Sabtu, 15 Februari 2014

Memberdayakan Para Profesor

                   Memberdayakan Para Profesor

Syamsul Rizal  ;   Guru Besar Universitas Syiah Kuala,
Ketua Presidium Forum Pimpinan Pascasarjana Indonesia
KOMPAS,  14 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
SEPINTAS lalu judul tulisan ini terasa aneh. Kalau para profesor saja masih perlu diberdayakan, bagaimana dengan semua dosen di Indonesia? Kenyataannya, posisi profesor di Indonesia memang lemah karena masih banyak yang tak bisa dan tak boleh membimbing calon doktor gara-gara persyaratan program studi S-3 yang sangat sulit dipenuhi.

Sebenarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT) amat mendukung pengembangan perguruan tinggi.
Pasal 6 misalnya menjamin penyelenggaraan perguruan tinggi yang mencari kebenaran ilmiah, tidak diskriminatif, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Demikian pula halnya Pasal 8 yang menjunjung tinggi kebebasan akademik dan otonomi keilmuan.

Selanjutnya Pasal 9 Ayat (2) menyebutkan bahwa kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 merupakan wewenang profesor dan atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan ilmunya.

Yang dimaksud dengan dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah itu adalah dosen yang telah memiliki kualifikasi doktor atau setara.

Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada perguruan tinggi yang mempunyai wewenang membimbing calon doktor.

Dari pasal demi pasal UUPT yang dikutip tersebut jelaslah bahwa kewenangan dan kebebasan akademik yang diberikan negara kepada para profesor sangat luas.
Dengan demikian, kalau masih ada profesor yang tak berdaya dan tak mempunyai wewenang dan tak mempunyai kebebasan akademik, maka negara tak boleh disalahkan lagi.

Fakta lapangan

Akan tetapi, fakta lapangan berbicara lain. Masih banyak profesor yang belum terberdayakan meskipun tafsiran formal Pasal 9 Ayat (2) menyebutkan bahwa profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada perguruan tinggi yang mempunyai wewenang membimbing calon doktor.

Wewenang yang diberikan UUPT itu tampaknya hanya berlaku bagi para profesor yang mempunyai program studi (prodi) S-3. Masih banyak para profesor di negeri ini yang tak bisa dan tak boleh membimbing calon doktor karena persyaratan prodi S-3 yang diminta oleh Dirjen Dikti sangat sulit dipenuhi.

Akibatnya, banyak profesor yang sebenarnya sangat produktif, tetapi karena tidak mempunyai prodi S-3 tidak akan mungkin membimbing mahasiswa calon doktor sampai kapan pun.

Untuk mengusulkan prodi S-3 juga bukan perkara gampang karena harus ada beberapa rekan kerja yang selevel sehingga memenuhi syarat untuk mengusulkan prodi S-3.

Fakta ini tentu saja sangat merugikan Indonesia karena kita dengan sengaja memadamkan produktivitas para profesor produktif untuk membangun negeri yang kita cintai ini. Padahal, tunjangan yang dibayar negara untuk para profesor jumlahnya juga tidak kecil.

Di sisi lain, apa yang dilakukan Dirjen Dikti juga sangat masuk akal karena untuk mendirikan prodi S-3, kontrol kualitas harus diperketat. Apalagi secara akademik, S-3 adalah jenjang pendidikan yang paling tinggi.

Solusi

Untuk mengatasi masalah ini saya mengusulkan kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Dirjen Dikti, agar memberikan mandat kepada perguruan tinggi untuk membuka prodi S-3 yang sangat umum, yaitu sains dan teknologi. Semua profesor yang ada dalam satu universitas dapat bergabung dalam satu prodi besar ini.

Prodi S-3 Sains dan Teknologi akan menjadi rumah besar bagi para profesor untuk menjalankan UUPT khususnya Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9 di atas.

Tentu saja program S-3 yang dilaksanakan pada rumah besar ini harus berbasis riset dan tidak berbasis kuliah. Mungkin hanya ada dua atau tiga mata kuliah umum saja, setelah itu para kandidat doktor harus bergabung dengan profesornya masing-masing di laboratorium: melakukan riset dan publikasi.

Saya mengerti, dengan pembukaan prodi yang sangat umum ini akan ada pendapat: kita akan mengabaikan kualitas.

Pendapat seperti ini akan mudah ditepis karena Dirjen Dikti masih dapat mengatur dan mengontrol kualitas, misalnya dengan mensyaratkan bahwa setiap kandidat doktor harus memublikasikan artikel di jurnal internasional, sesuai surat edaran Dirjen Dikti yang juga sudah mulai dijalankan oleh berbagai universitas.

Ada beberapa keuntungan yang akan kita peroleh. Pertama, semua profesor akan terberdayakan dan akan memiliki hak dan kewajiban yang sama di Bumi Pertiwi.
Kedua, selama ini prodi S-3 yang kecil-kecil menyerap dana yang sangat besar untuk pengelolaan prodi (honor pengelola, pemeliharaan gedung, dan lain-lain). Padahal, jumlah mahasiswa yang dikelola sangat sedikit jumlahnya. Dengan adanya rumah besar ini, penyerapan dana akan lebih efisien karena hanya ada satu prodi besar.
Ketiga, ini yang paling penting: dengan adanya rumah besar ini kita dapat memenuhi dan menjalankan amanat UUPT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar