Menggugat Anggaran Riset
Asvi Warman Adam ; Peneliti Senior LIPI
|
KOMPAS,
21 Januari 2016
Salah satu perubahan
penting pada kabinet Joko Widodo adalah penggabungan riset dan teknologi
dengan pendidikan tinggi. Tujuannya untuk menciptakan sinergi di antara kedua
sektor tersebut, selain meningkatkan kapasitas riset pada lembaga penelitian
dan perguruan tinggi. Penggabungan kementerian pendidikan dengan riset ini
terdapat di beberapa negara lain di dunia.Di Jepang, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Olahraga, Sains, dan Teknologi selain mengurus pendidikan dan
ristek juga menangani bidang olahraga. Di antara universitas di Jepang
terdapat kerja sama penelitian, penggunaan laboratorium, dan prasarana
lainnya bahkan berbagi hasil riset.
Sebagai kementerian
baru, tentu banyak yang perlu dikerjakan dan dibenahi pada Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti). Pengisian personel—bahkan
pembuatan situs kementerian—pun memerlukan waktu beberapa bulan. Namun
demikian, dalam waktu setahun ini,apakah sinergi antara riset dengan
perguruan tinggi sudah pada jalur yang tepat, seperti yang diharapkanwaktu
pembentukan kementerian ini?
Kritik terhadap
kinerja kementerian ini datang dari kalangan DPR, seperti kritik Wakil Ketua
Komisi X Abdul Kharis Almasyhari menyangkut penyerapan anggaran.Capaian
realisasi APBN 2015 per 30 November 2015 sebesar 61,95 persen atau Rp 27,3
triliun dari total pagu anggaran sebesar Rp 44 triliun.
Karena tidak terserap
secara maksimal, maka pagu anggaran kementerian ini pada 2016 jadi berkurang,
yaitu Rp 40,63 triliun. Sebesar Rp 39,66 triliun ditujukan bagi pendidikan
tinggi, seperti beasiswa mahasiswa dan dosen, biaya operasional perguruan
tinggi negeri, dan program prioritas lainnya. Sementara Rp 0,97 triliun
digunakan untuk layanan umum, termasuk prototipe laik industri, sentra hak
kekayaan intelektual, produk inovasi. Terlihat kentara bahwa anggaran
tersebut mayoritas untuk keperluan perguruan tinggi bukan bidang riset.
Ironi anggaran
Bila Kementerian Ristekdikti
kesulitan menyerap anggarannya yang cukup besar, maka lembaga penelitian,
seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengeluh tentang
keterbatasan dana. Pagu anggaran LIPI untuk 2016 hanya Rp 1,1 triliun,
sementara itu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rp 914 miliar,
Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) Rp 799 miliar, Badan Informasi Geospasial
Rp 865 miliar, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Rp 700 miliar, dan
Badan Pengawas Tenaga Nuklir Rp 190 miliar. Total keseluruhan anggaran
lembaga penelitian ini sekitar Rp 4,5 triliun.
Menurut Kepala LIPI
Iskandar Zulkarnain, saat ini kapal penelitian laut dalam yang dimiliki LIPI
hanyadua. Itupun hanya ada di Jakarta dan Ambon. Dengan kecilnya anggaran
tersebut, kapal penelitian LIPI, Baruna Jaya VIII, yang ada di Jakarta hanya
bisa dioperasionalkan selama 20 hari per tahun.
”Kita harus dorong
agar belanja kegiatan riset dan teknologi lebih besar lagi,” kata Menteri
Koordinator Pembangunan Manusia dan KebudayaanPuan Maharani dalam acaradi
LIPI, 11 Maret 2015.Keseluruhan anggaran riset Indonesia, kata Puan, hanya
0,08 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, ujar Puan, UNESCO
merekomendasikan rasio anggaran yang memadai untuk riset adalah 2 persen dari
PDB. ”Dana kita tergolong rendah dibandingkan Tiongkok dan India,” kata Puan.
Kedua negara itu menganggarkan dana riset sebesar 1,9 persen dan 1,2 persen
dari PDB mereka.
Amanat konstitusi
Rendahnya kepedulian
terhadap penelitian, termasuk kebijakan penganggarannya yang kurang dari 1
persen APBN, tidak lain karena kurang pemahaman tentang pentingnya
penelitian. Ilmu pengetahuan dan teknologi jadi pendorong kemajuan bangsa,
ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bandung, akhir Agustus 2012.
Tetapi, ucapan itu sekadar retorika belaka bila tidak didukung kebijakan dan
realisasinya. Masalah besar dalam persoalan energi saat ini tentu tidak akan
terjadi bila ada penelitian yang komprehensif tentang masalah tersebut,
beserta langkah- langkah penyelesaiannya secara menyeluruh.
Ketika LIPI didirikan
pada 1967, lokakarya internasional yang pertama diadakan mengenai ketahanan
pangan. Tahun berikutnya dibahas tentang sumber daya alam Indonesia, diikuti
dengan teknologi yang cocok untuk menggarapnya. Sayangnya, penelitian yang
dilakukan di Tanah Air umumnya bukanlah penelitian jangka panjang serta
berkesinambungan dan tanpa dukungan dana yang memadai.
Akar permasalahan ini
bisa ditelusuri pada UUD 1945 tentang pendidikan dan kebudayaan, yakni Pasal
31 Ayat 5: ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi…” Untuk
menjalankan tugas memajukan iptek tersebut, tentu perlu dana besar. Oleh
sebab itu, Pasal 31 Ayat 4 berbunyi: ”Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD…”.
Untuk memajukan iptek
tentu tidak cukup melalui pendidikan, juga harus dengan penelitian.
Pendidikan dan penelitian dua unsur yang bisa dibedakan, tetapi sebetulnya
tak bisa dipisahkan dan saling mendukung. Karena itu, seyogianya UUD 1945
Pasal 31 Ayat 4 diamandemen menjadi ”Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan dan penelitian sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD…”
Karena amandemen itu
belum dilakukan, maka pembentukan Kementerian Ristekdikti dapat membuka
peluang bila lembaga penelitian yang ada jadi bagian integral dari
kementerian tersebut. Jadi, lembaga-lembaga, seperti LIPI, BPPT, dan Batan
jadi bagian utuh dari Kementerian Ristekdikti tak sekadar di bawah
koordinasi. Hal itu bisa dilakukan misalnya dengan menempatkan kepala LIPI,
BPPT, dan seterusnya merangkap deputi menteri (cukup tiga deputi) dengan
tanpa mengubah struktur internal masing-masing lembaga riset tersebut. Dengan
demikian, anggaran Kementerian Ristekdikti sebesar Rp 40 triliun itubisa
dibagi dua untuk keperluan perguruan tinggi dan lembaga riset.
Bila gagasan ini dapat
diterima, tentu struktur Kementerian Ristekdikti perlu ditata ulang. UU dan
peraturan pendukung lainnya dapat dipersiapkan oleh pemerintah bekerja sama
dengan DPR. Semuanya itu dalam rangka ”mencerdaskan kehidupan bangsa”
sebagaimana diamanatkan UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar