(Mimpi) Menghidupkan Lagi GBHN
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 20 Januari 2016
Salah satu pembahasan
Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I PDIP adalah menghidupkan kembali GBHN. GBHN
atau Garis-garis Besar Haluan Negara disusun oleh MPR untuk nanti dijalankan
oleh pemerintah.
Pembahasan ini
kemudian akan mengarah pada dua opsi yakni melakukan amendemen UUD 1945 atau
merevisi undang-undang yang berkaitan dengan tugas MPR. Tetapi, Wasekjen PDIP
Ahmad Basarah menegaskan, soal amendemen yang dikehendaki PDIP adalah format
amendemen UUD Negara RI 1945 secara terbatas. Eksistensi GBHN sejatinya
mengandung rangkaian sejarah ketatanegaraan dan pergeseran paradigma
konstitusi yang demarkasinya adalah Reformasi 1998.
Reformasi yang
berimplikasi terhadap tumbangnya kekuasaan otoriter Orde Baru berdampak
secara signifikan terhadap terjadi perubahan desain konstitusi mengenai
konstelasi ketatanegaraan baru yang didasarkan atas paradigma sistem
demokrasi konstitusional. MPR masa lalu diposisikan sebagai lembaga tertinggi
negara yang oleh UUD 1945 naskah asli dikatakan sebagai perwujudan kedaulatan
rakyat.
Gagasan tersebut
ternyata menyebabkan terjadi degradasi pemaknaan yang menempatkan MPR sebagai
lembaga yang mengabsahkan kekuasaan Presiden Soeharto selama 30 tahun. Kala
itu MPR diatribusikan wewenang untuk membentuk GBHN yang dijadikan sebagai haluan
negara bersama dengan pemberian mandat politik kepada presiden yang menjadi
mandataris MPR.
Meski terdapat banyak
perdebatan mengenai efektivitas implementasi GBHN saat itu, ditinjau dari
kacamata teoretis, GBHN sering dilihat sebagai sebuah produk hukum yang mampu
menjembatani UUD/ konstitusi dengan peraturan pelaksanaannya melalui berbagai
undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Maka itu, MPR saat ini
memberikan kerangka hukum sebuah TAP MPR sebagai landasan keberadaan GBHN.
TAP MPR RI No XX/MPRS/
1966 memang mengatur kedudukan TAP MPR sebagai produk hukum di atas sebuah
undangundang, namun di bawah UUD. Posisi MPR masa itu memang memungkinkan
untuk membentuk sebuah produk hukum yang secara teoretis mampu menjadi
landasan yang kuat bagi eksistensi GBHN yang harus diacu oleh seluruh
penyelenggara negara dan dilaksanakan melalui berbagai produk hukum.
Pasca-Reformasi desain
konstitusi telah diarahkan agar semakin selaras dengan beberapa konsep
seperti sistem demokrasi konstitusional, presidensialisme, desentralisasi
demokratis, partisipasi rakyat, tata pemerintahan yang baik, akuntabilitas,
dan sejenisnya. Gagasan tersebut telah mengubah wajah dan watak konstitusi
pasca- Reformasi yang di antaranya juga mengubah eksistensi sistem kelembagaan
negara.
MPR tak lagi
diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR bahkan hanya menjadi
semacam joint session antara DPR dan DPD dalam format sistem semi-bicameral (soft bicameral system). Perubahan
konsep mengenai kedudukan dan karakter MPR pasca-Reformasi yang dituangkan
dalam UUD Negara RI 1945 pasca-amendemen dengan demikian mengandung landasan
filosofi mengenai sistem demokrasi konstitusional yang didasarkan prinsip
supremasi konstitusi.
MPR yang kini hanya
berposisi sebagai lembaga tinggi negara yang setingkat dengan lembaga tinggi
negara yang lain memang tak dimungkinkan untuk membentuk produk hukum yang
melampaui sebuah undang-undang. Prinsip demokrasi kerakyatan memang
menempatkan undang-undang atau perppu sebagai produk hukum kedua setelah
undang-undang. Hal ini pun didasarkan atas sistem filosofi demokrasi yang
mengangkat pesan Reformasi untuk dituangkan dalam konstitusi.
Memang, tak dapat
dimungkiri kebutuhan ada sebuah haluan negara yang komprehensif dan mampu
digunakan sebagai landasan yang kokoh dalam menentukan arah perjalanan sebuah
bangsa. UUD Negara RI 1945 pasca-amendemen sejatinya telah menuangkan konsep
mengenai haluan negara tersebut dalam pertemuan antara dua aras yaitu aras
konstitusi dan aras kelembagaan.
Konstitusi pasca-amendemen
yang dibangun di atas tumpahan darah para mahasiswa pejuang Reformasi 1998
dan para korban transisi kekuasaan pada masa itu sejatinya telah mengandung
spirit yang dikehendaki oleh tuntutan Reformasi dan di dalamnya terkandung
arah yang ditangkap oleh MPR semasa Reformasi yang pada waktu itu diketuai
oleh Amien Rais dan dituangkan dalam serangkaian TAP MPR maupun
undang-undang.
Melalui TAP MPR No I/
MPR/2003 telah dilakukan peninjauan berbagai produk TAP MPR yang pernah ada,
sebagian TAP MPR tetap diberlakukan dan sebagian lagi sebagaimana amanat
sebagian TAP MPR pada masa Reformasi ada yang dituangkan secara tuntas dalam
beberapa undang-undang produk Reformasi.
Akibatnya, jika ingin
memahami ”haluan” negara pasca-Reformasi, sejatinya dapat dilihat dengan
menelusuri berbagai produk hukum yang dibentuk berdasarkan amanat TAP MPR RI
No I/ MPR/2003. Pembentuk UUD Negara RI 1945 pasca-amendemen juga menganut
keyakinan bahwa haluan negara akan ditentukan melalui sistem kelembagaan
negara yang dibentuk pasca-amendemen UUD 1945.
Seluruh kelembagaan
tinggi negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi Reformasi sejatinya juga
mengemban amanat untuk bersama-sama menentukan haluan negara sesuai fungsinya
masing-masing, baik di ranah legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Perpaduan antara aras konstitusi dan aras kelembagaan pasca-amendemen UUD
1945 tersebut sejatinya merupakan sumber untuk menemukan haluan negara
pasca-Reformasi.
Hal itu bisa
dibandingkan dengan di Inggris. Inggris merupakan negara yang tak memiliki
dokumen konstitusi tertulis, namun tak berarti mereka tidak menganut
konstitusionalisme. Nilai-nilai konstitusional di negara tersebut dapat
ditemukan di berbagai undang-undang tersebar yang mengatur sistem kelembagaan
negara di negara tersebut.
Hal yang sama dapat
digunakan untuk membidik persoalan mengenai perlunya haluan negara di negeri
ini. Ketiadaan dokumen formal GBHN tak berarti menyebabkan tidak dimilikinya
haluan negara. Melalui paradigma sistem demokrasi kerakyatan yang kini dianut
sebagai landasan konsepsional konstitusi pasca-amendemen, rakyat diberikan
hak untuk berpartisipasi seluasluasnya untuk menentukan perencanaan jangka
panjang di negeri ini melalui sistem Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang
nanti dapat dijabarkan secara kontekstual dan realistis melalui PJMD, renstra
kementerian/ lembaga, renja kementerian/ lembaga.
Analog dengan model
tersebut, sebagai konsekuensi dianutnya sistem desentralisasi seluas-luasnya,
daerah-daerah juga diwajibkan menyusun RPJPD sebagai perpaduan antara sistem
perencanaan nasional dan daerah yang selanjutnya dapat dituangkan secara
sistematis ke dalam RPJMD, renstra SKPD dan renja SKPD.
Konstruksi berpikir yang
menganggap perlu ada haluan negara sejatinya sudah tercermin dalam penentuan
haluan negara dalam aras konstitusi maupun kelembagaan yang menjadi perwujudan
dari amanah Reformasi.
Dengan demikian, saat
ini negeri ini tetap memiliki haluan negara yang tercermin dari berbagai
produk hukum pasca-Reformasi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai yang
terkandung dalam tuntutan Reformasi 1998 dan kini telah dijabarkan baik di
ranah konstitusi pasca-amendemen maupun dalam berbagai peraturan perundang-
undangan terkait.
Justru perlu
diwaspadai ada ”irama politik tersembunyi” di balik kehendak politik untuk
menghidupkan kembali GBHN yang tentu berkonsekuensi perubahan format
kedudukan dan kelembagaan MPR. Sangat tidak masuk akal hanya melakukan
amendemen terbatas mengenai kedudukan MPR karena di balik format kelembagaan
negara yang dibentuk melalui UUD Negara RI 1945 pascaamendemen terdapat
filosofi dasar mengenai arah reformasi politik pasca-Reformasi 1998.
Membaca makna UUD
Negara RI 1945 harus dimulai dari tafsir sejarah yang benar mengenai konteks
reformasi politik yang melatarbelakangi amendemen UUD 1945 pada 1998. Jangan
sampai (mimpi) menghidupkan kembali GBHN hanya didasarkan motif lain untuk
memutar kembali arah reformasi dan konsolidasi demokrasi yang kini sudah
berjalan dalam semangat checks and balances kekuasaan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar