Bangsa yang Bingung
Jakob
Sumardjo ; Budayawan
|
KOMPAS,
15 Februari 2014
“TERUTAMA
pemimpin bangsa, jika tidak mengerti rakyat dan bersifat pengampun, niscaya
akan ditinggalkan rakyatnya.”
Begitu isi
kitab Panitisastra. Kemudian ditambahkan oleh Wulangreh yang
ditulis sastrawan yang raja, Pakubuwono IV, bahwa menjadi pemimpin jangan
angkuh, jangan dekat dengan orang-orang jahat, akan tertular menjadi jahat.
”Wah, itu tradisi yang sudah mati.
Kita hidup di zaman super modern!” Baiklah, tetapi mengapa bangsa-bangsa yang
super modern di luar sana kekurangan koruptor?
Kalau pemimpin-pemimpin Indonesia
diminta memerintah negara-negara kaya, barangkali dalam waktu tak lama akan
menumpuk utang luar negerinya. Dengan catatan: kalau rakyatnya bingung
seperti Indonesia.
Bangsa ini memang sedang bingung.
Mana yang benar mana yang salah, mana pemimpin dan mana bukan pemimpin,
sedang ngomong benar atau sedang ngibul, sudah tak jelas lagi
bedanya.
Seperti anak-anak ayam yang
bingung akibat kehilangan induk-
nya, begitu pula bangsa ini: bingung karena tak punya lagi induk. Induk kita adalah pemimpin-pemimpin nasional. Sementara para pemimpin nasional ini sedang membentuk tingkah laku nasional yang kini tengah kita saksikan. Mereka ini menginduk ke mana?
Sebagian rakyat Indonesia tinggal
di lokal masing-masing secara turun-temurun sejak dahulu kala. Masing-masing
lokal memiliki tradisi kepemimpinan yang berbeda-beda, bahkan mungkin saling
bertentangan. Seperti kutipan di atas, ia berangkat dari tradisi Jawa yang
terlihat menekan segi moralitas seorang pemimpin. Dalam tradisi ini pemimpin
wajib dihormati, seperti menghormati orangtua dan seorang guru.
Bagi rakyat lokal, para pemimpin
adalah manusia spiritual yang karismatik akibat kemampuannya mencapai wilayah
transenden. Sejak kecil, calon-calon pemimpin bangsanya ini dilatih dalam
ilmu-ilmu ketatanegaraan, ilmu perang, dan laku spiritual. Khususnya laku
spiritual ini mereka di bawah asuhan guru-guru spiritual negara.
Tidak
mengherankan jika mereka belajar agama, filsafat, dan kesenian religius
adiluhung. Ketika tiba saatnya harus jadi pemimpin bangsanya, mereka telah
terlatih dalam mewarisi etika ”nasionalnya”.
Saling berseberangan
Kita memang sudah tidak di ”zaman
batu” seperti itu. Tetapi, kearifan lokal yang mensyaratkan pemimpin adalah
yang tinggi tingkat moralitas berdasarkan tradisi zamannya tentu bukan milik
lokal, melainkan universal. Juga untuk masa kini. Religiositasnya yang tinggi—selain pengetahuan dan praktik ketatanegaraan dan strategi
keamanan negara—dapat berlaku di mana saja.
Rakyat lokal yang masih kuat
tradisi ”zaman batu ini” dengan mudah membaca siapa pemimpin-pemimpin kita
yang benar-benar pemimpin menurut konsep setempat. Tetapi, mereka diam saja,
justru berpegang pada konsep kepemimpinan tradisional: raja adil raja
disembah, raja lalim raja disanggah. Tetapi, bagaimana menyanggah pemimpin
nasional ini? Pemimpin itu gung binathara alias dewa-raja, kalau dia
salah tentu Tuhan sendiri yang akan menghukumnya.
Pemimpin itu manusia utama bukan
manusia nista. Pemimpin itu primer inter pares yang dipilih oleh
pemimpin-pemimpin lain yang setara dengan dirinya. Kalau dia tidak beres,
para pemimpin yang lain akan membereskannya. Atau pemimpin itu harus jodoh
dengan bawahannya. Tidak mungkin pemimpin bodoh membawahkan bawahannya yang
lebih cerdas. Pemimpin semacam itu akan ditinggalkan anak buahnya. Intinya
bahwa pemimpin itu urusan transenden dan imanen, rohaniah dan duniawiah. Rakyat
tinggal menerima.
Setelah reformasi, rakyat diminta
memilih pemimpin daerahnya sendiri dan pemimpin nasional. Siapa yang harus
dipilih? Ternyata bukan rakyat yang menentukan, tapi parpol. Rakyat cukup
traumatik dengan sejarah parpol di Indonesia yang saling berebut menguasai
negara. Lebih parah lagi rakyat tak kenal calon- calon yang disodorkan.
Daripada mencoblos kucing dalam karung, rakyat akhirnya cenderung memilih
orang yang mereka kenal lewat media massa, yakni tokoh-tokoh penghibur: entah
penyanyi, pelawak, bintang film dan sinetron, bintang iklan. Sekarang orang
kota yang bingung: mengapa negara menjadi semacam panggung sandiwara begini?
Alam pikiran perkotaan yang
berorientasi global berseberangan dengan alam pikir tradisional lokal.
Keduanya bagai minyak dan air. Kecenderungan rakyat tradisional yang menerima
apa yang diputuskan oleh ”mereka yang di atas” dan menunggu nasib baik
mendapat ”raja yang adil”, gung binathara, Ratu Adil, berseberangan
dengan para pemimpin nasional yang berpikir bahwa rakyat sudah berpikir
seperti dirinya. Tidak ada toleransi intelektual, justru memanipulasi
”kebodohan” rakyat tradisional demi kepentingan sempitnya.
Negara ini mau dibawa ke mana:
nasionalisme-perkotaan atau pluralisme tradisi lokalnya? Yang di depan tidak
mau menoleh ke belakang, yang di belakang belum mampu melihat ke depan. Kalau
elite perkotaan yang nasional ini mau menengok ke belakang, mendengarkan
kembali pesan-pesan tua dari dunia tradisi lokal, maka kesatuan pola pikir
akan tercapai sehingga pemimpin ”mengerti rakyat”, ”jangan angkuh”, ”jangan
dekat orang jahat” dapat diterima dua dunia yang berseberangan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar