Berkaca pada Kasus Corby
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Hukum Pidana
Internasional Universitas Padjadjaran
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Februari 2014
“Masalah itu sudah pasti berdampak dan
ada salah satu kepentingan harus `diabaikan', apakah kepentingan nasional
atau kerja sama bilateral atau internasional.”
SEBENARNYA masih
banyak kasus `Corby' lain yang tidak diketahui umum seperti terpidana narkoba
yang warga negara Prancis. Dia juga dihukum seumur hidup, tetapi memperoleh
pembebasan bersyarat ala Corby. Pemerintah telah tegas menetapkan kebijakan
penegakan hukum zero tolerance
terhadap kasus korupsi, narkoba, dan terorisme. Tentu kita mengapresiasi
kebijakan hukum tersebut.
Meski demikian, ketika
ketiga kejahatan musuh bangsa berkaitan dengan pelaku yang warga negara asing
(WNA), di sinilah konsistensi pemerintah diuji. Apakah sikap dan kebijakan
hukum serta penegakan hukum yang telah diberlakukan sama terhadap semua pelakunya,
tidak terkecuali pelakunya WNA.
Sejarah diplomasi
penegakan hukum sejak pelarian terpidana mantan petinggi Nazi sampai pada
proses ekstradisi mantan presiden Nigeria, Cile, dan PM Thailand Thaksin
Shinawatra, telah terbukti bahwa proses ekstradisi dan bantuan timbal balik
dalam masalah pidana selalu berkelindan dengan kepentingan politik kedua
negara yang bekerja sama. Langkah ini lazim berlaku di dalam dunia diplomasi
antarnegara, dan bukan sesuatu yang aneh atau luar biasa. Kita pernah alami keberadaan
pengaruh kepentingan politis ketika pemerintah mengajukan permohonan
ekstradisi Hendra Rahardja, buron Kejaksaan Agung lebih dari 5 (lima) tahun.
Hendra tidak pernah kembali sampai meninggal dunia di Australia kecuali
asetnya yang tidak seberapa. Selain Hendra, masih ada yang menjadi buron
karena mengemplang BLBI sampai kini sebagian besar raib, tidak tentu
domisilinya dan tidak dapat dipulangkan ke Indonesia, tidak terkecuali yang
mukim di Singapura, Hong Kong, dan Swiss.
Luar biasa
Jika baru-baru ini
hakim federal Australia mengabulkan permintaan ekstradisi Adrian Kiki Ariawan
ke Indonesia dan diperkuat keterangan Kementerian Luar Negeri Australia,
sungguh luar biasa. Sebab, sekalipun kedua negara telah terikat pada
perjanjian ekstradisi dan MLA, lazimnya pemerintah Australia sulit untuk
kooperatif dengan pemerintah Indonesia dalam hal buron korupsi dan perbankan
sekalipun telah lebih dari 5 tahun buron. Terlebih hal itu bertepatan
menjelang dikeluarkannya kebijakan hukum pemberian bebas bersyarat terhadap
Corby.
Dalam dunia diplomasi
khusus penegakan hukum diibaratkan no
free for lunch.
Atau paling tidak sekurang-kurangya ada janji berdasarkan prinsip resiprositas dari negara peminta (requesting state) dalam hal ini Indonesia kepada negara diminta (requested state), Australia. Ketika kebijakan pemerintah menempatkan tiga jenis kejahatan sebagai musuh bangsa Indonesia, tentu harus telah dipertimbangkan faktor politis dalam kerja sama internasional penegakan hukum pidana.
Mengapa? Hal itu
disebabkan karakter hukum pidana dan karakter hukum internasional telah
berbeda sejak awal, yaitu hukum pidana bercirikan pasti, jelas, dan tegas,
sedangkan hukum internasional--dalam kerja sama antarnegara--bertolak pada
kepentingan negara (nasional) yang menganut prinsip pacta sunt servanda (iktikad baik) dan lebih mengutamakan
pertemuan pemikiran (meeting of mind)
dan kepentingan (mutual of interest)
dua negara atau lebih dalam satu isu tertentu.
Ada yang diabaikan
Dalam aplikasinya,
tidak jauh berbeda dan memerlukan ketegasan sikap serta konsistensi pada
kebijakan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional di satu sisi, dan
di sisi lain diperlukan kepiawaian diplomasi untuk bernegosiasi serta tidak
harus apriori berpegang teguh pada kebijakan awal. Di sinilah letak akar
masalah pro dan kontra kasus pembebasan bersyarat Corby. Masalah itu sudah
pasti berdampak dan ada salah satu kepentingan harus `diabaikan', apakah
kepentingan nasional atau kerja sama bilateral atau internasional.
Dalam kasus bebas bersyarat
Corby, tampaknya ada dua kemungkinan yang `diabaikan', yaitu pertama memang
kepentingan (hukum) nasional telah `diabaikan' dan kepentingan kerja sama
bilateral telah didahulukan. Atau mungkin kedua negara setuju pada prinsip
resiprositas; pemulangan Adrian Kiki Ariawan berbalas dengan bebas bersyarat
Corby.
Apakah pemerintah
Indonesia keliru atau dapat dipersalahkan? Jawabannya tidak! Hal itu
disebabkan pakem diplomasi hukum internasional yang membenarkan keputusan
pembebasan bersyarat Corby tentu dengan didahului oleh prasarayat prinsip
resiprositas sebagaimana diuraikan awal tulisan ini.
Hanya saja pemerintah harus terbuka kepada publik bahwa dokumen lengkap untuk
bebas bersyarat Corby telah sesuai dengan ketentuan perundangan mengenai tata
cara pembebasan yang tidak berbeda terhadap terpidana lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar