Dilema Narapidana Terorisme
Noor Huda Ismail ; Pendiri
Yayasan Prasasti Perdamaian, LSM yang Melakukan Pendampingan atas Mantan
Narapidana Terorisme di Indonesia
|
KOMPAS, 27 Januari
2016
Negara dan masyarakat
kembali gagal memberi kesempatan kedua kepada dua mantan narapidana
terorisme, Sunakim alias Afif dan Muhammad Ali, untuk jadi bagian masyarakat
Indonesia yang merayakan kemajemukan.
Kedua pelaku tindak
terorisme di Jakarta pada 14 Januari lalu adalah alumni penjara. Sunakim
”lulus” dari LP Cipinang dan Muhammad Ali dari LP Tanjung Gusta Medan.
Sebenarnya apa yang dilakukan para narapidana terorisme di dalam penjara dan
pilihan hidup seperti apa yang tersedia setelah bebas?
Berdasarkan wawancara
dengan para mantan narapidana terorisme yang penulis lakukan, mayoritas dari
mereka mengatakan bahwa penjara adalah uzlah,
istilah sufisme yang berarti melakukan pendekatan secara intensif kepada Sang
Pencipta. Di penjara mereka punya waktu cukup untuk beribadah, belajar bahasa
Arab, bahkan ada pula di antara mereka yang justru mulai belajar membaca Al
Quran ketika di balik jeruji.
Kegiatan keagamaan ini
melapangkan peluang bagi para narapidana terorisme mendapat julukan ”ustaz”,
sebuah penanda sosial yang penting di penjara. Ini artinya mereka dianggap
sebagai ”orang baik” yang layak mendapat kasta berbeda dibandingkan dengan
tahanan kriminal lain, seperti kasus narkoba, pencurian, perampokan, apalagi
pemerkosaan.
Dengan posisi tawar
seperti ini, sangatlah wajar jika pegawai penjara pun lebih percaya kepada
para narapidana terorisme yang berpenampilan lebih agamis dan santun itu
daripada narapidana kriminal biasa. Mereka lalu ditunjuk menjadi ustaz di
masjid di dalam penjara. Kegiatan ini memberi dua keuntungan.
Pertama, mereka dapat
bergaul leluasa dengan narapidana di luar kasus terorisme dan, kedua, mereka
akan mendapat penilaian sebagai narapidana yang berkelakuan baik sehingga
mereka layak mendapatkan remisi (potongan waktu penahanan) dan pembebasan
bersyarat, PB, (menjalankan hukuman di luar penjara).
Kegiatan keagamaan ini
juga menumbuhkan semangat persaudaraan dan ikatan emosional di antara mereka.
Lalu, bagaimana lahirnya tokoh yang disegani dalam kondisi tertekan seperti
itu?
Ternyata ada tiga tipologi
narapidana terorisme yang secara natural punya pengaruh mengontrol dinamika
penjara. Tipe pertama adalah para ideolog, seperti Aman Abdurrahman dan Abu Bakar Baasyir.
Tipe kedua adalah para senior JI, Jamaah Islamiyah, yang
berada di penjara, seperti Abu Dujana dan Zarkasih. Kedua tokoh itu
berusaha mempertahankan sistem organisasi yang hierarkis untuk menjaga
loyalitas anggota.
Tipe terakhir adalah para narapidana terorisme yang
pernah terlibat aksi terorisme sebelumnya. Abdullah Sunata adalah salah satu
contohnya.
Dia sangat mafhum bagaimana pola permainan di dalam penjara untuk mendapat
apa yang ia harapkan.
Setia kepada Pancasila
Persaingan tiga jenis
kepemimpinan ini terbaca dengan mudah di lapangan, misalnya ketika pemerintah
mengeluarkan PP Nomor 99 Tahun 2012. Dalam aturan baru ini dinyatakan bahwa
semua narapidana terorisme yang ingin mendapatkan remisi dan PB harus
memenuhi paling tidak dua kriteria utama: menandatangani surat pernyataan
setia kepada Pancasila dan NKRI dan bersedia membantu pemerintah dalam proses
penegakan hukum.
Ideolog seperti Aman
dan Baasyir langsung melawan kemunculan aturan baru ini. Mereka mengeluarkan
fatwa bahwa para narapidana teroris yang mau menerima syarat dari pemerintah
itu layak dihukum sebagai anshorut
thogut, yang berarti ”para pendukung pemerintah yang lalim”.
Fatwa itu sampai ke
telinga para narapidana terorisme, termasuk Sunakim dan Muhammad Ali, yang
kemudian merasa resah dan tegang karena mereka juga ingin mendapatkan PB. Namun,
fatwa haram mengajukan PB ini dilawan dua kelompok lain. Mereka justru
mendapat dukungan pegawai penjara karena kepatuhan mereka mengikuti peraturan
baru tersebut.
John Horgan dalam
bukunya, The Psychology of Terrorism
(2003) mengatakan, bahwa penjara bisa menjadi pemantik (pencerahan) bagi
narapidana terorisme. Pencerahan ini akan terjadi ketika mereka melihat
dengan mata kepala sendiri ketidaksesuaian antara laku dan kata pemimpin
gerakan di dalam penjara. Dalam kondisi seperti inilah mereka kemudian
perlahan-lahan mempertanyakan ideologi yang selama ini mereka pegang.
Proses itu selanjutnya
memunculkan identitas diri yang baru. Perasaan dikhianati, dimanipulasi,
bahkan ditinggalkan para senior mereka dalam gerakan, meminjam istilah
Horgan, menjadi alasan pendorong meninggalkan gerakan kekerasan.
Tahun pertama setelah
bebas adalah titik paling rawan, ketika mereka menghitung-hitung untung rugi
antara kembali ke kelompok lama atau memulai hidup baru. Mereka yang berhasil
keluar dari lingkaran kelompok kekerasan ini rata-rata adalah mereka yang
mendapat bantuan keluarga, teman-teman di luar jaringan, dan LSM, untuk
perlahan-lahan menciptakan jaringan sosial yang luas dan baru.
Keluar dari kelompok
lama secara tiba-tiba sangatlah tak mungkin karena kelompok lama adalah
”rumah batin” di mana mereka merasa terlindungi. Dunia baru bagi mereka
selalu menakutkan, terutama ketika mereka harus memenuhi kebutuhan duniawi
yang sering bertabrakan dengan keyakinan mereka.
Karena itu, godaan
kembali ke dunia lama itu sangat menggiurkan terutama jika mereka hidup di
sebuah komunitas yang selalu menganggap bahwa aksi kekerasan yang mereka
lakukan adalah bentuk pembelaan kepada kelompok yang tertindas, seperti di
beberapa komunitas di Solo, Lamongan, Ambon, dan Poso.
Mereka tak pernah
dianggap sebagai teroris oleh komunitasnya. Lebih-lebih jika mereka ini punya
kemampuan militer, maka mereka jadi rujukan para anak muda yang haus akan
pengalaman jihad. Inilah sesungguhnya ”penjara kedua” yang mereka harus
hadapi.
Karena itu, ”penjara
kedua ini” haruslah digempur bersama masyarakat dan pemerintah jika kita
ingin melihat Indonesia jauh dari ancaman terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar