Demokrasi
Simbolik
Syarif Hidayat ; Peneliti pada Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
|
KOMPAS,
04 Februari 2014
Artikel yang (hampir) sama dari Penulis yang sama telah dimuat
di KOMPAS 16-01-2014
KIRANYA cukup relevan
menggunakan terminologi ”demokrasi simbolik” dalam menjelaskan realitas
bias demokrasi yang terjadi di Tanah Air saat ini.
Hal itu ditandai
adanya perluasan arena dan penguatan institusi demokrasi, tetapi minus
kapasitas demokrasi. Akibatnya,
tidak mengherankan jika kemudian demokrasi telah lebih banyak diekspresikan
dalam bentuk tindak kekerasan dan praktik politik transaksionis.
Data Indeks Demokrasi
Indonesia—yang dipublikasikan Bappenas, BPS, dan Kementerian Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan bekerja sama dengan UNDP—sangat jelas
memperlihatkan bahwa dalam tiga tahun terakhir (2010-2012) tren capaian
indeks nasional (rata-rata 33 provinsi) untuk aspek kebebasan sipil selalu
berada di atas angka 75. Lebih spesifik lagi, capaian indeks aspek kebebasan
sipil pada tahun 2010-2012 masing-masing adalah 82,53; 80,79; dan
77,94.
Namun, ironisnya, pada
kurun waktu yang sama capaian indeks aspek hak-hak politik selalu berada pada
kategori ”buruk”, bahkan cenderung memburuk, yaitu 47,87 pada tahun 2010;
47,57 pada tahun 2011; dan 46,33 pada tahun 2012. Sementara capaian indeks
aspek lembaga demokrasi kendati mengalami tren kenaikan (63,11 pada
tahun 2010; 74,72 pada tahun 2011; dan 69,28 pada tahun 2012), tetapi tetap
pada kategori ”sedang”.
Dalam narasi
kualitatif, angka- angka indeks tersebut mengindikasikan bahwa sejauh ini
Indonesia relatif telah sangat berhasil dalam membangun dan
mengembangkan kebebasan sipil. Hal itu ditandai, antara lain, adanya
perluasan arena dan bangkitnya gairah partisipasi publik.
Namun, pada sisi lain,
gairah kebebasan sipil yang meningkat begitu pesat tersebut belum disertai
oleh inherennya perilaku demokrasi dan meningkatnya kapasitas lembaga
demokrasi yang berfungsi menampung, menyalurkan, serta merespons tuntutan
publik. Implikasinya, kebebasan sipil dan hak-hak politik kemudian telah
lebih banyak diekspresikan dalam bentuk tindak kekerasan, atau bahkan dalam
bentuk praktik-praktik politik transaksionis.
Bias demokrasi
Pertanyaannya
kemudian, pada konteks yang lebih luas, apa yang dapat dijelaskan oleh
kecenderungan di atas apabila dikaitkan dengan gerakan reformasi politik yang
telah berlangsung di Tanah Air selama lebih kurang 15 tahun terakhir?
Salah satu kelemahan
mendasar dari konsep dan kebijakan reformasi yang berlangsung sejak 1998
adalah karena gerakan perubahan yang berlangsung lebih terfokus pada upaya
membangun dan memperbaiki institusi negara. Sementara itu, upaya untuk
membangun dan memperkuat kapasitas negara cenderung tidak mendapat perhatian
yang seimbang. Konsekuensinya, dapat dimengerti jika kemudian ”kehadiran
negara” dalam kehidupan sehari-hari menjadi samar-samar atau bahkan dalam
beberapa kasus cenderung ”absen”.
Argumentasi yang
hampir sama dikemukakan Hidayat dan Gismar (2010: 5) bahwa reformasi yang berlangsung di Tanah Air sejauh ini masih
didominasi adanya ”tarik-tegang” antara keinginan untuk melakukan perubahan
pada satu sisi dan keinginan untuk tetap mengekalkan ”tradisi” lama pada sisi
lain. Secara ideologis, perubahan niscaya harus dilakukan. Akan tetapi,
kelompok elite, utamanya ”keturunan Orde Baru”, tidak sepenuh hati mendukung
gelombang perubahan. Sebab, hal tersebut akan berimplikasi pada perubahan
”tradisi” yang telah mereka bangun dan nikmati selama ini. Dengan
memanfaatkan struktur, sistem, dan prosedur yang ada, para elite tersebut
melancarkan reformasi tandingan untuk memastikan bahwa gerakan reformasi yang
sedang berlangsung tidak mengusik kepentingan-kepentingan yang mereka miliki.
Apabila sejumlah
argumentasi teoretis tersebut diderivasi pada konteks demokratisasi di
Indonesia, konstruksi preposisi yang sama pun bisa dibangun untuk menjelaskan
realitas demokrasi yang ada.
Secara singkat dapat
dikemukakan bahwa terjadinya ”bias demokrasi” saat ini disebabkan gerakan
demokratisasi yang berlangsung dalam kurun 15 tahun terakhir lebih
dicurahkan pada upaya menghadirkan lembaga demokrasi, baik pada ranah
negara maupun masyarakat. Sementara upaya untuk meningkatkan kapasitas
lembaga demokrasi dan membangun perilaku demokrasi di kalangan para
penyelenggara negara, politisi, dan masyarakat sipil sendiri cenderung
terabaikan.
Akibatnya, tidak
mengejutkan jika kemudian hasil yang dituai dari gerakan ”reformasi
demokrasi” yang berlangsung lebih dalam bentuk ”memperluas arena demokrasi”
dan ”menghadirkan lembaga demokrasi” di ranah negara dan masyarakat, tetapi
”minus perilaku demokrasi”. Dalam kondisi seperti ini, sejatinya praktik
demokrasi yang kita saksikan dan rasakan adalah ”demokrasi simbolik”
(struktur dan prosedur).
Sementara ”roh” yang menggerakkan ”jasad
demokrasi” yang telah terbangun tersebut masih sangat kental diisi oleh
nilai-nilai dan perilaku ”kontra-demokrasi” yang ditunjukkan oleh, antara
lain, masih dominannya praktik kekerasan dan politik transaksionis.
Sosok demokrasi
seperti ini tentunya sangat menguntungkan para elite pendukung ”tradisi lama”
(otoritarian) yang sedang melancarkan gerakan ”reformasi tandingan” untuk
melindungi hegemoni politik yang telah mereka bangun, juga bagi para
”elite baru” (anak kandung reformasi) yang ingin mendapatkan kekuasaan tanpa
harus lebih banyak mengeluarkan ”keringat politik”. Namun, sangat tidak
menguntungkan bagi kepentingan bangsa ke depan, khususnya dalam upaya untuk
mendorong gerak maju transisi demokrasi.
Peningkatan kapasitas
Refleksi teoretis
dan empiris di atas bukan sama sekali bermaksud untuk menebar
perspektif ”pesimistik” dalam menyikapi dan menengarai masa depan demokrasi
di Tanah Air. Justru sebaliknya, berupaya menjelaskan salah satu akar
persoalan yang sedang dihadapi, untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai asupan
nutrisi dalam melakukan ”reformasi” konsep ataupun kebijakan demokrasi ke
depan. Dengan merujuk pada preposisi ”demokrasi simbolik” di atas,
sangat jelas tergambarkan: salah satu penyebab ”bias praktik demokrasi” yang
terjadi saat ini adalah karena konsep dan kebijakan ”reformasi demokrasi”
yang berlangsung dalam kurun 15 tahun terakhir lebih menekankan pada
upaya memperluas arena dan menghadirkan institusi demokrasi
(”jasad demokrasi”), tetapi minus penguatan kapasitas demokrasi (”roh
demokrasi”).
Oleh karena itu, di
antara kebutuhan mendesak dan harus dipenuhi dalam waktu dekat adalah
membangun dan menghadirkan ”adab berdemokrasi” (perilaku demokrasi) di
kalangan para penyelenggara negara, politisi, dan masyarakat melalui
pendidikan politik pada khususnya dan pendidikan kebangsaan pada umumnya.
Dengan demikian, ”jasad demokrasi” yang telah dibesarkan dalam kurun waktu 15
tahun terakhir ini juga secara bersamaan dapat diisi dan digerakkan oleh ”roh
demokrasi”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar