Menolong Partai Politik
M Alfan Alfian ;
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas
Nasional, Jakarta
|
KOMPAS, 30 Januari
2016
Ramlan Surbakti dalam
tulisannya, "Parpol, Penggerak Demokrasi", (Kompas, 8/1)
menjabarkan peran penting partai politik dalam demokrasi. Namun, merujuk pada
pengalaman Indonesia, "tak ada parpol yang dikelola secara demokratis
melainkan secara oligarki, bahkan personalistik."
Disebutkan juga,
sumber penerimaan utama parpol adalah kalangan elite internal sehingga kurang
peduli kepada anggota. Selain itu, disiplin parpol sangat rendah. Singkat
kata, parpol di Indonesia umumnya belum mampu berperan sebagai penggerak
demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis.
Guru besar ilmu
politik ini tidak mengada-ada. Hal ini sekaligus jadi peringatan bagi parpol
membenahi diri ke arah ideal yang bermuara pada menggerakkan demokrasi yang
berkualitas di negeri ini. Parpol dalam negara demokrasi bak tulang punggung
penting, tidak saja dalam mewarnai demokrasi, tetapi juga dalam hal
pembangunan politik. Parpol yang kuat dan fungsional tentu mendorong
terwujudnya pembangunan, dan bukan pemerosotan politik. Kalau diperas, inti
pembangunan politik ialah stabilitas yang demokratis dengan dampak
kemaslahatannya.
Parpol-parpol kita
mengalami banyak situasi yang membuatnya terjebak pada wajahnya yang
paradoksal. Hampir semua fungsi yang dilekatkan kepadanya, apakah pendidikan
dan sosialisasi, akomodasi dan agregasi, rekrutmen dan pengaderan anggota,
atau lainnya, nilainya cenderung masih tekor. Meminjam istilah Katz dan Mair
(1993), tiga wajah partai: nilai mereka di ranah parlemen dan pemerintahan,
di akar rumput, dan pengelolaan internal lembaga juga belum memuaskan.
Sering kali parpol
bukan bagian dari solusi kehidupan nyata masyarakat dan bangsa, melainkan
bagian dari kompleksitas masalah. Oligarki lebih banyak menambah buram wajah
parpol kita sebagai entitas-entitas "kepemilikan personal" yang
jauh dari kepentingan publik. Agenda tersembunyi memenangi kepentingan para
aktor oligarki, konsep yang oleh Jeffrey Winters diperbarui dengan
memperkenalkan fenomena pertahanan kekayaan, kini lazim bersifat terbuka.
Pertarungan internal antarelite parpol pun semakin bercorak
pragmatis-transaksional, tak lagi mencerminkan konflik ideologis.
Liberalisasi politik
yang tergilas corak pragmatis-transaksional itulah yang tergambar dalam wajah
kebanyakan parpol kita. Parpol jadi wahana politik yang ironisnya "tanpa
politisi". Kualifikasi internal parpol terdegradasi oleh semata-mata kekuasaan
formal yang dikendalikan aktor oligarki yang aneh.
Institusionalisasi
Perspektif yang banyak
menjadi pisau bedah terkait masalah parpol ialah institusionalisasi. Ia
banyak menyinggung konteks internal parpol, bagaimana ia tumbuh sebagai
lembaga yang kuat. Institusionalisasi merupakan proses menjadikan organisasi
dan prosedurnya memperoleh nilai baku dan stabil. Huntington (2004)
menyatakan pelembagaan politik dapat diukur dari tingkat adaptabilitas,
kompleksitas, otonomi, dan koherensinya. Panebianco (1998) menekankan
pentingnya otonomi dan kesisteman. Tingkat otonomi terkait sejauh mana
organisasi tak bergantung pada kekuatan lingkungannya. Tingkat kesisteman
adalah sejauh mana kesalingtergantungan antarsubsektor organisasi.
Randall dan Svasand
(2002) menambahkan pendapat Kenneth H Janda tentang pentingnya partai yang
tertanam dalam benak publik. Randall dan Svasand memperkenalkan konteks
kesisteman, otonomi, nilai-nilai, dan kultur, citra yang otentik. Di atas itu
semua, ada satu hal lagi yang tak kalah mendasarnya, dan ini penting sekali,
yakni kepemimpinan. Kepemimpinan ialah ujian bagi para elite parpol, apakah
mereka bisa memainkan diri sebagai politisi sejati, andal, ataukah medioker
saja.
Dalam perspektif
institusionalisasi diasumsikan parpol yang kuat kelembagaannya-dan tentu saja
fungsional-akan berdampak positif pada peningkatan kualitas demokrasi. Dalam
hal ini, parpol merupakan bagian dari elemen penting sistem politik secara
keseluruhan. Ia terkait dengan, terutama, sistem kepartaian nasional dan
sistem pemilu. Parpol pastilah dihadapkan pada realitas kompetisi; apabila ia
kuat secara lembaga, pastilah akan terus eksis dalam sistem dan cuaca politik
apa pun.
Bagaimana tingkat
institusionalisasi parpol di Indonesia dewasa ini? Tampaknya rata-rata
tingkat institusionalisasi mereka masih rendah. Nilai parpol yang terlanda
konflik atau perpecahan internal akut tekor. Dalam kemandirian parpol, memang
tidak dapat serta-merta jeroan parpol yang disalahkan, tetapi sistem
kepartaian kita masih belum antisipatif dalam pendanaan. Ini masih jadi
dilema: di satu sisi parpol gagal memobilisasi dana yang cukup dari dalam,
tetapi dana dari negara sangat terbatas. Akibatnya, pemenuhan pendanaan
parpol oleh para elite tidaklah mudah dan berpotensi pada perilaku korupsi
para kader di jabatan publik.
Lantas, bagaimana
menolong parpol? Kita tahu parpol
merupakan pilar penting dari masyarakat politik sebagaimana masyarakat
ekonomi, masyarakat sipil, dan penegakan hukum yang kuat adalah prasyarat
penting dalam konsolidasi demokrasi. Semua pihak perlu bertanggung jawab
memperkuat parpol sebagai penggerak demokrasi. Dari sisi luar parpol,
masyarakat sipil pun perlu menekan dan mendesak para elite parpol agar
menjadi politisi yang benar, bukan memperkuat posisi sebagai oligarki yang
membajak parpol sendiri.
Sesungguhnya yang
paling penting adalah tekanan dari dalam, supaya parpol bergerak ke arah
penguatan institusinya. Jadi, harus ada transformasi dari dalam yang hadir
sebagai respons terhadap tekanan dari luar yang menghendaki agar parpol
terlembaga secara demokratis. Ini bisa terjadi manakala pola pikir yang ada
tak eksklusif. Para elite partai yang inklusif, sebaliknya, sadar bahwa yang
dilakukan parpol tidak dapat dilepaskan dari publik. Parpol bukan milik
elitenya, melainkan milik publik. Pengelola parpol jangan melembagakan sikap
menutup diri.
Regulasi
Dari sisi sistem, pada
akhirnya diperlukan regulasi yang orientasinya pada penguatan institusi
parpol. Sistem kepartaian dan pemilu dewasa ini kelihatannya belum berorientasi
ke sana, sehingga sering parpol bak gelandangan di rumah sendiri dan
mengalami disorientasi. Sistem pemilu proporsional terbuka dengan berdasarkan
suara terbanyak sekadar membuat parpol jadi kendaraan politik yang tak mampu
memastikan para kader terbaiknya terpilih. Mereka kalah dengan yang, meminjam
istilah Nurcholish Madjid, "gizinya" banyak. Bila demikian,
pengaderan seolah-olah tak berguna dan memicu alasan elite parpol enggan
melakukan pengaderan yang baik dalam bingkai penguatan institusi parpol.
Meski demikian, parpol
dewasa ini tak boleh manja dan berharap dimanja negara. Mereka harus lebih
dulu mampu memperbaiki wajahnya, menunjukkan kepada publik perubahan
signifikan dalam menggerakkan demokrasi dengan kian tingginya persentase
identifikasi partai sehingga peningkatan dana oleh negara tidak menuai protes
luas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar