Era Transisi Ekonomi
Firmanzah ; Rektor
Universitas Paramadina;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI
|
KORAN SINDO, 25 Januari
2016
Tanpa kita sadari
ekonomi dunia berada pada era transisi. Banyak negara sedang mencari sumber
pertumbuhan ekonomi baru di tengah perubahan fundamental yang terjadi.
Sejumlah faktor
seperti melemahnya harga minyak mentah, turunnya permintaan ekspor dan komoditas
global, melambatnya pertumbuhan ekonomi negara berkembang dan emerging, serta mulai membaiknya
ekonomi di Amerika Serikat (AS) menjadi faktor penyebab pencarian sumber
pertumbuhan baru di banyak negara.
Selain itu, ada
beberapa persoalan fundamental seperti kurangnya industri pengolahan dan
infrastruktur, lemahnya pasar domestik, rendahnya kualitas sumber daya
manusia (SDM), dan belum terintegrasinya sistem logistik. Kombinasi faktor
eksternal dan internal membuat banyak pengambil kebijakan mencoba untuk
mengubah arah ekonomi demi mengurangi ketergantungan dari sektor yang selama
ini menjadi andalan penopang ekonomi mereka.
Para pengambil
kebijakan di China sedang menggeser ekonomi yang selama ini bertumpu pada
ekspor dan manufaktur ke arah ekonomi yang ditopang oleh konsumsi dan sektor
jasa. Melemahnya pasar ekspor dunia telah membuat pertumbuhan ekonomi China
melambat. Selama ini China memosisikan sebagai produsen untuk memenuhi
permintaan dunia. Tidaklah mengherankan apabila di beberapa dekade lalu,
kebijakan yang lebih memanjakan investasi dan manufaktur menjadi prioritas
nasional.
Namun, seiring
melemahnya permintaan dan pertumbuhan ekonomi dunia, negaranegara yang selama
ini menjadi importir utama China berdampak cukup besar bagi perlambatan
ekonomi negara itu. Meski China aktif mencari pasar baru seperti di kawasan
Afrika, langkah itu tidak mampu menutupi perlambatan permintaan dari Eropa,
Asia, dan kawasan Amerika.
Pertumbuhan ekonomi
China selama 2015 hanya tercatat sebesar 6,9% atau terendah selama 25 tahun.
Sektor konsumsi, jasa, dan teknologi menjadi penyumbang penting pertumbuhan
ekonomi China tahun lalu. Tren perlambatan pertumbuhan ekonomi China masih
akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Baru-baru ini Dana Moneter
Internasional (IMF) merilis data yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi
China terus melambat.
Pada 2016 ekonomi
China diperkirakan hanya tumbuh 6,3% dan pada 2017 tumbuh lebih lambat lagi,
6,0%. Tekanan lemahnya permintaan ekspor produk-produk China memaksa otoritas
di negara tersebut mendorong sisi permintaan domestik. Tercatat sejak
November 2014-Oktober 2015, Bank Sentral China memangkas suku bunga acuan
sebanyak enam kali untuk mendorong ekonomi domestik. Kebijakan penurunan suku
bunga juga akan dilakukan pada 2016 untuk membuat kredit domestik lebih
bergairah.
Transisi ekonomi juga
akan terjadi di banyak negara di Timur Tengah. Turunnya harga minyak mentah
dunia membuat banyak negara di Timur Tengah mengalami defisit fiskal yang
cukup besar. Rendahnya harga minyak mentah dunia sangat kontras apabila kita
bandingkan dengan posisi Juni 2014 yang sempat menyentuh USD114/barel.
Membanjirnya pasokan minyak mentah dunia telah menekan harga minyak mentah
dunia, bahkan pernah menyentuh posisi USD27-28/ barel.
Tren kelebihan pasokan
pascaperjanjian nuklir Iran semakin menambah tekanan atas harga minyak mentah
dunia. Kondisi ini membuat sejumlah lembaga internasional memprediksi harga
minyak mentah dunia dapat menyentuh USD15/barel. Tentunya tren rendahnya
harga minyak mentah dunia memaksa negara-negara di Timur Tengah untuk
merumuskan sumber pertumbuhan ekonomi baru dan tidak terlalu mengandalkan
minyak mentah.
Kontribusi ekonomi
nonminyak akan terus ditingkatkan melalui transformasi ekonomi ke
sektor-sektor lain. Sektor nonminyak seperti sektor jasa, pariwisata,
infrastruktur, dan properti akan ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan
dari sektor minyak. Sektor-sektor nonminyak sangat diharapkan untuk menyerap
lapangan kerja, mendorong investasi, dan mempertahankan daya beli masyarakat.
Terlebih dengan
semakin rendahnya harga minyak mentah dunia membuat banyak perusahaan minyak
melakukan efisiensi perusahaan baik pemangkasan biaya, pengurangan karyawan,
maupun pembatalan proyek eksplorasi baru. Hal ini membuat spiral ekonomi
semakin melemah dan menurunkan secara signifikan pendapatan negara yang
selama ini bergantung pada sektor minyak.
Indonesia saat ini
juga sedang melakukan transisi ekonomi dari yang selama ini bertumpu pada
sektor konsumsi dan jasa menuju ekonomi yang juga ditopang oleh investasi dan
infrastruktur. Disparitas antara tingginya permintaan domestik dengan
kapasitas produksi nasional mendorong pemerintah untuk mengakselerasi dan
memperluas pembangunan infrastruktur di Tanah Air.
Selain itu, kebijakan
yang lebih proinvestasi dilakukan secara masif melalui debirokratisasi,
deregulasi, dan aktif mengundang investor masuk ke proyek-proyek strategis.
Industrialisasi juga didorong untuk tidak hanya berorientasi ekspor, tetapi
juga untuk substitusi impor. Kebijakan untuk menarik investasi pengolahan
hasil kekayaan alam baik perkebunan, kelautan, maupun mineral-tambang telah
menjadi prioritas kebijakan industri dalam beberapa tahun terakhir.
Indonesia tidak
menginginkan hanya menjadi negara pengekspor barang mentah, melainkan juga
menjadi negara basis industri pengolahan. Dua sektor yaitu infrastruktur dan
investasi menjadi andalan bagi pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja,
menumbuhkan usaha baru, mempertahankan daya beli masyarakat, serta
meningkatkan daya saing nasional.
Sektor konsumsi
domestik yang selama ini berkontribusi sebesar 54-56% terhadap pembentukan
produk domestik bruto (PDB) nasional akan diimbangi oleh kontribusi sektor
investasi dan belanja pemerintah utamanya infrastruktur. BUMN juga didorong
untuk berkontribusi pada investasi dan infrastruktur. Direncanakan belanja
modal (capex) BUMN pada 2016
mencapai Rp404,8 triliun atau meningkat 51% dari 2015 sebesar Rp268,3
triliun.
Swasta nasional dan
asing juga didorong untuk mengambil peran penting mendorong investasi dan
keterlibatan pada pembangunan infrastruktur. Di tengah arus besar transisi
ekonomi dunia dan dalam negeri, kewaspadaan dan kehatihatian dalam
pengelolaan ekonomi nasional perlu terus dilakukan. Hal ini lantaran setiap
transisi pasti akan menciptakan ketidakpastian.
Risiko ketidakpastian
menjadi hal penting yang harus dikelola oleh pemerintah. Kita masih belum
bisa memastikan bentuk akhir dari transisi ekonomi dunia yang saat ini tengah
berlangsung. Kecepatan atas perubahan menjadi karakteristik utama dari
transisi ekonomi.
Belum lagi dengan
kehadiran teknologi dan informasi, yang membuat derajat ketidakpastian akibat
mudahnya modal, informasi dan tenaga kerja keluar-masuk suatu negara menjadi
semakin tinggi. Transisi ekonomi global dan nasional membutuhkan kewaspadaan
sekaligus kecepatan untuk merespons tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga
pelaku bisnis atas setiap perubahan yang terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar