Rabu, 05 Februari 2014

Banjir dan Pencegahannya

Banjir dan Pencegahannya

Viktor Siagian   ;   Alumnus Fakultas Pertanian dan Magister Sains
Ilmu Ekonomi Pertanian IPB
SINAR HARAPAN,  04 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Pada Januari ini, kita dikejutkan lagi dengan banjir yang melanda sebagian Jakarta dan sekitarnya, Pulau Jawa, dan Manado. Banjir tahun ini memang tidak sedahsyat 2013, tapi jangkauannya lebih luas, melingkupi Pulau Jawa dan Manado di Sulawesi Utara.

Banjir melumpuhkan prasarana jalan di Pantai Utara Jawa, mulai Cikampek sampai Brebes. Hal ini sebagai dampak siklon tropis yang berada di Samudera Hindia dan perairan barat Australia sehingga menyebabkan curah hujan yang tinggi.

Curah hujan yang tinggi ini diperkirakan masih berlangsung sampai Februari. Hanya pada dua tiga hari ini, Minggu (2/1) dan Senin(3/2), cuaca lebih terang, tidak mendung seperti hari-hari sebelumnya.

Banjir juga terjadi sebagian wilayah Eropa, Filipina selatan, dan sebagainya. Karena intensitas dan curah hujan yang tinggi, hujan yang berlangsung sepanjang hari, selama dua sampai tiga hari, menyebabkan debit air permukaan meningkat tajam dan akhirnya meluap karena tidak dapat tertampung sungai maupun situ-situ yang ada, ataupun terinfiltrasi permukaan tanah.

Hal inilah yang menyebabkan perlunya dibangun waduk-waduk penampung air hujan dan permukaan, seperti yang akan dibangun di Ciawi dan Sukamahi, juga di sekitar DKI Jakarta dan di Jakarta. Adanya waduk ini tentunya mengurangi peluang banjir di Jakarta dan sekitarnya jika intensitas dan curah hujan tinggi.

Memang jika dirunut, Kota Jakarta sudah sangat padat. Aktivitas ekonomi yang semakin meningkat memerlukan bangunan baru baik untuk pabrik, rumah, perkantoran, maupun pusat perbelanjaan.

Pada akhirnya, luas ruang terbuka di Jakarta semakin menyusut, mengurangi daya serap air oleh tanah melalui infiltrasi. Air akhirnya tergenang pada lapisan beton atau aspal yang tidak dapat menyerap air.

Jika memang banjir ini akan terjadi setiap tahun, ide memindahkan ibu kota negara ke lokasi yang bebas banjir sangat perlu dipertimbangkan. Jika memang dipindahkan, aktivitas ekonomi akan berkurang karena sebagian besar perkantoran akan pindah dari Jakarta.

Lahan bekas kantor dapat dijadikan ruang terbuka hijau/taman, bukan menjadi mal atau apartemen/hotel baru yang pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah. Jakarta sebagai ibu kota negara sangatlah tidak layak jika sering disinggahi banjir.

Negara Amerika Serikat (AS) misalnya, memiliki Kota Washington sebagai pusat pemerintahan. Namun, pusat ekonominya berada di Kota New York. Jika ibu kota negara akan dipindahkan, sebaiknya keluar Pulau Jawa, mungkin Kalimantan lebih cocok. Itu karena Pulau Sumatera juga sudah relatif padat penduduk.

Banjir tahun ini tidaklah sepenuhnya disalahkan kepada manusia, misalnya Jokowi-Ahok. Kalau dilihat secara jujur, intensitas curah hujan sangat tinggi, hujan turun berturut- turut sampai tiga hari dengan lebatnya, mulai Puncak-Cianjur sampai Jakarta dan sekitarnya. Tentu ini meyebabkan banjir. Apalagi, luas ruang terbuka hijau sudah menyusut setiap tahun. Pasti banjir terjadi.

Coba bayangkan daerah rawa yang sebelumnya merupakan daerah penampung/resapan air diubah menjadi perumahan.

Akibatnya, jika terjadi hujan, air melimpas ke jalan raya atau perumahan karena tidak ada lagi tempat penampungannya. Hal ini lumrah terjadi di kota-kota di Indonesia. Contohnya daerah Cengkareng yang dulunya merupakan rawa ataupun pertambakan, namun diubah fungsinya untuk perumahan.

Lihat juga daerah Sawangan, Kemiri Muka, Kemiri Sawah di Depok, yang dulunya persawahan sudah berubah fungsi menjadi perumahan atau mal/apartemen. Ini akibat tekanan penduduk yang semakin lama meningkat dan memerlukan hunian baru. Jika tidak dibangun hunian baru, ke mana mereka tinggal?

Pada akhirnya, ini menjadi suatu dilema. Daerah- daerah tersebut sebagian merupakan daerah langganan banjir. Jadi, ada yang berubah, yaitu RTRW-nya (Rencana Tata Ruang Wilayah), yang sebelumnya daerah resapan air menjadi perumahan dan properti lainnya.

Sebagai gantinya, pemerintah setempat harus membangun waduk/situ penampungan air (waduk retensi) untuk menampung debit air dan menghindari banjir.

Salah satu penyebab banjir ini tentu karena kerusakan hutan, terutama daerah hulu (upstream). Perubahan tutupan hutan berlangsung relatif cepat. Vegetasi yang semula berupa hutan saat ini sudah berubah menjadi lahan pertanian. Contoh ini banyak terlihat di kaki Gunung Gede Pangrango.

Taman Nasional Gede Pangrango yang luasnya 21.000 hektare merupakan daerah tangkapan hujan untuk Jabodetabek.

Vegetasi hutan di sini sebagian sudah berubah fungsi menjadi lahan tanaman semusim, khususnya sayur-mayur dan perkebunan teh. Banyak penduduk migran yang berasal dari Lembang dan Pengalengan sekarang membuka lahan usaha tani sayur-mayur di kaki Gunung Gede Pangrango.

Lahan-lahan ini umumnya adalah lahan kehutanan yang sebelumnya berbentuk hutan. Sebagai informasi, sumber mata air Ciliwung dan Cisadane berasal dari Gunung Gede Pangrango. Taman Nasional ini menghasilkan 231 miliar liter air per tahun. Satu pohon hutan tropis menghasilkan 250 galon air selama masa hidupnya (Sumarto, Kompas, 26 Agustus 2010).

Berdasarkan data yang diperoleh, lahan kritis di kawasan Bopuncur (Bogor Puncak Cianjur) mencapai 83.130 hektare pada 2009 (Pelita, 9 Februari 2009) dari luas lahan 130.000 hektare, (greendom-af,blogspot). Sementara itu, saat ini sudah mencapai ± 95.000 hektare.

Kondisi yang sama terjadi di Taman Nasional Halimun, Gunung Salak. Dari luas Taman Nasional seluas 113.357 hektare, hingga 2009 sekitar 30 persen luas wilayahnya sudah rusak/kritis. Itu perlu penghutanan kembali/reboisasi (Muliawati A Mataelang.org, 1 Oktober 2013).

Daerah ini merupakan mata air dan hulu dari Sungai Ciujung, Kabupaten Serang. Setiap tahun, Sungai Ciujung meluap, membanjiri daerah bantarannya. Pada 2013, membuat jalan tol Jakarta-Merak terputus selama beberapa hari. Taman Nasional Halimun, Gunung Salak, juga hulu dari beberapa anak Sungai Cisadane, seperti Ci Anten dan Ci Nangneng (Wikipedia, id.wikipedia.org).

Langkah apa yang diperlukan agar dapat meminimalkan banjir? Tentu pertama adalah mereboisasi hutan yang sudah kritis atau gundul. Kedua, memperbanyak ruang terbuka hijau. Hal ini harus sesuai Undang-Undang Kehutanan No 41/ 1999, yang mensyaratkan harus ada luas tutupan hutan minimal 30 persen di setiap provinsi, terutama di Pulau Jawa.

Tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa sebenarnya sudah relatif tinggi dengan tingkat kepadatan 1.019 jiwa per km persegi, berpenduduk 136,6 juta jiwa (BPS, 2010), Pulau Jawa seluas 13,4 juta hektare hanya memiliki luas hutan sekitar 2,14 juta hektare, 16,2 persen dari luas Pulau Jawa).

Hanya 100.000 hektare yang merupakan hutan primer. Jadi, perlu dilakukan reboisasi hutan. Hal ini diperlukan agar terjadi keseimbangan hidrologis.
Pada RUTRW sudah disusun jelas zona mana untuk hutan, pertanian tanaman semusim (pangan), pertanian tanaman keras/perkebunan, permukiman, dan perkotaan. Jadi, kepala daerah jangan memberikan izin usaha terhadap usaha yang nantinya mengubah RTRW, misalnya dari hutan menjadi perkebunan atau usaha agribisnis lain.

Di daerah hilir tetap diperlukan penyuluhan, imbauan, atau peringatan dengan sanksi bagi warga yang membuang sampah ke sungai atau drainase secara sengaja. Normalisasi sungai sangat diperlukan. Dari pantauan penulis, normalisasi kali sepanjang Jalan Dan Mogot sampai ke Tangerang masih belum optimal.

Banyak kali yang sudah tersedimentasi dan sudah ditanami tanaman pisang atau singkong yang seharusnya dikeruk atau diperdalam. Sementara itu, penurapan kali sudah seluruhnya dilakukan di DKI Jakarta, tetapi yang di Tangerang belum semuanya.

Daerah bantaran kali, seperti Kampung Pulo, Pengadengan Timur, Cipinang Muara, dan Jatinegara sudah selayaknya direlokasi karena tiap tahun menjadi pelangganj banjir.

Itu kecuali mereka mau membangun rumah panggung yang tingginya melebihi tinggi air banjir maksimal dengan kolong rumah terbuka. Jadi, jika banjir tidak ada harta benda yang terendam.

Namun, demi keamanan dan keindahan serta agar setiap tahun tidak menjadi perhatian khusus pemerintah, sudah selayaknya warga di sana direlokasi. Rencana Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta merelokasi ke rumah susun di Pengadengan merupakan langkah baik.

Sampai saat ini, proyek Kanal Banjir Timur (KBT) sepanjang 23,5 km belum selesai pembangunannya. Menurut kabar, kendalanya adalah pembebasan lahan yang belum selesai dan sebagian bangunan irigasi yang belum selesai dibangun.

Pemerintah sebaiknya membeli lahan yang masih dipersengketakan jika harga lahan yang dituntut masih wajar dan tidak sampai merugikan negara dalam jumlah yang besar. Jika juga masih menolak, dapat dilakukan upaya hukum sesuai UU yang ada. Jika selesai dibangun dan dioperasikan, itu dapat melindungi sebagian wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara dari banjir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar