Pelayan Publik yang Sulit Melayani
Amzulian Rifai ; Dekan
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
|
KORAN SINDO, 26 Januari
2016
Status sebagai pegawai
negeri sipil (PNS) yang kini dikenal sebagai aparatur sipil negara (ASN)
tetap menjadi dambaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Salah satu
indikasinya, jumlah pelamar untuk menduduki posisi sebagai pegawai pemerintah
itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan formasi yang tersedia. Setidaknya
pada 2014 saja ada 2.603.780 orang pendaftar calon pegawai negeri sipil
(CPNS).
Padahal,
pemerintah hanya membuka lowongan untuk 100.000 formasi yang terdiri atas
65.000 sebagai CPNS/ASN dan 35.000 sebagai pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja (PPPK). Jika kita mengacu baik pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara maupun Undang- Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik, keduanya memberikan kewajiban luar biasa
kepada pegawai negeri sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan
kepada publik.
Apakah pegawai negeri
benar-benar telah berlaku dan berbuat sebagai pelayan publik sebagaimana
diamanatkan oleh berbagai undang-undang terkait? Secara umum pastilah “begitu
banyak” keluhan terhadap perilaku maupun kualitas para pegawai negeri yang
seharusnya bekerja sebagai pelayan publik tersebut. Namun, kita juga mesti
memahami berbagai persoalan yang mengitari para pegawai negeri untuk
menjalankan misi ideal mereka.
Istilah Pegawai Negeri
Memang ada yang
terbiasa berucap “apalah arti sebuahn ama” (pernyataan William Shakespeare
yang populer), namun untuk istilah pegawai negeri (government official) atau aparatur negara (state apparatus) terdapat beberapa kekhususan yang mungkin
berpengaruh terhadap misi melayani publik.
Dalam suatu sistem
ketatanegaraan, pemerintah negara yang biasanya memiliki kekuasaan sangat
besar di berbagai bidang. Pegawai negara/ pemerintah dipersepsikan sebagai
perwakilan penguasa dengan berbagai kewenangannya. Mungkin itu sebabnya,
setiap orang ingin berkuasa dan mempertahankannya. Dengan status sebagai
“pegawai negara”, kecenderungan watak yang muncul adalah penguasa, bukan
pelayan.
Berbagai tampilan
pegawai pemerintah yang justru menyuburkan watak penguasa tersebut. Mulai
dari pakaian seragam yang berbeda denganpegawailainnya. Bahkan ada saja
instansi pemerintah yang menggunakan seragam lengkap dengan atribut “mirip
militer.” Jangan-jangan hanya di Indonesia ada pelayan publik berseragam ala
militer ini. Akibatnya, mental yang terbangun adalah mental juragan atau
malah watak tentara.
Bukankah mereka adalah
pegawainya penguasa, bukan pegawainya rakyat. Bandingkan dengan istilah government official/state apparatus
(pegawai negeri) dengan istilah dalam bahasa Inggris dengan sebutan public servant (pelayan publik).
Penggunaan publicservant sedari awal “menyadarkan” penyandangnya bahwa mereka
adalah pelayan publik, bukannya pelayannegara, apalagi penguasa.
Perubahan Kultur
Sebagai bangsa yang
lama terjajah, pastilah masa lalu sosok pegawai negeri zaman Belanda yang
disebut ambtenaar masih membekas.
Cerita orang tua kita, ambtenaar,
adalah sosok yang berpakaian jas putih-putih, topi helm keras seperti topi
baja dan pergi serta pulang kerja naik sepeda. Jabatan ini menjadi impian
dari kebanyakan anak-anak pribumi karena dipandang bahwa kehidupannya
terjamin.
Mungkin ada
pengaruhnya jika hingga saat ini kebanyakan orang tua sangat ingin
putra-putrinya berstatus pegawai negeri. Boleh jadi karena doktrin dan memori
sosok ambtenaar masa penjajahan itu. Jangan heran apabila jumlah entrepreneur
di negeri ini sangat rendah, justru para calon penguasa yang terus
bermunculan. Jika dibandingkan dengan beberapa negara maju, jumlah
entrepreneur atau wirausaha di Indonesia masih rendah.
Di antara 231,83 juta
jiwa penduduk Indonesia, baru 4,6 juta saja (2%) yang berwirausaha.
Bandingkan dengan persentase penduduk Singapura yang berwirausaha mencapai
7%, China dan Jepang mencapai 10%. Amerika Serikat bahkan mencapai 12%.
Kultur sebagian besar bangsa kita adalah ingin menjadi pegawai negeri (government official) dengan bayangan
berbagai fasilitas (mobil, rumah, dan ajudan) yang disediakan oleh negara.
Sulit sekali membangun kultur menjadi wirausaha, yang dengan status ini
berbagai kebutuhan mesti diusahakan sendiri. Berangkat dari kultur ambtenaar ini, ketika menjadi seorang
pegawai negeri, tidak mengherankan apabila watak minta dilayani itu yang
justru lebih menonjol.
Padahal, idealnya,
sang pegawai negeri itu “diperintahkan” oleh negara sebagai perpanjangan
untuk memberikan pelayanan kepada publik.
Pola Rekrutmen
Kita bersyukur
pemerintah telah melakukan berbagai perbaikan penerimaan pegawai negeri
dengan kontrol dari DPR RI. Pola penerimaan itu semakin tertata baik, semakin
fair sejak penerimaan pegawai negeri diambil alih oleh Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB).
Hasil observasi saya
sudah ada perbaikan signifikan yang memberikan berbagai harapan. Namun,
selama ini, sebelum rekrutmen oleh Kemenpan-RB, diyakini bahwa rekrutmen
pegawai negeri sipil tidak terbebas dari rekayasa. Jika pun belum pasti
terjadi di instansi pusat, terlalu banyak cerita menyeramkan saat penerimaan
pegawai negeri sipil di berbagai daerah yang sarat praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme.
Di sebagian daerah,
penerimaan CPNS menjadi “rezeki” tahunan bagi banyak orang. Bahkan ada pula
yang menjadikan rekrutmen CPNS sebagai arena mengumpulkan dana untuk
kebutuhan pilkada. Mari kita berhitung apabila seorang CPNS ditarik iuran
Rp200 juta saja. Bahkan ada daerah yang mematok uang pungutan liar mencapai Rp300
juta setiap CPNS.
Kabupaten atau kota
terkadang setiap tahunnya menerima sekitar 300 CPNS. Ada beberapa kasus suap
penerimaan CPNS di daerah hingga putusan pengadilan yang membenarkan uraian
ini. Observasi saya dalam beberapa tahun ini beberapa pejabat di daerah
kehilangan rezeki melalui seleksi CPNS ini. Selama ini ada rangkaian
sistematis perilaku korup orang-orang yang “menjadi kaya raya” atas nama
seleksi calon pegawai pemerintah.
Sudah menjadi hukum
ekonomi ketika demand jauh melampaui supply, ada pihak yang sanggup membayar
“berapa saja” untuk permintaan itu. Sejak Kemenpan-RB sepenuhnya mengambil
alih rekrutmen CPNS, setidaknya daerah terbebas dari hiruk-pikuk penerimaan
CPNS dengan berbagai rupa penyelewengannya. Walau pada 2016 ini, masih ada
oknum pejabat yang terpaksa berutang atau akan dipidana karena harus
mengembalikan “uang pelicin” setidaknya ratusan juta rupiah yang telanjur
diterima.
Pola Mutasi dan
Promosi Selain rekrutmen, jika kita ingin memiliki pegawai negeri yang
melayani publik, pola mutasi dan promosi harus pula diperhatikan. Sulit
menghapus persepsi publik bahwa mutasi dan promosi pegawai negeri itu sarat
dengan berbagai kepentingan baik politik maupun pribadi, bahkan suap.
Pola lelang jabatan
sekalipun masih sulit dipercaya objektivitasnya. Di beberapa daerah, mutasi
dan promosi itu memiliki korelasi dengan pilkada. Salah satu indikasinya,
pascapilkada biasanya terjadi mutasi besarbesaran. Konon, selama proses
pilkada, sudah ada juru catat yang memuat daftar nama mereka yang mendukung
atau berada di pihak lawan. Perbedaannya hanya soal kapan mutasi dilakukan
karena batas kesabaran antarkepala daerah berbeda. Mungkin ada kepala daerah
yang melakukan mutasi secara santun, perlahan tetapi pasti atau sebaliknya.
Mungkin cukup terpublikasikan, pada 2013 Kota Palembang pantas dicatat
sebagai daerah yang memutasi pegawainya paling banyak.
Ada sekitar 286
pegawai negeri yang dimutasi hanya dalam waktu sekitar dua bulan setelah
pilkada. Mungkin kejadian dan pola yang mirip terjadi juga di banyak daerah.
Cara-cara mutasi semacam ini sudah pasti menghambat seorang pegawai negeri
untuk menjalankan misi sebagai pelayan publik.
Justru yang terjadi
malah “lebih buruk lagi” dari semula sebagai pelayan negara menjadi pelayan
kepala daerah atas nama loyalitas pribadi. Kondisi ini semakin menjauhkan
seorang pegawai negeri yang diharapkan menjalankan tugas sebagai pelayan
publik, sebagai abdi publik.
Mungkin hanya negeri
kita yang pegawainya memiliki berbagai peraturan perundang-undangan ideal.
Semua perundang-undangan itu memiliki perintah sangat jelas agar pegawai
negeri memberikan pelayanan kepada publik sesuai bidangnya. Mengutamakan
kepentingan publik ketimbang kepentingan pribadi atau golongan. Luar biasa
perintah undang-undangnya.
Negara lain mungkin
hanya bermodalkan istilah public
servant tanpa terlalu banyak undangundang yang mengaturnya. Kita
mengapresiasi pemerintah melalui Kemenpan-RB yang terus berbenah agar para
pegawai negeri menjalankan misi idealnya. Sekaligus membangun kepercayaan
publik kepada pemerintah yang memang serius ingin berbenah.
Tantangan terbesar
adalah mengubah pola pikir para pegawai negeri ini dari mental minta dilayani
menjadi sosok yang melayani. Mungkin jiwa dan figur ambtenaar warisan masa penjajahan, ditambah persoalan rekrutmen
dan mutasi tadi, menjadikan pegawai negeri kita sebagai sosok yang sulit
untuk melayani publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar