan,
imbauan, atau peringatan dengan sanksi bagi warga yang membuang sampah ke
sungai atau drainase secara sengaja. Normalisasi sungai sangat diperlukan.
Dari pantauan penulis, normalisasi kali sepanjang Jalan Dan Mogot sampai ke
Tangerang masih belum optimal.
Banyak kali yang sudah tersedimentasi dan
sudah ditanami tanaman pisang atau singkong yang seharusnya dikeruk atau
diperdalam. Sementara itu, penurapan kali sudah seluruhnya dilakukan di DKI
Jakarta, tetapi yang di Tangerang belum semuanya.
Daerah bantaran kali, seperti Kampung Pulo,
Pengadengan Timur, Cipinang Muara, dan Jatinegara sudah selayaknya direlokasi
karena tiap tahun menjadi pelangganj banjir.
Itu kecuali mereka mau membangun rumah
panggung yang tingginya melebihi tinggi air banjir maksimal dengan kolong
rumah terbuka. Jadi, jika banjir tidak ada harta benda yang terendam.
Namun, demi keamanan dan keindahan serta agar
setiap tahun tidak menjadi perhatian khusus pemerintah, sudah selayaknya
warga di sana direlokasi. Rencana Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta
merelokasi ke rumah susun di Pengadengan merupakan langkah baik.
Sampai saat ini, proyek Kanal Banjir Timur
(KBT) sepanjang 23,5 km belum selesai pembangunannya. Menurut kabar,
kendalanya adalah pembebasan lahan yang belum selesai dan sebagian bangunan
irigasi yang belum selesai dibangun.
Pemerintah sebaiknya membeli lahan yang masih
dipersengketakan jika harga lahan yang dituntut masih wajar dan tidak sampai
merugikan negara dalam jumlah yang besar. Jika juga masih menolak, dapat
dilakukan upaya hukum sesuai UU yang ada. Jika selesai dibangun dan
dioperasikan, itu dapat melindungi sebagian wilayah Jakarta Timur dan Jakarta
Utara dari banjir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar