Tiga
Blunder Para Oportunis
Bambang Soesatyo ; Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar,
Wakil
Ketua Umum Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 04 Februari 2014
Belum lagi Januari 2014 genap 31 hari, sudah tiga blunder
dilakukan pemerintah. Sungguh tak elok karena kecerobohan itu lebih
mempertontonkan perilaku tidak berani bertanggung jawab.
Dalam konteks manajemen, pemerintahan ini bahkan tampak semakin tidak kapabel karena perilakunya cenderung oportunis. Bukan mengada-ada untuk mengatakan efektivitas dan kapabilitas pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhir-akhir ini anjlok menuju titik terendah. Terbaru, incapability pemerintahan SBY itu tercermin dari tiga persoalan yang kemudian berubah menjadi blunder. Mulai dari kisruh ”kebijakan oportunis” naik-turun harga gas elpiji 12 kilogram (kg), berlanjut ke kisruh gagasan alokasi dana hampir Rp700 miliar untuk membayar saksi parpol pada Pemilu 2014, dan persoalan terkini mengenai misteri lolosnya beras premium yang diimpor dari Vietnam. Barangkali keputusan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mundur dari jabatannya boleh dilihat sebagai blunder keempat. Dia mundur ketika impor beras premium dari Vietnam itu masih menjadi misteri. Masalah ini dia tinggalkan begitu saja demi kepentingannya mengikuti Konvensi Partai Demokrat yang sedang menjaring calon presiden. Ironis. Kembali pada tiga blunder Januari 2014 ini; tidak jelas benar apa yang menjadi sebab. Tetapi, menjelang akhir masa bakti pada Oktober 2014 nanti, Kabinet Indonesia Bersatu II tampak begitu kedodoran. Kabinet kehilangan koordinasi. Tepatnya tidak terkoordinasi. Ada pemimpin, tetapi tidak menggunakan kapabilitasnya sebagai pemimpin kabinet untuk mengoordinasi para menteri. Pemerintah seperti kehilangan nyali memerintah. Selalu takut menerima respons negatif atau kritik publik. Paling menyedihkan adalah perilaku tidak berani bertanggung jawab. Begitu muncul persoalan yang dipertanyakan atau dikritik publik, para menteri tak jarang saling menyalahkan, atau lari dari masalah, dengan melempar persoalan kepada koleganya atau pihak lain. Kalau pemerintah terpojok, akan dirancang skenario penyelesaian masalah dengan drama yang, maaf, memuakkan. Coba simak lagi penyelesaian masalah ”kebijakan oportunis” naik-turun harga gas elpiji 12 kilogram itu. Begitu pemerintah tersudut, seorang menteri memaksakan diri tampil menyelamatkan citra kabinet dengan klaimnya, ”Semua itu salah saya.” Tentu saja yang tampak di permukaan adalah profil bobroknya manajemen pemerintahan. Idealnya, Presiden terusik, bahkan sangat marah, karena para menteri berperilaku amatiran. Publik sering menyindir dengan bertanya, apa gunanya forum sidang kabinet bagi Presiden dan para menteri serta pejabat tinggi negara lain? Kisruh harga gas elpiji, misteri beras impor, dan penganggaran dana saksi parpol mestinya tidak harus menjadi blunder jika tiga persoalan itu dibuka dan dibahas di sidang kabinet paripurna maupun sidang kabinet terbatas. Karena tiga langkah pemerintah itu berbuah heboh, bahkan reaksi sejumlah menteri pun tak kalah hebohnya, berarti sidang kabinet tidak produktif. Kesimpulan ekstremnya, persoalan harga gas, impor beras dari Vietnam, dan gagasan memberi dana untuk saksi parpol itu tidak pernah dibahas di sidang kabinet, baik sidang kabinet terbatas bidang ekonomi maupun polhukam. Padahal, tiga persoalan itu terbilang sangat strategis karena berkait langsung dengan kebutuhan pokok rakyat dan penggunaan uang negara berjumlah sangat besar. Karena strategis, Presiden selaku pimpinan kabinet berhak tahu karena para menteri wajib membuat laporan tertulis maupun lisan. Lazimnya, proposal rencana kebijakan setiap kementerian/departemen diinformasikan atau dipresentasikan di forum sidang kabinet agar semua menteri tahu dan paham. Urgensi memaparkan rencana kebijakan itu sangat jelas, terutama kalau rencana kebijakan itu butuh koordinasi lintas sektoral alias menyentuh kewenangan departemen/kementerian lain. Kalau para menteri wajib tahu dan paham, apalagi Presiden. Karena alasan strategis itulah, tidak pada tempatnya membiarkan Presiden tidak tahu semua persoalan itu. Akhirnya pertanggungjawaban atas semua kebijakan itu ada di pundak Presiden. Dengan begitu, ketidaktahuan Presiden adalah sebuah kesalahan yang sulit dimengerti, apalagi dimaklumi. Kepedulian Presiden Katakanlah benar bahwa Presiden sama sekali tidak tahu tiga rencana aksi kebijakan para menteri. Kalau begitu, tidak salah jika publik berkesimpulan ada menteri yang berperilaku oportunis atau ada menteri yang bereksperimen dengan membuat kebijakan sendiri. K arena telah berbuah blunder, perilaku oportunis dan eksperimen kebijakan oleh oknum menteri itu seharusnya mendapat sanksi atau teguran keras dari Presiden. Beralasan jika Presiden marah karena rangkaian ceroboh itu telah mencoreng pemerintahannya. Sayang, terlihat bahwa Presiden sama sekali tidak terusik. Kecuali anggota kabinet, Wantimpres, serta UKP4, tidak ada yang tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi di tubuh Kabinet. Tetapi, diyakini bahwa tiga kasus pada Januari 2014 itu pun menjadi keprihatinan Wantimpres dan UKP4. Apakah masalah ini sudah didiskusikan dengan Presiden? Itulah pertanyaannya. Sangat sulit memulihkan kepercayaan dan keyakinan publik kepada pemerintahan sekarang ini kalau perilaku oportunis anggota kabinet dibiarkan. Setelah misteri beras impor dari Vietnam, entah kasus apa lagi yang akan muncul ke ruang publik. Dalam kasus beras, Gita Wirjawan mengatakan bahwa Kemendag telah mengeluarkan izin impor beras premium dari Vietnam berdasarkan rekomendasi Kementerian Pertanian. Namun, Menteri Pertanian Suswono menegaskan, pihaknya tidak pernah memberi rekomendasi kepada Kementerian Perdaganganuntuk impor beras dari Vietnam. Dia juga tegaskan, beras dari Vietnam itu bukan jenis khusus yang izin impornya memerlukan lintas kementerian. Importir yang berhak adalah Bulog. Dalam kasus ini perilaku oportunis sangat mencolok. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memastikan beras asal Vietnam itu memang berizin karena dilengkapi surat persetujuan impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan. SPI dikeluarkan jika ada rekomendasi dari Kementerian Pertanian. Kalau Suswono menegaskan tidak pernah memberi rekomendasi, ada pihak yang memanipulasi atau memalsukan rekomendasi Kementerian Pertanian demi legalitas penerbitan SPI. Persoalan inilah yang mestinya dituntaskan dulu oleh Gita sebelum mundur dari jabatannya. Tentang gagasan honor untuk saksi parpol itu pun sangat amatiran. Gagasan ini harus dilupakan karena prosesnya saja sudah tidak jelas dan ngawur, tercermin dari saling tuding antara menteri dalam negeri dan ketua Bawaslu. Kalau pemerintah dan Bawaslu saja sudah tidak mau mengaku sebagai penggagas, ada niat buruk di balik gagasan ini. Boleh jadi, niat memberi honor itu sebagai modus mencurangi pemilu. Gagasan ini sama sekali tidak bermoral karena mengabaikan prinsip skala prioritas. Uang Rp700 miliar itu bukan jumlah yang kecil. Masyarakat di sejumlah daerah sedang menderita akibat bencana banjir dan gunung meletus. Belum lagi infrastruktur jalan dan jembatan yang rusak parah. Daripada dihamburkan untuk program yang tidak jelas asal-muasalnya, dana itu lebih baik digunakan membantu korban bencana dan perbaikan infrastruktur. Paling konyol adalah ”kebijakan oportunis” naik-turun harga gas elpiji 12 kilogram. Ada kesan kebohongan dalam merumuskan perubahan harga gas elpiji. Turun-naik harga gas elpiji tabung 12 kg itu hakikatnya kebijakan pemerintah, bukan semata- mata kebijakan Pertamina. BUMN bernama Pertamina itu diikat dengan UU. Dia harus tunduk pada kehendak pemerintah, khususnya Presiden dan Menteri ESDM sebagai pembina. Apalagi komoditas yang dikelola Pertamina sangat strategis alias kebutuhan pokok rakyat. Jadi, kalau Presiden dan para menteri mengatakan kenaikan harga elpiji 12 kg sebagai aksi korporasi Pertamina, pernyataan ini sarat kebohongan. Pemerintah ingin mengambinghitamkan Pertamina karena tidak berani bertanggung jawab. Apalagi, Pertamina mengaku telah melaporkan rencana menaikkan harga elpiji 12 kg kepada menteri ESDM. Mekanisme pelaporan ini sesuai Pasal 25 Peraturan Menteri ESDM No 26/ 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Elpiji. Karena kenaikan harga elpiji berdampak sangat luas dan signifikan terhadap kehidupan rakyat, menteri ESDM pasti tidak berani bertindak sendirian. Dia akan berkoordinasi dengan menko perekonomian. Setelah itu keduanya pasti harus berkonsultasi dengan Presiden sebelum memberi respons final kepada Pertamina. Kesimpulannya, kalau sejak 1 Januari 2014 Pertamina sempat menaikkan harga gas elpiji 12 kilogram, pemerintah telah menyetujui proposal Pertamina. Kalau tidak disetujui, Pertamina tidak akan berani menaikkan harga gas elpiji. Jadi, ya begitulah jika negara dikelola oleh para oportunis. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar