Kepemimpinan
Perempuan di Kampus
Musdah Mulia ; Aktivis Perempuan
|
TEMPO.CO,
04 Februari 2014
Faktanya, 65 persen dari lulusan universitas di
dunia adalah perempuan, bahkan 65 persen dari lulusan terbaik universitas
juga perempuan. Tapi kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi di Indonesia
tidak sesuai dengan fakta itu. Tercatat hanya ada empat perempuan rektor atau
ketua. Padahal, di negeri ini ada 97 perguruan tinggi negeri dan 3.124
perguruan tinggi swasta.
Lokakarya tentang minimnya kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Higher Education and Leadership Management menyimpulkan tiga faktor utama sebagai hambatan: budaya patriarkal dan faktor eksternal di sekitar perempuan; minimnya pengembangan pribadi dan profesional bagi perempuan; dan kurangnya kelompok perempuan aktif yang mampu menyebarkan semangat positif dalam mengambil peran kepemimpinan. Ternyata hambatan paling mengemuka bukan soal kompetensi akademik, kemampuan ilmiah, ataupun pengalaman manajemen perguruan tinggi sebagaimana disyaratkan, melainkan lebih banyak terkait dengan nilai-nilai budaya. Sungguh sangat disayangkan, dunia pendidikan tinggi yang seharusnya mengajarkan pentingnya nilai-nilai egalitarian dan demokratis justru masih terbelenggu oleh nilai-nilai budaya patriarkal dan feodalistik. Tidak mengherankan jika di perguruan tinggi masih dijumpai nilai-nilai diskriminatif dan stigma negatif terhadap perempuan. Buktinya, dalam pemilihan rektor di sebuah universitas negeri, kandidat perempuan satu-satunya "di-bully" dengan sejumlah pernyataan bias gender. Misalnya: "Universitas ini sangat maskulin secara kultural dan sosiologis, sehingga gaya feminin dalam kepemimpinan masih sulit untuk sukses." Sejumlah penelitian merumuskan, ciri-ciri kepemimpinan perempuan memiliki sejumlah keunikan dan berbeda dari kepemimpinan laki-laki. Misalnya, dalam pengambilan keputusan, perempuan cenderung menggunakan gaya demokratis dan partisipatif daripada laki-laki. Perempuan dinilai lebih interpersonal dan bisa mendengarkan lebih baik sebagai keterampilan yang dapat membuat orang lain merasa nyaman dan penting. Selain itu, yang terpenting adalah perempuan memiliki pandangan lebih kuat pada nilai-nilai kesetaraan. Perempuan juga dapat menjadi lebih kooperatif dan mendukung, di samping tidak suka menonjolkan diri dan kompetitif. Mereka tidak suka berkonflik, relatif sabar, lebih telaten, teliti, lebih memperhatikan hal-hal kecil dan rumit, serta kolegial. Ciri-ciri kepemimpinan demikian justru lebih relevan bagi dunia pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan manusia kritis, inovatif, bertanggung jawab, serta tetap kuat berpegang pada nilai-nilai spiritual. Manusia seperti itu mampu memandang semua manusia sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan harus dihormati. Mungkin itu sebabnya di sejumlah negara maju perempuan mendominasi kepemimpinan di perguruan tinggi. Sejak awal abad ke-20, dunia internasional lantang menyuarakan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender sebagai salah satu strategi kunci dalam menciptakan masyarakat yang damai, maju, dan sejahtera. Bahkan, tiga dari tujuan Millenium Development Goals (MDG's) berfokus pada upaya kesetaraan dan keadilan gender. Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal biasa, sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan gender (gender inequities and injustice). Akan tetapi, dalam realitas di masyarakat, perbedaan gender sangat sering membawa ketimpangan atau ketidakadilan, terutama terhadap perempuan. Sebab, mereka selama ini merupakan kelompok yang rentan, marginal, dan tertinggal akibat kultur dan struktur yang didominasi kelompok maskulin. Lalu, apakah kita akan membiarkan perilaku tidak manusiawi tersebut? Demi terwujudnya masa depan peradaban manusia yang lebih adil dan lebih damai, semua bentuk ketimpangan dan ketidakadilan gender harus diakhiri sekarang juga. Untuk itu, paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, upaya rekonstruksi budaya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, dimulai dari pendidikan dalam keluarga. Kedua, diperlukan upaya reformasi terhadap semua kebijakan publik yang diskriminatif (Komnas Perempuan mengatakan ada sebanyak 354 perda diskriminatif terhadap perempuan). Ketiga, diperlukan upaya reinterpretasi terhadap ajaran agama yang memarginalkan perempuan, sehingga yang tersebar hanyalah interpretasi keagamaan yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan. Kita perlu mendorong pengembangan perguruan tinggi yang memiliki sense of gender yang baik. Kuantitas dan kualitas kepemimpinan perempuan di dunia pendidikan perlu ditingkatkan. Kita harus memberikan dukungan yang lebih kuat agar para perempuan dapat meruntuhkan berbagai hambatan, baik karena nilai-nilai tradisional, struktur, budaya, maupun pribadi yang menghalangi perkembangan personal dan profesional. Karakteristik kepemimpinan demokratis perlu dikembangkan untuk mendorong perempuan dan laki-laki menjadi pemimpin berkualitas di masa depan. Akhirnya, semoga lebih banyak lagi perempuan yang menjadi pemimpin di perguruan tinggi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar