Persiapan Kerja Kepala Daerah Terpilih
Robert Endi Jaweng ;
Direktur
Eksekutif KPPOD, Jakarta
|
KOMPAS, 25 Januari
2016
Sesudah pemilihan
kepala daerah, ranah politik lokal mestinya lekas bersalin menjadi arena
pemerintahan yang bekerja. Para kepala daerah terpilih memasuki semacam black box, yakni visi, misi, program,
hingga janji kampanye berkonversi ke dalam aksi lapangan. Ini momen
pembuktian: segala janji dilunasi, atau sebaliknya hanya tinggal janji.
Namun, bicara
pahitnya, tak banyak indikator positif berpihak kepada mereka. Struktur
kesempatan otonomi, yang terbuka lebar 15 tahun terakhir, mulai cenderung
menyempit. Relasi pusat-daerah memasuki babak baru: sosok rezim sanksi kian
terasa, lewat instrumen fiskal ataupun administrasi. Pada batas tertentu,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menghadirkan
lingkungan persoalan baru ketimbang struktur kesempatan untuk berunjuk
kinerja.
Tantangan makro
kepemerintahan ini akan menjadi lapisan masalah pelik jika dari internal
(kepala daerah, lingkaran kekuasaan, dan birokrasi lokal) juga tak berhenti
memproduksi segala faktor negatif, seperti inefisiensi dan korupsi.
Sedini mungkin
Menyadari semua itu,
segala ikhtiar mesti mulai didorong sedari awal. Kita bisa langsung mulai
dari perkara waktu pelantikan. Jika horizon berpikirnya sebatas pilkada, kata
"serentak" pasti dirujuk. Sebagaimana pelaksanaan pilkada ditempuh
serentak, pelantikan juga serentak, serta serentak pula akhir masa jabatan
lima tahun kelak. Bulan Juni dinilai pas, menimbang penyelesaian perselisihan
hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi dan menghitung proses persiapan pelantikan.
Hal ini janggal. Kata
"serentak" seolah begitu substantif dalam konteks pelantikan yang
sejatinya prosedural, bahkan sebagian seremonial, tanpa mengurangi arti
legalnya bagi mulainya seseorang bekerja dalam jabatan publik. Bagi mayoritas
pilkada nirsengketa, dilantik lebih cepat justru bernilai substantif:
efektivitas pemerintahan!
Pejabat sementara tak
kelamaan berada dalam tekanan: baik tekanan bersumber dari otoritas
transisional yang lemah maupun tekanan psikologis lantaran kepala daerah
terpilih biasanya mulai "masuk" dalam pemerintahan, minimal
diperhitungkan betul pandangannya dan manuver tim suksesnya.
Pelantikan cepat
(Februari) juga pas dari siklus perencanaan-penganggaran. Kalender daerah
menunjukkan semester perencanaan itu berlangsung Januari-Juni: Januari-Maret
diisi musyawarah perencanaan pembangunan di desa/kecamatan, Maret sudah mulai
pembahasan di kabupaten/kota.
Sembari menyiapkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah berbasis program kepala daerah
terpilih, perencanaan tahunan (penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah)
masih terbuka lebar mewadahi masuknya program jangka pendek kepala daerah
baru. Anggaran, sejak Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran
Sementara hingga Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, juga
otomatis meresonansi program dan perencanaan tersebut.
Bahkan, untuk tahun
fiskal berjalan, kepala daerah yang baru memiliki cukup waktu untuk melakukan
penyesuaian dalam kerangka APBD Perubahan yang bisa mulai digarap segera
setelah pelantikan hingga September (tenggat akhir).
Konsolidasi politik
Dimensi lain, latihan
berpemerintahan. Hasil Pilkada 2015 menunjukkan kemenangan wajah-wajah baru
(nonpetahana), sebagian lagi tokoh berusia muda. Ini sinyal hadirnya energi
baru ke depan. Namun, minim pengalaman kerap menjadi soal krusial awal
berkuasa. Sesudah pilkada, efektivitas pemerintahan nyaris tak lagi terkait
legitimasi elektoral (perolehan suara), tetapi fungsi akumulatif dari
keberhasilan kepala daerah melakukan konsolidasi politik (dukungan DPRD),
menggerakkan mesin birokrasi, menggelar aneka terobosan, serta menghadirkan
pemerintahan bekerja.
Untuk itu, lebih dari
sekadar pembekalan normatif selama ini, fasilitasi penguatan kapasitas dan
transfer pengetahuan amat krusial dilakukan jauh-jauh hari. Bila perlu, tak
mesti menunggu pelantikan, mulai saat ini sudah digelar putaran awal
bersekolah dan latihan bekerja, termasuk menghadirkan pengajar para kepala
daerah inovatif.
Pada tingkat lanjut,
arah berubah dari otonomi hari ini menjadi batu uji serius para kepala
daerah, terutama para bupati/wali kota. Merujuk tenggat bulan Maret, di masa
awal mereka sudah direpotkan dengan transisi sejumlah urusan (kehutanan,
pertambangan, kelautan/perikanan, dan pendidikan) ke provinsi. Perpindahan urusan-termasuk
implikasinya bagi personalia, pembiayaan, peralatan, dan dokumen-selalu
membawa komplikasi teknis nan rumit.
Secara substantif,
perpindahan itu berarti berkurangnya otoritas dan sumber daya penting di
kabupaten. Dalam sektor publik, urusan itu adalah perkara paling krusial. Tak
banyak yang bisa dilakukan jika bukan urusannya. Para bupati/wali kota, yang
telah menempuh proses berat saat pilkada, dalam realitas keseharian nanti
hanya menemukan isi pekerjaan yang jauh menciut. Praktis, mereka hanya
berurusan dengan tugas layanan, sementara pembangunan (sumber daya ekonomi)
domain provinsi. Janji-janji kemakmuran dan gagasan kemajuan selama kampanye
hanya menjadi isapan jempol jika pimpinan kepala daerah tersebut tak kreatif
mencari jalan lain.
Pada dimensi lain,
pola relasi dengan pranata supradaerah (provinsi dan pusat) menampilkan corak
baru. Sebelumnya, fasilitasi lebih dominan ketimbang sanksi, ke depan
berbagai instrumen fiskal, kendali politik, dan tata administrasi akan
menjadi instrumen penertiban daerah.
Sayangnya, desain
rezim sanksi ini lebih berorientasi kepada akuntabilitas prosedural ketimbang
akuntabilitas subtantif terkait capaian kerja. Selain itu, karakter rezim itu
juga berpotensi meminggirkan partisipasi publik: demi mengejar batas waktu
penyerahan APBD ke supradaerah pemda mengorbankan ruang warga untuk terlibat
intensif.
Tak perlu dijelaskan,
pilkada adalah bagian integral desentralisasi. Hasil relatif bagus yang
diperoleh dalam pilkada serentak 9 Desember 2015 akan menemui medan uji
otentiknya dalam keseharian berpemerintahan nanti. Sesudah pilkada, segala
ikhtiar didorong untuk memastikan para kepala daerah terpilih siap sedini
mungkin, terlatih, dan bersiap diri. Tak banyak waktu untuk belajar, apalagi
dalam konteks otonomi yang berubah hari ini. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar