Memberdayakan Para Profesor
Syamsul
Rizal ; Guru
Besar Universitas Syiah Kuala,
Ketua
Presidium Forum Pimpinan Pascasarjana Indonesia
|
KOMPAS,
14 Februari 2014
SEPINTAS
lalu judul tulisan ini terasa aneh. Kalau para profesor saja masih perlu
diberdayakan, bagaimana dengan semua dosen di Indonesia? Kenyataannya, posisi
profesor di Indonesia memang lemah karena masih banyak yang tak bisa dan tak
boleh membimbing calon doktor gara-gara persyaratan program studi S-3 yang
sangat sulit dipenuhi.
Sebenarnya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT) amat mendukung
pengembangan perguruan tinggi.
Pasal 6 misalnya menjamin
penyelenggaraan perguruan tinggi yang mencari kebenaran ilmiah, tidak
diskriminatif, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Demikian pula halnya
Pasal 8 yang menjunjung tinggi kebebasan akademik dan otonomi keilmuan.
Selanjutnya Pasal 9 Ayat (2)
menyebutkan bahwa kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 merupakan wewenang profesor dan atau dosen yang memiliki otoritas dan
wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai
sesuatu yang berkenaan dengan ilmunya.
Yang dimaksud dengan dosen yang
memiliki otoritas dan wibawa ilmiah itu adalah dosen yang telah memiliki
kualifikasi doktor atau setara.
Profesor merupakan jabatan
akademik tertinggi pada perguruan tinggi yang mempunyai wewenang membimbing
calon doktor.
Dari pasal demi pasal UUPT yang
dikutip tersebut jelaslah bahwa kewenangan dan kebebasan akademik yang
diberikan negara kepada para profesor sangat luas.
Dengan demikian, kalau masih ada
profesor yang tak berdaya dan tak mempunyai wewenang dan tak mempunyai
kebebasan akademik, maka negara tak boleh disalahkan lagi.
Fakta lapangan
Akan tetapi, fakta lapangan
berbicara lain. Masih banyak profesor yang belum terberdayakan meskipun
tafsiran formal Pasal 9 Ayat (2) menyebutkan bahwa profesor merupakan jabatan
akademik tertinggi pada perguruan tinggi yang mempunyai wewenang membimbing
calon doktor.
Wewenang yang diberikan UUPT itu
tampaknya hanya berlaku bagi para profesor yang mempunyai program studi
(prodi) S-3. Masih banyak para profesor di negeri ini yang tak bisa dan tak
boleh membimbing calon doktor karena persyaratan prodi S-3 yang diminta oleh
Dirjen Dikti sangat sulit dipenuhi.
Akibatnya, banyak profesor yang
sebenarnya sangat produktif, tetapi karena tidak mempunyai prodi S-3 tidak
akan mungkin membimbing mahasiswa calon doktor sampai kapan pun.
Untuk mengusulkan prodi S-3 juga
bukan perkara gampang karena harus ada beberapa rekan kerja yang selevel
sehingga memenuhi syarat untuk mengusulkan prodi S-3.
Fakta ini tentu saja sangat
merugikan Indonesia karena kita dengan sengaja memadamkan produktivitas para
profesor produktif untuk membangun negeri yang kita cintai ini. Padahal,
tunjangan yang dibayar negara untuk para profesor jumlahnya juga tidak kecil.
Di sisi lain, apa yang dilakukan
Dirjen Dikti juga sangat masuk akal karena untuk mendirikan prodi S-3,
kontrol kualitas harus diperketat. Apalagi secara akademik, S-3 adalah
jenjang pendidikan yang paling tinggi.
Solusi
Untuk mengatasi masalah ini saya
mengusulkan kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, melalui Dirjen Dikti, agar memberikan mandat kepada perguruan
tinggi untuk membuka prodi S-3 yang sangat umum, yaitu sains dan teknologi.
Semua profesor yang ada dalam satu universitas dapat bergabung dalam satu
prodi besar ini.
Prodi S-3 Sains dan Teknologi akan
menjadi rumah besar bagi para profesor untuk menjalankan UUPT khususnya Pasal
6, Pasal 8, dan Pasal 9 di atas.
Tentu saja program S-3 yang
dilaksanakan pada rumah besar ini harus berbasis riset dan tidak berbasis
kuliah. Mungkin hanya ada dua atau tiga mata kuliah umum saja, setelah itu
para kandidat doktor harus bergabung dengan profesornya masing-masing di
laboratorium: melakukan riset dan publikasi.
Saya mengerti, dengan pembukaan
prodi yang sangat umum ini akan ada pendapat: kita akan mengabaikan kualitas.
Pendapat seperti ini akan mudah
ditepis karena Dirjen Dikti masih dapat mengatur dan mengontrol kualitas,
misalnya dengan mensyaratkan bahwa setiap kandidat doktor harus
memublikasikan artikel di jurnal internasional, sesuai surat edaran Dirjen
Dikti yang juga sudah mulai dijalankan oleh berbagai universitas.
Ada beberapa keuntungan yang akan
kita peroleh. Pertama, semua profesor akan
terberdayakan dan akan memiliki hak dan kewajiban yang sama di Bumi Pertiwi.
Kedua, selama ini prodi S-3 yang
kecil-kecil menyerap dana yang sangat besar untuk pengelolaan prodi (honor
pengelola, pemeliharaan gedung, dan lain-lain). Padahal, jumlah mahasiswa
yang dikelola sangat sedikit jumlahnya. Dengan adanya rumah besar ini,
penyerapan dana akan lebih efisien karena hanya ada satu prodi besar.
Ketiga, ini yang paling penting:
dengan adanya rumah besar ini kita dapat memenuhi dan menjalankan amanat
UUPT. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar