Politik
Luar Negeri Indonesia Raya
Alexandra Retno Wulan ; Peneliti
Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Februari 2014
“Paradigma bebas aktif telah dari dulu
dianut Indonesia. Sayangnya tiap pemimpin memiliki interpretasi yang berbeda
mengenai konsep bebas aktif yang sama.”
TAHUN 2014 sering
disebut sebagai tahun politik bagi Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan
pemilu yang akan dilaksanakan dalam beberapa bulan mendatang. Namun, tahun
ini tampaknya tidak hanya akan menjadi tahun politik untuk menyelenggarakan
pemilihan anggota legislatif serta presiden dan wakil presiden, tapi jelas
ini sekaligus akan menjadi tahun penentuan bagi masa depan Indonesia. Tahun
2014 menentukan pemimpin negara yang akan membawa Indonesia ke masa depan
yang lebih raya (besar, mulia) atau yang lebih kelabu. Artikel ini berusaha
mendeskripsikan Indonesia Raya dalam konteks politik luar negeri Indonesia. Besar
harapan, pemimpin negara yang dipilih 2014 ini akan berjuang demi Indonesia
Raya.
Apabila dirunut dari
pemikiran Soekarno sebagai salah satu proklamator, Indonesia Raya dibangun
tiga prinsip uta ma Trisakti, yaitu berdaulat secara politik, berdikari
secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial dan budaya. Setidaknya
terdapat dua pilar utama untuk menegakkan prinsip berdaulat politik dalam
konteks hubung an internasional. Pertama, pilar tegaknya kedaulatan
Indonesia. Kedua, pilar politik luar negeri bebas aktif.
Kedaulatan negara
tentunya meliputi banyak aspek kenegaraan, tetapi setidaknya dua hal yang
sangat penting bagi Indonesia di saat ini. Pemimpin Indonesia di masa depan
harus dapat menjaga integritas serta keutuhan Indonesia. Indonesia pernah
mengalami beberapa kenyataan pahit bahwa sebagian dari yang dulu ialah
Indonesia, tetapi kini bukanlah lagi bagian dari Indonesia. Timor Leste bukan
lagi menjadi bagian dari Indonesia berdasarkan hasil jajak pendapat yang
diputuskan masa Presiden Ke-3 Republik Indonesia, BJ Habibie. Pulau Sipadan
dan Ligitan juga kini bukan bagian dari Indonesia setelah Presiden Ke-5 RI,
Megawati Soekarnoputri, harus menerima keputusan dari Mahkamah Internasional
pada 17 Desember 2002. Haruslah dicatat bahwa Presiden Ke-2 RI, Soeharto,
yang memutuskan berdasarkan usulan perdana menteri Malaysia pada saat itu,
Mahathir Mohammad, bahwa kasus Sipadan-Ligitan diajukan ke Mahkamah
Internasional pada 31 Mei 1997. Sebagai bangsa yang menghargai keputusan yang
telah diambil pemimpin sebelumnya, Indonesia harus menerima putusan dari
Mahkamah Internasional tersebut.
Menjaga integritas
Namun, di sisi lain,
Indonesia juga pernah mencatat ke berhasilan menjaga integritas dan keutuhan
wilayahnya. Pada 1990-an, ketika Kuba menjadi anggota tidak tetap Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Megawati yang pada saat itu ialah
anggota DPR diminta Ketua MPR/DPR ketika itu, Kharis Suhud, untuk melakukan
lobi sehingga masalah Timor Timur tidak dimasukkan ke agenda DK PBB.
Diplomasi Megawati yang dikenal dengan diplomasi cerutu tersebut berhasil
membuat Timor Timur tidak dibahas dalam agenda DK PBB. Jelas bahwa pemimpin
Indonesia di masa depan harus dapat memastikan terjaganya integritas serta
keutuhan Indonesia.
Aspek kedua yang juga
sangat erat dengan kebutuhan menjaga integritas serta keutuhan Indonesia
ialah kekuatan pertahanan Indonesia. Konsekuensi logis dari kebutuhan menjaga
integritas dan keutuhan Indonesia ialah kemampuan pertahanan yang mumpuni.
Data yang selalu disampaikan dalam komparasi kekuatan pertahanan Indonesia
dengan negara-negara lain di kawasan ialah bahwa rasio anggaran pertahanan
terhadap PDB yang relatif masih sangat kecil dan bahkan tidak mencapai 1%. Indonesia
pastinya masih membutuhkan ratusan tank, pesawat tempur, dan kapal perang
untuk menjaga lebih dari 2.800 km perbatasan darat serta sekitar 5,8 juta km2
wilayah perairan dan udara Indonesia. Peningkatan kemampuan pertahanan
Indonesia ialah sebuah keniscayaan dan oleh karena itu, pemimpin Indonesia di
masa depan harus secara konsisten memperjuangkan tercapainya kekuatan
pertahanan Indonesia yang mumpuni.
Beda interpretasi
Pilar kedua ialah
politik luar negeri yang bebas aktif. Paradigma bebas aktif telah dari dulu
dianut Indonesia. Sayangnya tiap pemimpin memiliki interpretasi yang berbeda
mengenai konsep bebas aktif yang sama. Sejarah mencatat ketika Bung Karno
berpidato di depan Sidang Majelis Umum PBB XV, 30 September 1960, yang
menjelaskan politik bebas aktif dengan mendasarkan diri pada prinsip
solidaritas serta perdamaian sebagai tujuan hidup berbangsa, bernegara, dan
bertetangga. Jelas bahwa walaupun Indonesia tidak memihak pada Blok Barat dan
Timur pada saat itu, Indonesia memiliki solidaritas terhadap negara-negara di
seluruh dunia yang tengah memerangi kolonialisme.
Indonesia juga sedari
awal dibentuknya selalu berupaya untuk menciptakan perdamaian dunia seperti
yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, politik bebas
aktif tidaklah harus dimaknai dengan seremoni semata dengan Indonesia memiliki
sejuta teman dan tanpa musuh, tetapi ha rus dimaknai bahwa Indonesia tidak
takut melawan ketidakadilan dalam hubungan internasional.
Pada saat yang
bersamaan Indonesia tetap mengupayakan tercapainya perdamaian dunia sebagai
salah satu tujuan dalam politik luar negerinya karena konflik bersenjata
tidaklah hilang dalam konteks kekinian hubungan internasional. Ancaman
tersebut malahan makin nyata, misalnya dengan peningkatan insiden antara
China dan Jepang. Indonesia harus lebih aktif melibatkan diri dalam
perwujudan perdamaian di kawasan Asia Pasifik.
Jelaslah 2014
merupakan tahun penentuan. Tahun ini akan menentukan arah masa depan
Indonesia. Pentinglah untuk memilih pemimpin Indonesia yang akan mewujudkan
Indonesia Raya dan bukan sekadar menamakan diri sebagai gerakan menuju Indonesia
Raya. Namun, pemimpin yang memiliki visi dan ideologi revolusioner untuk
membangun jiwa dan badan untuk Indonesia Raya seperti yang diinginkan seluruh
warga negara Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar