GBHN, PDIP, dan Amendemen UUD 1945
Bambang Sadono ; Anggota DPD RI dari Jateng; Ketua Badan
Pengkajian MPR RI
|
KORAN
SINDO, 22 Januari 2016
Program pembangunan
yang menyeluruh secara nasional dan menjangkau kurun waktu yang relatif
panjang, semacam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), menjadi salah satu
wacana dinamika sistem ketatanegaraan yang mendapat perhatian cukup besar.
Ini tersimpul dari
serangkaian kegiatan pengkajian yang dilakukan Badan Pengkajian Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI sepanjang 2015. Kajian ini berangkat dari
mandat yang diberikan MPR RI periode 2009-2014, yang dituangkan dalam
Keputusan IV/MPR/2014, yang menyebut beberapa masalah ketatanegaraan
memerlukan kajian, bahkan bisa ditindaklanjuti jika diperlukan dengan
menyempurnakan undang-undang dasar.
Selain pengkajian
kemungkinan menghadirkan kembali konsep pembangunan model GBHN, sejumlah
masalah ketatanegaraan yang disebut dalam KeputusanIV/MPR/2014ituantara lain
penegasan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, penguatan sistem
presidensial, penguatan lembaga MPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), penataan
lembaga seperti Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dansebagainya.
Namun, respons yang
paling kuat antara lain memang masalah GBHN tersebut, dengan implikasinya
antara lain memberi kewenangan MPR untuk menetapkannya. Dimulai dari gagasan
Forum Rektor Indonesia, yang bahkan sudah menyiapkan dalam bentuk naskah
akademis, mengenai berbagai argumentasi mengapa diperlukan perencanaan
pembangunan semacam GBHN tersebut.
Naskah akademis
tersebut sudah diserahkan baik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPD,
maupun MPR. Ketiadaan perencanaan pembangunan yang terpadu itu karena
presiden, gubernur, maupun bupati/wali kota bisa membuat programnya sendiri,
berdasarkan visi-misi yang ditawarkan saat pemilihan langsung. Juga perbedaan
masa kerja, menyebabkan kegiatan pembangunan secara nasional tidak saling
berkorelasi. Memang secara politis, yang kemudian menyambut dengan serius dan
konsisten, adalah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Megawati Soekarnoputri.
Mulai ketika berbicara
di depan Lemhannas maupun ketika menjadi pembicara kunci dalam seminar yang
diselenggarakan MPR. Secara sederhana Megawati bahkan mengkritik bahwa
presiden saat ini adalah ”presiden visimisi”. Bukan hanya soal GBHN, mantan
presiden RI tersebut juga menyebut bahwa MPR tidak boleh disejajarkan dengan
lembaga tinggi negara lain.
MPR harus diperlakukan
khusus karena posisinya sebagai lembaga permusyawaratan yang secara khas dulu
dibangun para pendiri negara sebagai jati diri sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia.
Market Leader
Walaupun tidak
mengejutkan dilihat dari konsistensi berpikir Megawati atau bahkan sudah
menjadi konsep bersama PDIP, ketika Rapat Kerja Nasional (Rakernas) awal
2016, baik Megawati maupun keputusan Rakernas berniat mengajukan amendemen
menyangkut konsep semacam GBHN, yang disebut program pembangunan semesta
berencana, dan sekaligus memberi kewenangan pada MPR, pasti akan menjadi
wacana politik nasional.
Bukan hanya karena
temanya, yang hampir menjadi keinginan bersama secara nasional, tetapi juga
karena PDIP yang mendorongnya. Materi konsep pembangunan semacam GBHN salah
satu dari 15 materi yang dikaji Badan Pengkajian MPR dan yang paling besar
dukungan publiknya.
Badan Pengkajian telah
mengadakan seminar dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia, berdiskusi
dengan para tokoh masyarakat di berbagai daerah, bertemu dengan lembaga
negara maupun lembaga kemasyarakatan seperti lembaga bisnis, media, dan
sebagainya. Hampir tidak ada yang keberatan untuk menghadirkan kembali konsep
pembangunan model GBHN ini. Gagasan ini menjadi makin ”seksi” ketika yang
melontarkan adalah Megawati atau PDI Perjuangan. Pertama, karena PDIP
merupakan partai pemenang pemilu, yang secara politis memang paling layak
untuk mengambil inisiatif sebagai ”market leader”.
Partai-partai lain
pasti akan sangat memperhatikan dan memperhitungkan apa yang menjadi gagasan
partai terbesar tersebut. Kedua, PDIP adalah pengusung presiden dan wakil
presiden, yang menjadi pembentuk dan pengendali pemerintahan. Secara
matematika politik, apa yang menjadi gagasan PDIP pasti sudah dikomunikasikan
dengan pemerintah dan pemerintah pasti akan mendukungnya. Ini juga terlihat
dari respons Presiden Joko Widodo.
Memang yang perlu
dilakukan PDIP kemudian adalah komunikasi politik, dengan partai-partai yang
lain, juga DPD RI yang merupakan bagian dari MPR. Selain ide PDIP tersebut
memerlukan dukungan untuk memenuhi prosedur amendemen, kemungkinan juga harus
menenggang jika fraksi yang lain atau kelompok DPD mempunyai aspirasi yang
perlu diadopsi. Setidaknya topiktopik yang sudah dibahas dan dikomunikasikan
di Badan Pengkajian MPR RI.
Amendemen UUD 1945
PDIP sudah memulai
memimpin pasar politik, dengan menawarkan amendemen UUD 1945, pasti
berikutnya akan banyak tawaran yang menyambutnya. Setidaknya Partai Golkar,
Gerindra, PAN, dan kelompok DPD mendukung gagasan tersebut.
Sebenarnya jalan untuk
menuju penyempurnaan sistem ketatanegaraan sudah dipandu oleh Keputusan
IV/MPR/ 2014 yang antara lain menyarankan agar MPR periode 2014-2019 ”melaksanakan penataan sistem
ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tetap berdasarkan pada nilai-nilai
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara dan kesepakatan dasar
untuk tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,
mempertegas sistem pemerintahan presidensial serta melakukan perubahan dengan
cara adendum”.
Selain itu juga
”melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model
GBHN sebagai haluan penyelenggara negara; Melakukan penataan sistem peraturan
perundang-undangan dengan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum negara; memperkuat status hukum Ketetapan MPRS dan MPR dalam sistem
hukum Indonesia”, dan sebagainya.
Di dalam Keputusan IV/
MPR/2014 yang disusun saat MPR RI dipimpin oleh Sidarto Danusubroto yang
meneruskan jabatan Taufik Kiemas, keduanya mewakili PDIP, juga mencantumkan
agar agenda amendemen yang perlu diperhatikan antara lain penguatan MPR,
penguatan DPD, penguatan sistem presidensial, penataan kewenangan Komisi
Yudisial, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi, serta penataan Sistem
Perekonomian Nasional berbasis Demokrasi Pancasila. Karena itu, sebenarnya
langkah politik yang diambil oleh Megawati dan PDIP tidak bisa dilepaskan
dengan langkah dan pemikiran jangka panjang yang sudah digagas dan diolah
cukup lama di lingkungan partai tersebut.
Memang ada banyak
pendapat yang mengatakan mengubah undang-undang dasar itu tidak mudah dan
syaratnya secara legal dirumuskan supaya tidak terlalu mudah untuk
mengamandemen konstitusi. Di sisi yang lain juga harus diakui bahwa selain
yang ingin bertahan supaya tidak ada amendemen, ada juga yang secara keras
ingin kembali ke UUD 1945 sebelum diamendemen.
Kedua pendapat yang
saling bertentangan itu mungkin bisa ditengahi dengan di satu sisi menghargai
upaya perbaikan melalui empat kali amendemen selama ini dan sekaligus
mengembalikan ihwal fundamental dan esensial dari UUD sebelum amendemen.
Pilihan PDIP pantas diapresiasi.
Tinggal menunggu
sambutan dari unsur fraksi dan kelompok di MPR, apakah bisa mewujudkan perbaikan
sistem ketatanegaraan yang lebih produktif bagi kepentingan bangsa dan
negara, sekaligus dengan meminimalkan potensi kagaduhan yang tidak perlu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar