Ratu Adil
M Subhan SD ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 28 Januari
2016
Ketika mulai terungkap
ke publik pasca maraknya kasus "orang hilang", banyak orang
penasaran pada Gafatar. Namanya cukup unik. Kalau terdengar di telinga mirip
sekali dengan Avatar, yang pernah menyita perhatian, baik komik maupun
filmnya. Tampaknya memang ada kemiripan. Avatar adalah makhluk inkarnasi yang
membela kebenaran dan menjadi penyelamat. Gafatar adalah gerakan sosial yang
basisnya keyakinan agama dan bicara juga soal juru selamat.
Kalau menilik namanya
Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara), sepertinya tak terkoneksi dengan
praktik-praktik keagamaan. Gafatar terkesan hanya sekadar ormas. Apalagi
Gafatar lebih dikenal sebagai gerakan sosial. Namun, siapa nyana, belakangan
ini terungkap bahwa Gafatar adalah aliran, paham, juga gerakan yang mempunyai
basis ideologi agama. Lalu terungkaplah bahwa Gafatar adalah metamorfosis
dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah, yang dulu dipimpin Ahmad Musaddeq.
Masih ingat Al-Qiyadah
Al-Islamiyah dan Mussadeq? Al-Qiyadah Al-Islamiyah pernah bikin heboh tahun
2006 lantaran Musaddeq mengaku nabi atau mesiah (juru selamat). Pada Oktober
2007, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa aliran itu sesat
karena sinkretisme tiga agama samawi (Islam, Kristen, Yahudi). Dan, Musaddeq
pun diadili. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Musaddeq empat tahun
penjara dengan pasal penodaan agama. Musaddeq pun dikabarkan bertobat.
Meskipun demikian,
persoalan aliran kepercayaan bukan perkara mudah. Terlebih lagi menyangkut
soal harapan datangnya juru selamat, atau ratu adil, atau Erucakra, atau Imam
Mahdi. Mesianisme memang berkembang dalam banyak tradisi. Di Jawa, ramalan
Jayabaya banyak membicarakan kedatangan ratu adil. Sosok ini dilukiskan
sebagai manusia sakti yang dapat membawa perubahan. Mesianisme selalu
membayangkan situasi tenteram, adil, makmur, bahan pangan dan sandang murah,
moralitas tinggi, dan hidup bahagia.
Menurut sejarawan
Sartono Kartodirdjo (1982), mesianisme tidak hanya merupakan spekulasi
tentang kejadian-kejadian, tetapi juga merupakan suatu kekuatan sosial yang
mendorong ke arah tindakan-tindakan untuk mengubah situasi. Perubahan
dilakukan karena situasi krisis, penuh penderitaan, kelaliman, kesengsaraan,
dekadensi moral, dan korupsi. Penderitaan akibat ekonomi, bencana alam, atau
situasi politik, bahkan akibat teknologi yang mengalienasi manusia, dapat
menyemai harapan mesianistis.
Di negeri ini zaman
penjajahan, pada pertengahan abad XIX hingga awal XX, gerakan mesianisme
marak di Indonesia, seiring pula gerakan revivalisme, milenarisme, nativisme.
Gerakan ratu adil itu antara lain gerakan Hasan Maulani dari Lengkong (1842),
gerakan Amat Ngisa dari Pekalongan (1859), gerakan Nur Hakim (1871), gerakan
Dermajaya (1907). Belanda menyebut gerakan sosial itu sebagai gangguan
ketenteraman (rustverstoring),
huru-hara (woelingen), kerusuhan (onlusten), atau gerakan rohani (geestdrijverij). Namun sebetulnya,
gerakan-gerakan tersebut juga adalah gerakan counter-elite.
Barangkali karena
situasi negeri ini selalu gaduh, sumpek, dan pengap. Elite banyak yang tak
bisa diteladani. Politisi saling sikut. Koruptor tak lenyap-lenyap. Ketika
ketidakmampuan menghadapi keadaan, terlebih dengan dasar keyakinan agama
tertentu, maka eskapisme pun menjadi solusi instan. Ketidakpuasan terhadap
keadaan dapat menghidupkan harapan datangnya juru selamat atau ratu adil.
Bisa jadi facilitating context
seperti itu memungkinkan munculnya Gafatar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar