Melumpuhkan NIIS
Zuhairi Misrawi ; Intelektual
Muda NU dan Peneliti The Middle East Institute
|
KOMPAS, 27 Januari
2016
Negara Islam di Irak
dan Suriah secara resmi mengklaim sebagai aktor utama aksi terorisme di Jalan
MH Thamrin, Jakarta. Ini membuktikan, NIIS telah menabuh genderang perlawanan
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rilis yang
disebar oleh NIIS, secara eksplisit mereka menegaskan aksi tersebut bukanlah
yang terakhir, melainkan permulaan untuk tujuan yang lebih besar. Mereka
mengklaim berhasil mengalahkan koalisi salibis dan para aparat keamanan yang
disebut sebagai kaum murtad.
Meskipun NIIS dengan
gagah berani menganggap aksi mereka berhasil, sebenarnya rilis mereka yang
mengklaim menewaskan 15 orang dan beberapa orang lainnya terluka tidak sesuai
realitas di lapangan. Pasalnya, seluruh pelaku teroris yang notabene anggota
NIIS tewas. Pihak kepolisian justru berhasil melumpuhkan aksi brutal NIIS
dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Presiden Joko Widodo
langsung mendatangi lokasi kejadian untuk memastikan aksi terorisme bisa
dikendalikan dengan cepat. Presiden mengirim pesan konkret: negara tidak akan
takut dan tidak boleh kalah dari NIIS. Namun, pertanyaannya, apakah kita
benar-benar mampu melumpuhkan NIIS di masa mendatang, mengingat keahlian dan
kecanggihan NIIS dalam melakukan aksi yang sering penuh kejutan?
Pemerintah harus hadir
Belajar dari peristiwa
di negara-negara lain, yang telah menjadi target NIIS, secara umum NIIS
berhasil melakukan aksinya denga rapi dan sulit diduga. NIIS bisa melancarkan
aksi terorisme di mana dan kapan saja, tanpa memedulikan risikonya. Mereka
bisa mengebom masjid, pasar, dan tempat-tempat wisata. Bahkan, mereka bisa
memberondong warga sipil yang tidak berdosa.
Maka, pemerintah harus
selalu waspada dan memantau dengan cermat pergerakan anggota NIIS. Belajar
dari Belgia dan Jerman, mereka justru membatalkan beberapa aktivitas yang
melibatkan perkumpulan massa untuk mengantisipasi dampak terburuk dari
ancaman NIIS. Tewasnya 5 anggota NIIS dalam aksi yang lalu hampir bisa
dipastikan akan memicu balas dendam dan perlawanan, mengingat solidaritas
internal mereka sangat kuat.
Dalam rilis yang
disebarkan NIIS ada dua kelompok yang jadi target sasaran mereka. Pertama,
koalisi salibis. Istilah ini merujuk Amerika Serikat dan sekutunya yang telah
berperang melawan NIIS di Irak dan Suriah. Apalagi Presiden Barack Obama
dalam pidato terakhirnya di Kongres AS menegaskan komitmennya menumpas
jaringan teroris, khususnya NIIS dan Al Qaeda. Rusia juga jadi sasaran
mereka.
Kedua, aparat keamanan
yang dianggap kaum murtad. Pihak Kepolisian Negara RI, khususnya Densus 88,
selama ini dikenal serius memburu jaringan NIIS dan Al Qaeda. Bahkan, tak
sedikit dari mereka yang ditangkap dan tewas dalam baku tembak. Kemampuan
pihak kepolisian dalam mengidentifikasi, mempersempit, dan melumpuhkan
jaringan teroris sudah terbukti. Sebab itu, NIIS punya misi khusus menjadikan
aparat keamanan sebagai sasaran utama mereka.
Meski demikian, bukan
berarti NIIS tak akan menjadikan warga sipil sebagai sasaran. Di banyak
negara, NIIS justru menjadikan warga sipil sebagai sasaran. Apalagi kita
semua tahu, pasca tragedi 14 Januari, publik menjadikan NIIS sebagai musuh
bersama. Muncul gerakan perlawanan dari publik yang cukup besar, bahwa kita
semua menolak takut terhadap NIIS.
Salah satu tujuan
utama NIIS menciptakan ketakukan. Menurut Jessica Stern dan JM Berger dalam ISIS: The State of Terror, NIIS sedang
memainkan perang psikologis. Tujuan mereka menebarkan ketakutan dan
memprovokasi lahirnya kebijakan-kebijakan yang bersifat reaktif.
NIIS sangat lincah
dalam memainkan media sosial sebagai bagian untuk menyebarkan ideologi dan
perekrutan. Di sini, upaya melawan NIIS tak semudah yang dibayangkan. Mereka
bisa jadi dikalahkan oleh aparat keamanan, tetapi bisa dengan mudah memenangi
pertarungan di udara. Bersamaan keberhasilan mereka menyebarkan ketakutan,
mereka terus melakukan proliferasi gagasan melalui media sosial dan rekrutmen
kader baru.
Di sini, pemerintah
harus benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran pemerintah
tidak cukup hanya dengan pendekatan penindakan, seperti yang selama ini
maklum melalui Densus 88. Bahkan, jika tidak hati-hati apa yang sudah
dilakukan Densus 88 bisa mempunyai efek domino yang tidak bagus. NIIS bisa
mengais keuntungan karena dapat mencitrakan dirinya sebagai kelompok yang
ditekan oleh pemerintah.
Umumnya, mereka yang
terlibat di NIIS adalah mereka yang selama ini diabaikan oleh negara. Mereka
korban dari sistem yang tidak adil. Kebetulan ada pihak yang menawarkan
ideologi utopis yang seolah-olah memberikan harapan di alam baka. Tesisnya,
jika gagal di dunia, maka masih ada harapan pasca kematian.
Tak boleh pasif
Di sini upaya
melumpuhkan NIIS harus dipotret secara paripurna. Perlu upaya menyeluruh agar
NIIS tidak tumbuh subur di negeri ini. Saatnya negara menyapa mereka yang
terpinggirkan dengan mempertegas komitmen pemerintah untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan.
Bersamaan dengan itu,
deradikalisasi melalui penyadaran dan pemberdayaan harus terus digalakkan.
Masjid dan majelis taklim adalah forum yang paling tepat untuk menyebarkan
wawasan kebangsaan dan keislaman yang dapat menumbuhkan cita rasa
kemanusiaan.
Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah tidak boleh lagi menjadi kelompok moderat yang pasif. Negara
sedang berada dalam keadaan darurat. Perlu inisiatif yang serius untuk
merangkul mereka yang sudah terjaring dalam NIIS dan kelompok radikal
lainnya.
Program deradikalisasi
melalui masjid dan majelis taklim perlu diprioritaskan karena ide-ide negara
Islam dan kekerasan atas nama agama dengan mudah diceramahkan di
tempat-tempat ibadah. Misalnya, gagasan tentang mencintai Tanah Air sebagai
bagian dari iman dan komitmen para ulama Nusantara dalam membangun negara damai—bukan
negara Islam (darul Islam)— harus senantiasa digelorakan, sehingga ideologi
NIIS tidak punya tempat di hati umat Islam yang masih awam terhadap sejarah
dan paham keagamaan.
Tantangan dalam
beragama saat ini, karena gagasan mengafirkan siapapun yang berbeda
agama/paham mulai tumbuh subur di tengah-tengah kita. NIIS berhasil
menanamkan ideologi tersebut dalam rangka menciptakan gagasan hanya kelompok
NIIS yang paling benar. Pemahaman solider seperti itu lambat laun mulai
berkembang bersamaan dengan hilangnya kearifan dalam beragama.
Selain itu, pemerintah
harus memastikan bahwa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika diajarkan di
seluruh tingkatan pendidikan. Perlu disiapkan kurikulum khusus dengan tenaga
pengajar yang andal. Survei membuktikan bahwa tak sedikit guru yang juga
tergiur ideologi NIIS. Ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah untuk
meneguhkan, guru merupakan jangkar utama untuk mengantarkan gagasan
kebangsaan.
Jika itu semua
dilakukan, kita bisa melumpuhkan NIIS di Bumi Pertiwi. Di masa lalu, para
pendiri bangsa sudah terbukti berhasil melumpuhkan ideologi Negara Islam
Indonesia, dan kita saat ini punya tanggung jawab besar memenangi kembali
Pancasila sebagai common platform seluruh warga negara-bangsa dari ancaman
NIIS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar