Sabtu, 15 Februari 2014

Masihkah Relevan Kerugian Negara dalam Tipikor?

     Masihkah Relevan Kerugian Negara dalam Tipikor?

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran, Bandung
KORAN SINDO,  14 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Kerugian negara dalam tindak pidana korupsi (tipikor) muncul dalam UU RI Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi. Hanya, harus dibuktikan terlebih dulu kejahatan atau pelanggaran yang telah dilakukan terdakwa; hal yang ketika itu, menurut Oemar Senoaji, sulit pembuktiannya. 

Untuk itu, unsur kejahatan ataupelanggaran dalam undangundang tersebut dihapuskan dan diganti dengan kalimat melawan hukum sebagai sarana untuk melakukan korupsi sehingga negara dirugikan karenanya. Kendati demikian, kerugian negara bukan karena perbuatan melawan hukum ketika undang-undang tersebut disusun tidak dijelaskan bahwa perbuatan tersebut bukan tipikor; seharusnya merupakan maladministrasi semata- mata yang harus dikenai sanksi administrasi. 

Dalam undang-undang tersebut diselipkan kalimat ”dapat” di depan kalimat ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dengan begitu, pengertian ”melawan hukum” harus diartikan juga dalam arti materiil yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau tercela sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara menjadi dapat dihukum. Kendati demikian, memperluas arti kalimat ”melawan hukum”, menurut Oemar Senoaji, harus tidak bertentangan dengan asas legalitas yang mempertahankan kepastian hukum. 

Rumusan ketentuan dalam undang-undang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang mencabut pemberlakuan UU Tahun 1971. Rumusan kalimat dalam UU Tahun 1971 tidak berubah, tetapi diberikan penjelasan (Pasal 2) yang menegaskan bahwa kalimat ”dapat” di muka kalimat ”merugikan... dan seterusnya” harus diartikan sebagai melawan hukum formil dan hukum materiil. Namun, oleh putusan MK RI, penjelasan Pasal 2 tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinyatakan tidak mengikat secara hukum dan sejak putusan MK RI tersebut unsur melawan hukum harus diartikan melawan hukum formil atau sesuai bunyi undang-undang (onwetmatiggedaad). 

Sejalan dengan ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi 2003 dengan UU RI Nomor 7 Tahun 2006, dalam Pasal 3 konvensi tersebut dinyatakan tegas bahwa unsur kerugian negara (state damage) tidak lagi harus merupakan unsur tipikor sehingga menjadi pertanyaan apakah dengan demikian perbuatan tipikor tidak lagi memerlukan unsur kerugian keuangan negara? 

Jika ketentuan konvensi tersebut diikuti, perbuatan yang termasuk tipikor hanya suap di sektor publik dan swasta,memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment), memperdagangkan pengaruh (trading in influence), melakukan pencucian uang dari hasil korupsi, menjalankan permufakatan jahat, menghalang-halangi proses peradilan, menyalahgunakan wewenang, serta melakukan penggelapan harta negara dan harta korporasi. Gratifikasi dalam UU Tahun 1999/2001, dalam reviu tim bentukan UNODC, telah dinyatakan tumpang tindih dengan suap sehingga direkomendasi untuk dihapuskan. 

Rekomendasi tersebut beralasan karena dalam ketentuan gratifikasi telah dirumuskan terkait kalimat ”yang berhubungan dengan kedudukan atau jabatannya” sama dengan perbuatan suap, yang berbeda hanya hukum pembuktiannya.
Jika ketentuan Pasal 3 UNCAC diikuti, tipikor tidak lagi berkaitan dengan negara dirugikan atau tidak dirugikan dan tidak ada lagi tujuan mengembalikan kerugian negara, tapi hanya bertujuan menghukum semata-mata dan pidana denda. 

Persoalan baru muncul jika diikuti yaitu negara harus menanggung beban melebihi kemampuannya dalam memelihara dan mengurus terpidana tipikor sampai selesai menjalani hukumannya sehingga ancaman pidana denda harus dikaji kembali agar maksimal dan seimbang dengan harta kekayaan negara yang telah dirampok oleh terdakwa. Kesulitan tentu nanti berada pada penuntut untuk menghitung jumlah pidana denda yang harus dituntut dan hakim yang harus memastikan bahwa nilai pidana denda telah maksimal sesuai harta kekayaan negara yang telah hilang karena perbuatan terdakwa. 

Solusi hukum satu-satunya jika unsur kerugian keuangan negara dihapuskan adalah memaksimalkan implementasi UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tetapi, pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan asas legalitas yang bertujuan kepastian hukum termasuk pemberlakuan surut (retroaktif) terhadap harta kekayaan terdakwa yang tidak terkait tindak pidana asal (predicate crimes) sebagaimana telah ditegaskan di dalam Pasal 77 dan 78 UU TPPU. 

Disarankan agar pemberlakuan ketentuan pembuktian terbalik tersebut yang telah diberlakukan surut atas harta kekayaan terdakwa tidak terkait tipikor di dalam praktik oleh KPK dan hakim tipikor dihentikan. Praktik ini bertentangan dengan asas legalitas yang telah diakui universal dan terlebih telah melanggar prinsip perlindungan hak asasi terdakwa sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Diingatkan juga kepada mereka tentang lafal sumpah ketika mereka dilantik dalam jabatannya yang menegaskan bahwa mereka di bawah sumpah akan memegang teguh dan melaksanakan ketentuan UUD 1945 serta ketentuan perundang- undangan yang berlaku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar