Rabu, 05 Februari 2014

Politik Luar Negeri Indonesia Raya

Politik Luar Negeri Indonesia Raya

Alexandra Retno Wulan   ;   Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS Jakarta
MEDIA INDONESIA,  04 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
“Paradigma bebas aktif telah dari dulu dianut Indonesia. Sayangnya tiap pemimpin memiliki interpretasi yang berbeda mengenai konsep bebas aktif yang sama.”

TAHUN 2014 sering disebut sebagai tahun politik bagi Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan pemilu yang akan dilaksanakan dalam beberapa bulan mendatang. Namun, tahun ini tampaknya tidak hanya akan menjadi tahun politik untuk menyelenggarakan pemilihan anggota legislatif serta presiden dan wakil presiden, tapi jelas ini sekaligus akan menjadi tahun penentuan bagi masa depan Indonesia. Tahun 2014 menentukan pemimpin negara yang akan membawa Indonesia ke masa depan yang lebih raya (besar, mulia) atau yang lebih kelabu. Artikel ini berusaha mendeskripsikan Indonesia Raya dalam konteks politik luar negeri Indonesia. Besar harapan, pemimpin negara yang dipilih 2014 ini akan berjuang demi Indonesia Raya.

Apabila dirunut dari pemikiran Soekarno sebagai salah satu proklamator, Indonesia Raya dibangun tiga prinsip uta ma Trisakti, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial dan budaya. Setidaknya terdapat dua pilar utama untuk menegakkan prinsip berdaulat politik dalam konteks hubung an internasional. Pertama, pilar tegaknya kedaulatan Indonesia. Kedua, pilar politik luar negeri bebas aktif.

Kedaulatan negara tentunya meliputi banyak aspek kenegaraan, tetapi setidaknya dua hal yang sangat penting bagi Indonesia di saat ini. Pemimpin Indonesia di masa depan harus dapat menjaga integritas serta keutuhan Indonesia. Indonesia pernah mengalami beberapa kenyataan pahit bahwa sebagian dari yang dulu ialah Indonesia, tetapi kini bukanlah lagi bagian dari Indonesia. Timor Leste bukan lagi menjadi bagian dari Indonesia berdasarkan hasil jajak pendapat yang diputuskan masa Presiden Ke-3 Republik Indonesia, BJ Habibie. Pulau Sipadan dan Ligitan juga kini bukan bagian dari Indonesia setelah Presiden Ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, harus menerima keputusan dari Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002. Haruslah dicatat bahwa Presiden Ke-2 RI, Soeharto, yang memutuskan berdasarkan usulan perdana menteri Malaysia pada saat itu, Mahathir Mohammad, bahwa kasus Sipadan-Ligitan diajukan ke Mahkamah Internasional pada 31 Mei 1997. Sebagai bangsa yang menghargai keputusan yang telah diambil pemimpin sebelumnya, Indonesia harus menerima putusan dari Mahkamah Internasional tersebut.

Menjaga integritas

Namun, di sisi lain, Indonesia juga pernah mencatat ke berhasilan menjaga integritas dan keutuhan wilayahnya. Pada 1990-an, ketika Kuba menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Megawati yang pada saat itu ialah anggota DPR diminta Ketua MPR/DPR ketika itu, Kharis Suhud, untuk melakukan lobi sehingga masalah Timor Timur tidak dimasukkan ke agenda DK PBB. Diplomasi Megawati yang dikenal dengan diplomasi cerutu tersebut berhasil membuat Timor Timur tidak dibahas dalam agenda DK PBB. Jelas bahwa pemimpin Indonesia di masa depan harus dapat memastikan terjaganya integritas serta keutuhan Indonesia.

Aspek kedua yang juga sangat erat dengan kebutuhan menjaga integritas serta keutuhan Indonesia ialah kekuatan pertahanan Indonesia. Konsekuensi logis dari kebutuhan menjaga integritas dan keutuhan Indonesia ialah kemampuan pertahanan yang mumpuni. Data yang selalu disampaikan dalam komparasi kekuatan pertahanan Indonesia dengan negara-negara lain di kawasan ialah bahwa rasio anggaran pertahanan terhadap PDB yang relatif masih sangat kecil dan bahkan tidak mencapai 1%. Indonesia pastinya masih membutuhkan ratusan tank, pesawat tempur, dan kapal perang untuk menjaga lebih dari 2.800 km perbatasan darat serta sekitar 5,8 juta km2 wilayah perairan dan udara Indonesia. Peningkatan kemampuan pertahanan Indonesia ialah sebuah keniscayaan dan oleh karena itu, pemimpin Indonesia di masa depan harus secara konsisten memperjuangkan tercapainya kekuatan pertahanan Indonesia yang mumpuni.

Beda interpretasi

Pilar kedua ialah politik luar negeri yang bebas aktif. Paradigma bebas aktif telah dari dulu dianut Indonesia. Sayangnya tiap pemimpin memiliki interpretasi yang berbeda mengenai konsep bebas aktif yang sama. Sejarah mencatat ketika Bung Karno berpidato di depan Sidang Majelis Umum PBB XV, 30 September 1960, yang menjelaskan politik bebas aktif dengan mendasarkan diri pada prinsip solidaritas serta perdamaian sebagai tujuan hidup berbangsa, bernegara, dan bertetangga. Jelas bahwa walaupun Indonesia tidak memihak pada Blok Barat dan Timur pada saat itu, Indonesia memiliki solidaritas terhadap negara-negara di seluruh dunia yang tengah memerangi kolonialisme.

Indonesia juga sedari awal dibentuknya selalu berupaya untuk menciptakan perdamaian dunia seperti yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, politik bebas aktif tidaklah harus dimaknai dengan seremoni semata dengan Indonesia memiliki sejuta teman dan tanpa musuh, tetapi ha rus dimaknai bahwa Indonesia tidak takut melawan ketidakadilan dalam hubungan internasional. 

Pada saat yang bersamaan Indonesia tetap mengupayakan tercapainya perdamaian dunia sebagai salah satu tujuan dalam politik luar negerinya karena konflik bersenjata tidaklah hilang dalam konteks kekinian hubungan internasional. Ancaman tersebut malahan makin nyata, misalnya dengan peningkatan insiden antara China dan Jepang. Indonesia harus lebih aktif melibatkan diri dalam perwujudan perdamaian di kawasan Asia Pasifik.

Jelaslah 2014 merupakan tahun penentuan. Tahun ini akan menentukan arah masa depan Indonesia. Pentinglah untuk memilih pemimpin Indonesia yang akan mewujudkan Indonesia Raya dan bukan sekadar menamakan diri sebagai gerakan menuju Indonesia Raya. Namun, pemimpin yang memiliki visi dan ideologi revolusioner untuk membangun jiwa dan badan untuk Indonesia Raya seperti yang diinginkan seluruh warga negara Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar