Bagaimana Menakar Kemujaraban Kebiri?
Reza Indragiri Amriel ;
Psikolog Forensik;
Penulis Buku ”Ajari Ayah, ya Nak”;
Staf Yayasan Parinama Astha
|
KORAN SINDO, 30 Januari
2016
Dalam sejumlah
kesempatan, KPAI menyebut ada hubungan antara wacana kebiri bagi predator
seksual anak dan jumlah pengaduan masyarakat terkait kekerasan seksual
terhadap anak.
Menurut KPAI, hubungan
tersebut adalah sejak pemerintah mengemukakan rencana penerapan kastrasi
kimiawi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, jumlah laporan yang
masuk ke KPAI menurun dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Kenyataan
tersebut, simpul KPAI, mengindikasikan bahwa sebatas wacana pemberatan
hukuman pun sudah berhasil menimbulkan efek jera di masyarakat.
Di bawah ini adalah
beberapa catatan terkait pandangan KPAI tersebut. Pertama, hingga kini di
Indonesia belum tersedia data terpusat dan terintegrasi tentang kejadian atau
bahkan sebatas laporan tentang kekerasan maupun penelantaran terhadap anak.
Berbagai lembaga yang berurusan dengan kejahatan tersebut memiliki basis
datanya masing-masing. Isian data pun diperoleh dengan metode yang belum
diseragamkan.
Akibat itu, sangat
sulit memastikan jumlah kejadian yang sesungguhnya ataupun setidaknya jumlah
laporan yang terhimpun. Pada sisi lain, sebagai sebuah lembaga layanan, aset
terpenting bagi KPAI adalah kepercayaan publik. Manakala di tengah masyarakat
telah terbangun sikap positif terhadap KPAI, masyarakatutamanya korbanakan
merasa lebih terdorong untuk mengadukan masalah- masalah yang berhubungan
dengan anak yang mereka hadapi.
Kepercayaan publik
pada gilirannya berujung pada meningginya data laporan atau pengaduan yang
KPAI terima. Data laporan yang meninggi, dengan demikian, lebih tepat apabila
dijadikan sebagai indikator kepercayaan publik ketimbang sebagai angka
kejadian itu sendiri. Dengan logika sedemikian rupa, penurunan angka laporan
yang masuk ke KPAI pun akan lebih baik jika ditafsirkan sebagai tanda-tanda
berkurangnya kepercayaan publik.
Bukan sebagai
berkurangnya kejadian kejahatan seksual terhadap anak. Penafsiran sedemikian
rupa diharapkan akan membangun keinsafan bagi KPAI selaku lembaga induk
perlindungan anak di Indonesia untuk terus-menerus meningkatkan layanannya
kepada masyarakat dan organisasi- organisasi mitra. Karena, semakin banyak
jumlah laporan yang KPAI terima, semakin positif pula sesungguhnya upaya
penguatan kepercayaan publik dan pembangunan kapasitas lembaga.
Kedua, sebagai suatu
bentuk hukuman, filosofi efek jera (deterrence
effect) telah terlihat sejak awal wacana kebiri hormonal dilontarkan ke
publik. Efek jera sesungguhnya memiliki dua proses, yaitu efek langsung dan
efek tidak langsung. Efek langsung terjadi ketika predator yang telah
dikebiri tidak mengulangi perbuatan jahatnya, sedangkan efek jera tidak
langsung dapat diamati ketika orang-orang tidak meniru kelakuan jahat si
predator.
Dengan kata lain,
kastrasi hormonal akan terasa manfaatnya dalam memunculkan efek jera tidak
langsung ketika tidak ada predator-predator baru. Menarik untuk ditelisik
lebih jauh, efek jera manakah yang sedang KPAI coba simpulkan ketika
mengeluarkan pernyataan terkait wacana kastrasi dan penurunan jumlah laporan
masyarakat. Apakah penurunan itu merupakan efek jera langsung kebiri?
Pasti bukan, mengingat
sampai kini belum ada satu pun predator yang sudah dikebiri. Bahkan,
jangankan eksekusi kebiri, keputusan resmi tentang pemberatan hukuman berupa
kastrasi bagi predator pun belum kunjung dirilis pemerintah. Apakah penurunan
itu diakibatkan oleh efek jera tidak langsung?
Ini lebih kompleks
lagi karena sebagaimana isi laporan kinerja KPAI akhir 2015, lembaga tersebut
juga tidak melakukan identifikasi spesifik tentang jumlah kejahatan seksual
terhadap anak yang dilakukan pelaku yang sama (residivis). Andai suatu saat
nanti kebiri bagi predator seksual jadi diterapkan, efek langsung sanksi
tersebut lebih mudah ditakar daripada efek tidak langsung.
Tambahan lagi, data
mengenai residivisme lebih bisa diandalkan (dipercaya). Asumsi ”gunung es”
tidak berlaku karena nama-nama pelaku kriminal kambuhan yang kembali dibui
bisa dipastikan terdokumentasi dalam basis data Polri, Kejaksaan, dan Ditjen.
Lembaga pemasyarakatan. Tinggal lagi, ke depan KPAI juga mengompilasi data
tersebut.
Kebiri hormonal hanya
bisa dinilai ampuh untuk menekan kejahatan seksual terhadap anak hanya
apabila pelaku tidak menjadi mengulangi perilaku jahatnya serta tidak ada
pemunculan pelaku-pelaku baru dalam jumlah yang signifikan. Jadi, apabila
predator yang menjadi residivis berjumlah kecil, dapat disimpulkan bahwa
kebiri kimiawi memang mujarab sebagai sanksi ekstra bagi para predator
durjana.
Sebaliknya, kalau
jumlah predator-residivis itu tinggi, kebiri kimiawi tidak terbukti ampuh
memunculkan efek jera langsung. Bahkan, karena efek jera langsung saja tidak
terbentuk, apalagi efek jera tidak langsung - tentu lebih diragukan lagi.
Poin tentang efek jera di atas memberikan garis bawah terhadap gagasan yang
saya angkat berulangkali tentang pentingnya sebuah basis data khusus
predator.
Basis data tersebut
harus didesain sedemikian rupa sehingga menjadi semacam riwayat kejahatan
setiap predator yang dapat diakses oleh publik secara terbuka. Basis data
seperti itu akan memudahkan semua pihak untuk memfungsikan efek jera, baik
langsung maupun tidak langsung, sekaligus sebagai ”kompensasi” (sanksi
sosial) atas kurang memuaskannya hukuman pidana yang dijatuhkan kepada para
terdakwa kejahatan seksual terhadap anak.
Ketiga, mirip dengan
rekapitulasi data yang diumumkan oleh berbagai lembaga pelayanan publik, KPAI
menjadikan jumlah laporan yang diterimanya dari masyarakat sebagai indikator
kerjanya. Meski tidak salah, laporan atau rekapitulasi KPAI tersebut
seyogianya disusun lebih komprehensif lagi.
Yang tak kalah
pentingnya bagi KPAI dan publik adalah menginformasikan kepada masyarakat
ihwal jumlah kasus yang tertangani dan tidak tertangani, jumlah kasus yang
terselesaikan, serta jumlah kasus yang terselesaikan dengan solusi dan
putusan yang benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik anak.
Lebih jauh, sebagai
lembaga dengan fungsi koordinatif, KPAI juga sepatutnya memasukkan ke dalam
rekapitulasinya jumlah serta peran kementerian maupun lembaga nonkementerian
yang terlibat dalam penanganan kasus-kasus di lapangan.
Semakin banyak
penanganan kasus-kasus anak yang diselenggarakan secara lintas lembaga,
semakin komprehensif pula masalah anak teratasi. Seberapa jauh kapasitas KPAI
selaku badan noneksekutorial akan bisa diukur dari situ. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar