Radikal
Putu Setia ;
Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
KORAN TEMPO, 23 Januari
2016
Kata yang paling banyak disebut belakangan ini
adalah radikal, selain teror. Kedua kata ini memiliki benang merah. Teror
dilakukan sekelompok orang untuk melampiaskan nafsu radikal, memaksakan suatu
paham dengan cara-cara kekerasan. Kata radikal juga kerap digandengkan dengan
agama. Mungkin ajaran agama yang tidak ditafsirkan dengan benar, banyak
menyimpan peluru untuk melakukan radikalisme.
Saya teringat Nurcholish Madjid. Pada akhir
1990-an, saya banyak berbincang dengan Cak Nur soal kekerasan dan gesekan
yang berlatar agama. Kasusnya bisa sepele. Misalnya, anak muda Hindu
melakukan aksi demo memprotes seseorang yang menyebut "umat Hindu memuja
patung" dan "Hindu agama bumi". Juga di kalangan muslim yang
mengkafirkan sesamanya hanya karena, misalnya, ikut ritual "labuh
laut" dengan sesajian. Apa kata Cak Nur? "Kita masih beragama
secara puber," kata yang tak bisa saya lupakan.
Penjelasan Cak Nur, puber itu adalah masa di
mana kita sedang dimabuk semangat untuk belajar namun belum banyak ilmu yang
dikuasai sudah melakukan aksi pembenaran dengan memaksakan kehendak. Dulu
umat Hindu diam dituduh memuja patung atau beragama bumi, mungkin juga tak
tahu bagaimana membela. Ketika kitab Weda banyak diterjemahkan dan umat mulai
belajar, mereka paham siapa yang dipuja dan mereka tahu siapa penerima wahyu
dalam Hindu. Begitu pula sebagian muslim masih tetap melaksanakan
"budaya warisan leluhur" karena agama tak bisa meniadakan budaya.
Teringat Cak Nur, saya jadi bertanya, kapankah
masa puber itu berlalu? Justru sekarang malah bertambah—mungkin ini puber
kedua atau ketiga. Benih kekerasan dan gesekan itu justru tumbuh melahirkan
tindakan radikal.
Sejumlah orang merobohkan patung wayang di
taman-taman Kota Purwakarta. Alasannya, menjunjung tinggi nilai Islam, tak
sepantasnya Purwakarta di-hindu-kan dengan membuat gapura Hindu, hiasan janur
Hindu, dan seterusnya. Sementara itu, Bupati Purwakarta Haji Dedi Mulyadi
mengatakan "wayang adalah budaya yang melekat dalam tradisi masyarakat,
ada beberapa macam wayang di Sunda: wayang golek, wayang cepak, wayang kulit
Cirebon, wayang ajen, wayang catur."
Bupati Dedi benar, wayang bukan Hindu.
Bukankah Wali Songo menyebarkan Islam di Jawa memakai wayang? Yang bernapas
Hindu adalah Mahabharata. Semar, Bagong, Petruk, Gareng, Cepot, dan Dawala
tak ada kaitan dengan Hindu. Juga janur, umum untuk hiasan saat hajatan di
Jawa. Di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, ada tradisi yang disebut Wisuda Waranggono,
penobatan lahirnya seniman tayub. Ritual itu dengan cara "siraman"
di Sendang Bektiharjo dan puncaknya "pelantikan" oleh Bupati Tuban.
Ritual ini sangat Hindu—kalau yang dimaksudkan Hindu budaya Bali—padahal
mereka semuanya beragama Islam. Tak ada yang resah.
Di Bali muncul "gerakan baru",
sekelompok orang mulai resah atas ritual yang penuh sesajen yang mereka sebut
"bertentangan dengan Weda". Ada tanda-tanda terjadi gesekan,
apalagi bermunculan sejenis aliran atau sekte dalam Hindu. Saya tak tahu
apakah ini masih masa puber dan akankah nanti muncul radikalisme di kalangan
Hindu Nusantara?
"Kita kurang piknik", ini sindiran
khas di media sosial. Betul, termasuk "piknik ke masa lalu". Sunan
Kudus tidak merobohkan kuil Hindu dan malah dijadikan menara masjid. Sebagai
bentuk penghormatan kepada "leluhurnya", Sunan berjanji tak akan
menyembelih sapi di Kudus—janji yang (uniknya) sampai sekarang diwarisi
masyarakat. Mungkin radikalisme bisa pula sedikit diredam kalau kita mau
belajar dari masa lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar