Tindak
Lanjut UN sebagai Pemetaan
Yohanes Nugroho Widiyanto ; Dosen Unika Widya Mandala Surabaya;
Sedang Menempuh S-3 di The Ohio State University
|
KOMPAS,
09 Januari 2016
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tampaknya sangat
serius dalam mendekonstruksi ujian
nasional agar para pemangku kepentingan pendidikan membentuk suatu habitus
(Pierre Bourdieu, 1987) baru. Alih-alih
mengikuti pola kementerian sebelumnya yang memuja para peraih nilai tertinggi
UN, Mendikbud justru mengundang para kepala sekolah yang memiliki nilai
indeks integritas terbaik dalam lima tahun terakhir ke Istana untuk bertemu
Presiden. Langkah ini jelas menampar
para "pemburu nilai UN" yang bergerak mirip para pemburu rente di
Senayan yang diduga melakukan kecurangan, meminjam istilah MK, "secara terstruktur dan
sistematis" demi "nama baik" sekolah dan daerah mereka.
Ketidaksinkronan nilai tertinggi dan indeks integritas memang
terjadi dalam beberapa kasus. Bayangkan ada satu sekolah dari satu kabupaten
di Jawa Timur menempatkan delapan dari sepuluh peraih nilai tertinggi di
tingkat provinsi, tetapi sekolahnya sama sekali tidak masuk dalam daftar
sekolah dengan indeks integritas tertinggi. Entah kebetulan atau tidak,
mantan Bupatinya sekarang juga meringkuk di penjara Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Akan tetapi, penekanan pada indeks integritas sebenarnya hanya
salah satu sarana untuk tujuan yang lebih penting, yaitu pemetaan kondisi
sesungguhnya pendidikan di Indonesia sehingga bisa membuat kebijakan terbaik.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, adalah salah satu contoh
menarik. Provinsi ini adalah salah satu dari tujuh provinsi yang memiliki
tingkat indeks integritas tertinggi, tetapi dalam soal hasil UN provinsi ini
hanya menduduki peringkat keempat terbawah!
Sampai sekarang, Kemdikbud tidak mengumumkan secara terbuka apa
yang akan dilakukan pada provinsi yang jujur ini walaupun hasilnya hancur.
Apabila tidak ada intensif yang besar pada provinsi atau sekolah yang jujur,
tak heran apabila di kemudian hari mereka juga akan kembali pada sistem lama
dengan menjadi pemburu nilai.
"No child
left behind"
Walaupun kebijakan no
child left behind (NCLB) yang dibuat pada masa Presiden George Bush sudah
dicabut pada pemerintahan Barrack Obama, ada beberapa hal yang menarik yang
bisa kita pelajari. Pertama-tama perlu dipahami bahwa kebijakan NCLB ala
Amerika berasal dari konteks yang berlawanan dengan kondisi di Indonesia yang
sangat gemar dengan hal-hal yang berbau ujian standar dan kebijakan yang
diturunkan dari pusat.
Di Amerika, setiap negara bagian relatif memiliki kurikulum
sendiri dan tak ada ujian nasional. Tiap anak bisa dengan mulus naik kelas
pada tiap tahun tanpa perlu menempuh tes yang ketat. Baru saat mau masuk ke
perguruan tinggi, mereka bisa mengambil ujian. Itu pun diselenggarakan pihak
swasta dan bertujuan untuk mengukur potensi akademik mereka (aptitude test), bukan kemampuan riil
atas pelajaran yang telah mereka capai (achievement
test).
Kondisi inilah yang membuat gerah para pelaku pendidikan karena
dirasa tak ada ukuran yang disepakati bersama. Apalagi studi terhadap
kemampuan literasi dan numerasi juga menunjukkan bahwa para siswa generasi
masa kini juga jauh lebih mundur dibandingkan dengan generasi para kakek
nenek mereka.
Di tingkat internasional,
Amerika yang menggelontorkan anggaran sangat besar untuk pendidikan
ternyata juga hanya menduduki peringkat menengah dibandingkan dengan
negara-negara maju lain, terutama
negara yang memiliki sistem ujian standar yang ketat, seperti Singapura atau
Korea Selatan. Karena itulah, kita perlu berefleksi bersama sampai sejauh
mana kita ingin terlepas dari jerat ujian standar karena Amerika yang tak
punya standar justru menginginkannya! Mendekonstruksi UN bukan berarti
menghilangkan sama sekali.
Catatan menarik kedua adalah sistem NCLB memiliki peta jalan (road map) yang jelas sebagai tindak
lanjut hasil ujian. Argumentasi dari rezim standar ini adalah meningkatkan
akuntabilitas sekolah agar siswanya tidak ketinggalan dari siswa sekolah
lain. Dari sinilah istilah NCLB diambil. Hasil ujian yang buruk akan menjadi
indikasi dari para birokrat pendidikan untuk menyoroti proses
belajar-mengajar di sekolah itu dan tata kelola sekolah tersebut.
Berbeda dengan sistem ujian di Indonesia di mana yang menjadi
"korban" adalah siswa, NCLB mengarahkan mata panah pada para guru
dan kepala sekolah. Apabila ada banyak anak yang tak berhasil dalam menempuh
ujian, para guru diwajibkan menempuh
sejumlah pelatihan profesional sebagai guru. Guru pun kemudian diwajibkan
menempuh ujian untuk mengetahui apakah mereka benar-benar menguasai materi
yang mereka ajarkan.
Guru yang gagal dalam ujian kemampuan akan menerima konsekuensi,
termasuk yang paling serius, pemecatan. Kepala sekolah pun juga harus
menghadapi hal serupa. Apabila dalam periode waktu tertentu, kondisi di mana
banyak siswa di sekolah tersebut gagal tetap terjadi, sekolah tersebut bisa
menghadapi proses penutupan atau tata kelolanya diambil alih oleh dinas
pendidikan atau bahkan komite sekolah dengan merekrut guru dan kepala sekolah
yang baru. Secara instrumen, kita sudah memiliki uji kompetensi guru dan
sertifikasi guru yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan
akuntabilitas para guru dan kepala sekolah.
Politik
anggaran
Catatan ketiga adalah NCLB mendorong politik anggaran yang
berbasis dari data empiris. Dari
contoh di atas, kita bisa melihat bagaimana hasil ujian standar digunakan
dasar dalam menyalurkan anggaran. Sekolah yang tidak berkinerja baik yang
justru harus dibantu dengan anggaran agar mampu meningkatkan kemampuan
sehingga siswa tidak menjadi korban. Yang dibahas bukan sekolah yang mencapai
hasil ujian tertinggi lalu mendapatkan hadiah dari dinas pendidikan setempat,
melainkan justru sekolah-sekolah yang masih belum mampu.
Di Indonesia, data UN akan sangat baik untuk menjadi dasar
menyalurkan Kartu Indonesia Pintar di mana para pelajar bisa memenuhi
kebutuhan sekolah dan memperbaiki asupan gizi. Pelatihan bagi guru dan kepala
sekolah dilaksanakan di daerah yang tertinggal dan bahkan program Sarjana
Mendidik di Daerah Terdepan, Tertinggal, dan
Terluar (SM-3T) bisa diarahkan pada daerah-daerah tersebut.
Apabila ini dilaksanakan, tanpa indeks integritas sekalipun,
para pemangku kepentingan di sekolah ataupun daerah akan berlomba untuk jujur
karena hasil yang buruk bukan menjadi bencana, melainkan berkah bahwa mereka
semua akan dibantu dengan anggaran negara. Di sinilah keseimbangan antara
kejujuran dan akuntabilitas itu dicapai. Para kepala sekolah dan guru mau
tidak mau juga harus bekerja keras untuk memperbaiki proses belajar-mengajar
dan tata kelola sekolah karena hasil UN anak didik mereka juga akan
menyangkut pada karier mereka.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, NCLB sudah menelurkan
landasan filosofis dan praktis dalam menyikapi rezim ujian standar. Kita
tunggu bagaimana Kemdikbud menggunakan UN sebagai salah satu sarana menyusun
kebijakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar