Olok-olok Lapindo
Heri Andreas ; Pengajar dan Peneliti di Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, ITB
|
KOMPAS,
21 Januari 2016
Ingatan kita pasti
belum tumpul atas bencana semburan lumpur panas Lapindo pada Mei 2006. Saat
itu luapan lumpur panas menenggelamkan kawasan permukiman, sekolah, sawah,
kebun, dan pabrik, sampai 7 kilometer persegi.
Semburan lumpur panas
terjadi tak jauh dari lokasi PT Lapindo Brantas melakukan pengeboran minyak
dan gas bumi.Kini, di awal 2016, kita mendengar PT Lapindo Brantas akan
kembali melakukan pengeboran migas di Desa Kedungbanteng, Tanggulangin, yang
berjarak sekitar 2,5 kilometer dari pusat semburan lumpur panas Lapindo.
Sebagian dari kita
tentu masih ingat manakala PT Lapindo Brantas mencoba lepas tanggung jawab
dengan dalih bahwa semburan diakibatkan oleh sesar (Watukosek) yang
tereaktivasi gempa Yogya, bukan karena kelalaian mereka. Alamlah, kata
mereka, yang harus disalahkan.
Sekitar Rp 9 triliun
kerugian materiil akibat bencana ini akhirnya ditanggung pemerintah. Lalu,
yang kemudian terasa janggal, mengapa kini mereka seolah- olah tak takut
bahwa alam akan membuat hal sama ketika mereka ingin mengebor kembali?
Mengapa mereka tidak takut akan bencana Lapindo jilid II?
Sekarang kita coba
pakai logika sederhana. Ketika PT Lapindo Brantas berniat melakukan
pengeboran kembali, bisa jadi mereka yakin pengeboran akan aman; bahwa di
sekitar wilayah Porong tak terdapat sesar (Watukosek); bahwa tak ada kaitan
gempa (Yogya) dengan potensi semburan lumpur; bahwa dalam melakukan
pengeboran hingga 1.000 meter, tidak akan menyentuh sumber geotermal; bahwa
menggunakan casing akan mengamankan pengeboran dari potensi-potensi sumber
lumpur. Dipastikan bahwa mereka tidak sedang berjudi dengan alam.
Hasil penelitian yang
kami lakukan bersama kolega di Institut Teknologi Bandung (ITB) selama hampir
10 tahun (2006-2016) menyimpulkan, memang tak ada fakta kuat mengenai
keberadaan sesar Watukosek. Pun tak ada fakta kuat yang menunjukkan gempa
Yogya sebagai penyebab semburan lumpur panas Lapindo. Berarti, apabila gempa
Yogya bukan penyebab semburan lumpur, maka pengeboranlah yang menjadi
penyebabnya (sebab tersangka hanya dua untuk hal ini).
Kesimpulan yang sama
PT Lapindo Brantas
sebenarnya memiliki kesimpulan yang sama dengan kami. Itulah yang menjelaskan
mengapa mereka tidak takut melakukan pengeboran kembali dengan teknik yang
benar dan menghindari sumber geotermal dengan tidak mengebor lebih dari 1.000
meter.
Bisa dikatakan, dengan
melakukan pengeboran kembali, PT Lapindo Brantas saat ini secara tak sadar
sedang membuka borok sendiri dan telah mengolok-olok masyarakat dan
pemerintah. Mereka berhasil memperdayai masyarakat dan pemerintah.Mereka
senang melihat bagaimana ulah mereka ditanggung orang lain karena teperdayanya
masyarakat dan pemerintah. Mereka tentu senang DPR dan pemerintah menyatakan
semburan lumpur panas Lapindo adalah bencana alam.Juga senang karena
lagi-lagi pemerintah (sembilan tahun pasca bencana) kembali menggelontorkan
uang sekitar Rp 700 miliar untuk menalangi kewajiban mereka.
Saya ingin berbagi
tentang bagaimana PT Lapindo Brantas memperdayai kita dengan data yang mereka
sampaikan dahulu.Pertama, mereka bilang ada sesar Watukosek yang memanjang
dari ujung Gunung Penanggungan sampai Pulau Madura.Kedua, mereka bilang gempa
Yogya telah mereaktivasi sesar Watukosek sehingga terjadi semburan lumpur
panas.Ketiga, mereka bilang rekahan-rekahan yang terjadi di sekitar semburan
dan bengkoknya rel kereta api merupakan bukti reaktivasi sesar.Mereka menggunakan
teori perulangan gempa, reaktivasi sesar, dan teori gempa memicu gempa
lainnya.
Nyatanya,
rekahan-rekahan yang katanya terjadi searah dengan sesar Watukosek di
lapangan polanya konsentris terhadap pusat semburan, yang lebih tepatnya
berasosiasi dengan pembentukan kaldera gunung lumpur, bukan aktivitas
sesar.Rekahan ada jauh setelah semburan lumpur terjadi, bahkan bengkoknya rel
kereta api terjadi setelah enam bulan semburan.Hal ini jelas bertentangan
dengan fakta reaktivasi sesar di mana seharusnya ketika terjadi reaktivasi
sesar, maka harus serta-merta terjadi rekahan-rekahan, termasuk bengkoknya
rel kereta api, dan diiringi dengan getaran atau gempa bumi.
Nah, yang terjadi di
Lapindo itu pertama terjadi semburan dulu, disertai gas-gas, kemudian lama kita
menunggu, berhari-hari, berbulan-bulan baru dapat dilihat rekahan-rekahannya,
sudah itu tidak pernah terjadi getaran (gempa). Apa tidak aneh kalau
kejadiannya seperti itu?Seharusnya dengan sesar Watukosek yang memanjang
sampai Madura (kurang lebih 100 kilometer), tidak mungkin ketika terjadi
reaktivasi, tetapi tidak terekam gempa sama sekali!
Dengan adanya
peristiwa terkini, 2016, di mana PT Lapindo Brantas akan melakukan pengeboran
kembali di sekitar semburan lumpur panas Lapindo, saya sangat mendukung untuk
PT Lapindo Brantas membuka borok mereka oleh mereka sendiri, oleh
ketidaksadaran mereka.Selanjutnya, sudah saatnya fakta- fakta yang terabaikan
dibuka kembali, untuk menunjukkan siapa yang seharusnya bertanggung jawab
atas semburan lumpur panas Lapindo tahun 2006.
Keberanian pemerintah
sekarang diuji, termasuk keberanian Presiden.Saya yakin Presiden kita
sekarang ini berani, cuma beliau belum tahu saja duduk perkara sebenarnya itu
seperti apa.
Hal lain yang menarik
disimak, ada kemungkinan pengeboran Lapindo pada 2006 salah posisi koordinat,
juga salah model permukaan bawah tanahnya.Hasil penelitian atas data
eksplorasi migas, ditemukan 8 dari 10 data bermasalah di posisi
koordinat.Jadi, bukan tak mungkin ini juga terjadi di data eksplorasi Lapindo
tahun 2006.Akibat dari posisi koordinat ini, apabila dihitung secara
sederhana saja, kita punya potensi kerugian puluhan triliun rupiah dari
proses eksplorasi dan eksploitasi migas di negara kita tercinta ini, yang
tentunya pemerintah serta rakyat yang harus menanggung kerugian ini. Ironisnya,
hingga saat ini SKK Migas dan Kementerian ESDM belum mengetahui informasi
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar