Sabtu, 15 Februari 2014

Bangsa yang Bingung

                           Bangsa yang Bingung

Jakob Sumardjo  ;   Budayawan
KOMPAS,  15 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“TERUTAMA pemimpin bangsa, jika tidak mengerti rakyat dan bersifat pengampun, niscaya akan ditinggalkan rakyatnya.”

Begitu isi kitab Panitisastra. Kemudian ditambahkan oleh Wulangreh yang ditulis sastrawan yang raja, Pakubuwono IV, bahwa menjadi pemimpin jangan angkuh, jangan dekat dengan orang-orang jahat, akan tertular menjadi jahat.

”Wah, itu tradisi yang sudah mati. Kita hidup di zaman super modern!” Baiklah, tetapi mengapa bangsa-bangsa yang super modern di luar sana kekurangan koruptor?
Kalau pemimpin-pemimpin Indonesia diminta memerintah negara-negara kaya, barangkali dalam waktu tak lama akan menumpuk utang luar negerinya. Dengan catatan: kalau rakyatnya bingung seperti Indonesia.

Bangsa ini memang sedang bingung. Mana yang benar mana yang salah, mana pemimpin dan mana bukan pemimpin, sedang ngomong benar atau sedang ngibul, sudah tak jelas lagi bedanya.

Seperti anak-anak ayam yang bingung akibat kehilangan induk-
nya, begitu pula bangsa ini: bingung karena tak punya lagi induk. Induk kita adalah pemimpin-pemimpin nasional. Sementara para pemimpin nasional ini sedang membentuk tingkah laku nasional yang kini tengah kita saksikan. Mereka ini menginduk ke mana?

Sebagian rakyat Indonesia tinggal di lokal masing-masing secara turun-temurun sejak dahulu kala. Masing-masing lokal memiliki tradisi kepemimpinan yang berbeda-beda, bahkan mungkin saling bertentangan. Seperti kutipan di atas, ia berangkat dari tradisi Jawa yang terlihat menekan segi moralitas seorang pemimpin. Dalam tradisi ini pemimpin wajib dihormati, seperti menghormati orangtua dan seorang guru.

Bagi rakyat lokal, para pemimpin adalah manusia spiritual yang karismatik akibat kemampuannya mencapai wilayah transenden. Sejak kecil, calon-calon pemimpin bangsanya ini dilatih dalam ilmu-ilmu ketatanegaraan, ilmu perang, dan laku spiritual. Khususnya laku spiritual ini mereka di bawah asuhan guru-guru spiritual negara. 
Tidak mengherankan jika mereka belajar agama, filsafat, dan kesenian religius adiluhung. Ketika tiba saatnya harus jadi pemimpin bangsanya, mereka telah terlatih dalam mewarisi etika ”nasionalnya”.

Saling berseberangan

Kita memang sudah tidak di ”zaman batu” seperti itu. Tetapi, kearifan lokal yang mensyaratkan pemimpin adalah yang tinggi tingkat moralitas berdasarkan tradisi zamannya tentu bukan milik lokal, melainkan universal. Juga untuk masa kini. Religiositasnya yang tinggi—selain pengetahuan dan praktik ketatanegaraan dan strategi keamanan negara—dapat berlaku di mana saja.

Rakyat lokal yang masih kuat tradisi ”zaman batu ini” dengan mudah membaca siapa pemimpin-pemimpin kita yang benar-benar pemimpin menurut konsep setempat. Tetapi, mereka diam saja, justru berpegang pada konsep kepemimpinan tradisional: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Tetapi, bagaimana menyanggah pemimpin nasional ini? Pemimpin itu gung binathara alias dewa-raja, kalau dia salah tentu Tuhan sendiri yang akan menghukumnya.

Pemimpin itu manusia utama bukan manusia nista. Pemimpin itu primer inter pares yang dipilih oleh pemimpin-pemimpin lain yang setara dengan dirinya. Kalau dia tidak beres, para pemimpin yang lain akan membereskannya. Atau pemimpin itu harus jodoh dengan bawahannya. Tidak mungkin pemimpin bodoh membawahkan bawahannya yang lebih cerdas. Pemimpin semacam itu akan ditinggalkan anak buahnya. Intinya bahwa pemimpin itu urusan transenden dan imanen, rohaniah dan duniawiah. Rakyat tinggal menerima.

Setelah reformasi, rakyat diminta memilih pemimpin daerahnya sendiri dan pemimpin nasional. Siapa yang harus dipilih? Ternyata bukan rakyat yang menentukan, tapi parpol. Rakyat cukup traumatik dengan sejarah parpol di Indonesia yang saling berebut menguasai negara. Lebih parah lagi rakyat tak kenal calon- calon yang disodorkan. Daripada mencoblos kucing dalam karung, rakyat akhirnya cenderung memilih orang yang mereka kenal lewat media massa, yakni tokoh-tokoh penghibur: entah penyanyi, pelawak, bintang film dan sinetron, bintang iklan. Sekarang orang kota yang bingung: mengapa negara menjadi semacam panggung sandiwara begini?

Alam pikiran perkotaan yang berorientasi global berseberangan dengan alam pikir tradisional lokal. Keduanya bagai minyak dan air. Kecenderungan rakyat tradisional yang menerima apa yang diputuskan oleh ”mereka yang di atas” dan menunggu nasib baik mendapat ”raja yang adil”, gung binathara, Ratu Adil, berseberangan dengan para pemimpin nasional yang berpikir bahwa rakyat sudah berpikir seperti dirinya. Tidak ada toleransi intelektual, justru memanipulasi ”kebodohan” rakyat tradisional demi kepentingan sempitnya.

Negara ini mau dibawa ke mana: nasionalisme-perkotaan atau pluralisme tradisi lokalnya? Yang di depan tidak mau menoleh ke belakang, yang di belakang belum mampu melihat ke depan. Kalau elite perkotaan yang nasional ini mau menengok ke belakang, mendengarkan kembali pesan-pesan tua dari dunia tradisi lokal, maka kesatuan pola pikir akan tercapai sehingga pemimpin ”mengerti rakyat”, ”jangan angkuh”, ”jangan dekat orang jahat” dapat diterima dua dunia yang berseberangan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar