Teologi Lingkungan dan Etika
Pemihakan
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 13 Februari 2014
“Manusia
selalu memikirkan sisi eksploitatif dari lingkungan sehingga menyebabkan
bencana.”
Dengan
bertubinya bencana alam menerjang negeri ini, kita didesak lebih berpikir dan
bertindak secara arif terhadap alam atau lingkungan tempat kita berpijak dan
mencari rezeki.
Itu
karena terjadinya bencana alam umumnya disebabkan kerusakan lingkungan akibat
ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Jadi, kesadaran mengenai perlunya
kelestarian lingkungan harus dijadikan bagian dari kehidupan keimanan kita
sebagai makhluk religius atau umat beragama.
Pertanyaannya,
mengapa alam atau lingkungan kita kian rusak dan bencana pun tidak
henti-hentinya menerjang negeri ini? Soal alam atau lingkungan kita yang kian
rusak, itu tidak lain karena pemikiran teologi kita selama ini yang cenderung
membenarkan hubungan “eksploitatif” antara manusia dan alam.
Manusia
seperti memiliki kebenaran mutlak untuk menguasai alam demi kepentingan
hidupnya. Itu seolah alam semesta ini hanya diciptakan untuk kepentingan
manusia semata, bukan untuk dirinya (alam) sendiri.
Dengan
demikian, kita lupa bahwa sesungguhnya kita memiliki spiritualitas yang
mumpuni, pemikiran keagamaan, dan teologi yang andal soal tujuan penciptaan
alam semesta, yang bukan semata-mata untuk manusia, tetapi juga untuk dirinya
(alam) sendiri. Itu yang tidak boleh dicaplok begitu saja oleh manusia untuk
kepentingannya, tanpa memperhatikan kelestariannya.
Dalam
hal ini, pemikiran teologi kita yang menempatkan manusia sebagai pusat harus
dicairkan. Itu dengan mengembangkan pemikiran teologi yang menempatkan
seluruh ciptaan sebagai saudara yang saling membantu dan melengkapi.
Teologi
Lingkungan
Dengan
demikian tercuat pertanyaan, dari perspektif mana sebuah teologi dibangun dan
dikembangkan, terutama yang menyangkut teologi lingkungan? Pertanyaan ini
harus dielaborasi lebih dulu dengan menegaskan, kerusakan lingkungan yang
terus terjadi berefek langsung pada munculnya bencana alam yang tiada henti.
Itu
telah mendorong kita melihat bahwa teologi lingkungan saat ini perlu
dihadirkan kembali untuk menggugah semangat umat manusia di bumi dalam
mencapai soteriologi rumah tangga dunia.
Landasan
epistemologis dari teologi lingkungan adalah kesadaran agama-agama bahwa
krisis lingkungan sudah sangat parah saat ini sehingga bencana alam pun terus
menerjang umat manusia.
Hal
tersebut bukan semata problem “sekuler”, melainkan juga merupakan problem
“religius” atau problem “teologis”. Kesalahan pemikiran teologislah yang
mendorong manusia mendominasi, menguasai, dan mengeksploitasi alam tanpa
batas, bahkan dengan sangat serakah.
Ini
dinilai dari cara pandang umat kristiani abad pertengahan, tentang posisi
manusia dengan alam. Pandangan itu menempatkan manusia sebagai pusat alam
semesta, semua ciptaan lain harus tunduk kepadanya. Jadi, teknologi pun
dikembangkan sebagai sarana eksploitasi alam dengan alasan demi kesejahteraan
dan kemakmuran manusia.
Untunglah
dalam perkembangan kemudian, ketimpangan cara pandang itu perlahan tapi pasti
dirombak. Penekanan yang berlebihan tentang kemahakuasaan Tuhan dalam
monoteisme yang menjadi landasan legitimasi eksploitasi alam diubah dengan
menempatkan Tuhan sebagai penjaga, perawat, pemelihara, dan pelindung
lingkungan (Tuhan yang ekouniversal).
Mandat
budaya untuk menguasai alam tidak lagi dipahami dalam koridor manusia sebagai
penakluk dan penguasa alam, tetapi sebagai titipan kewajiban dan tanggung
jawab untuk menjaga, merawat, dan memeliharanya.
Perspektif
lingkungan dalam Alkitab (Kejadian) tidak bisa lagi dibaca dan dipahami
secara berat sebelah dengan menekankan pada penguasaan manusia pada segenap
ciptaan lainnya. Kata “penguasaan” dan “penaklukan” dalam Alkitab (Kejadian)
harus lebih diartikan sebagai kekuasaan merawat, memelihara, dan melindungi.
Setelah
diciptakan, manusia ditempatkan di Taman Eden. Itu tidak lain harus
dimengerti dalam suasana merawat dan memelihara segenap ciptaan di Bumi.
Jadi, Alkitab juga tidak dinilai sebagai kitab yang tidak peduli lingkungan,
tetapi justru sebaliknya, sebagai kitab yang peduli lingkungan.
Jadi,
pengembangan teologi lingkungan peduli pada alam yang menempatkan manusia
sebagai pemelihara dan pelindung alam semesta perlu digemakan dan dibumikan.
Penggemaan dan pembumian teologi lingkungan ini bertujuan mendekonstruksikan
dan menguji kembali sikap iman kita terhadap lingkungan dan atau alam
semesta. Itu demi tercapainya keselamatan seluruh ciptaan Tuhan.
Etika
Pemihakan
Kini,
tidak ada jalan lain bagi segenap umat beragama selain segera dan
terus-menerus membangun pemikiran teologis yang mampu memberikan sumbangan
dan berperan serta dalam tanggung jawab etis di bidang penyelamatan
lingkungan. Pengendalian diri dalam pengeksploitasian alam atau lingkungan
dinilai dari lahir dan berkembangnya pemikiran serta semangat itu.
Dalam
hal ini, manusia zaman ini perlu mengkaji dan mempelajari lagi pemikiran
teologi yang berkembang selama ini, yang terpengaruh pemikiran teologi Barat,
terutama abad pertengahan.
Itu
dengan kembali menempatkan manusia dalam posisi yang memiliki tanggung jawab
moral dan etis dalam relasi dengan kosmos atau alam semesta. Dalam dimensi
etis, manusia harus berpihak pada alam atau lingkungan dengan selalu bersikap
bijak dalam berelasi dengan alam atau lingkungan, tempat ia berada, berpijak,
dan berelasi.
Hal
yang dibutuhkan kini adalah pembangunan etika baru yang memosisikan manusia
dalam berelasi dengan alam. Itu karena objek hidup, seperti alam dan dunia,
tidak akan ada dan berubah kecuali di dalam persepsi si subjek, manusia. Itu
dalam penempatan diri secara tepat dan benar di tengah alam.
Jika
manusia salah memosisikan dirinya dan menempatkan alam sebagai objek yang
harus dikuasai, kemudian alam pun dieksploitasi, alam akan berbicara atas
dasar tindakan manusia itu. Jika alam dirusak terus-menerus, tentu bencana
alam datang sebagai tindakan protes alam terhadap manusia.
Artinya,
perlu etika pemihakan pada alam atau lingkungan sebagai bentuk implementasian
pemikiran teologi di atas. Itu adalah perangkat etika yang mampu dengan
cerdas memihak alam dan atau lingkungan.
Itu
etika yang memberi kepedulian, perlindungan, sekaligus perawatan terhadap
alam dan lingkungan, etika yang mampu mencegah arogan dan dominasi manusia
yang tidak bertanggung jawab atau tidak bertindak etis terhadap alam dan
lingkungan.
Dengan
demikian, alam dapat terbebaskan dari kerusakan yang lebih parah. Itulah yang
disebut sebagai etika pemihakan. Kita tidak bisa lagi hanya terpaku dan
membisu, atau hanya sebagai penonton yang pasif di tengah eksistensi alam
yang tidak henti-hentinya digerogoti dan dirusak sehingga bencana alam terus
menerjang negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar