Struktur Bunuh Diri Teroris
Robertus Robet ;
Sosiolog
UNJ;
Peneliti di Centre for Terrorism
and Social Conflict Studies Fakultas Psikologi UI
|
KOMPAS, 25 Januari
2016
Pasca terjadinya
serangan teroris di Jakarta beberapa hari lalu, muncul dua tipe respons
publik di media-media. Yang pertama adalah mobilisasi untuk menertawakan
"kegagalan teroris". Mungkin dengan maksud mau menunjukkan,
Indonesia tidak mengalami cedera apa pun, tetap harmonis dan stabil sehingga
terus kondusif untuk investasi. Yang kedua, beredarnya "teori-teori konspirasi"
yang berisi sinisme dan keraguan yang nihilistik terhadap kebenaran kejadian.
Dua respons ini
menurut saya tidak bermanfaat. Menunjukkan keberanian untuk mementahkan
tujuan terorisme memang bagus dan bermanfaat. Namun, menertawakan dan
meremehkan terorisme kemarin adalah tindakan yang gegabah dan keliru.
Mengapa?
Secara umum, tujuan
dari bom bunuh diri adalah pencapaian sebanyak-banyaknya korban sehingga
dengan itu muncul efek penggentar. Dengan bom bunuh diri, teroris bermaksud
membentuk suatu wilayah mental tertentu di kalangan publik, yakni panik,
ketakutan, dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem serta pranata-pranata
dasar masyarakat. Dilihat dari jumlah korbannya yang lebih sedikit ketimbang
jumlah pelaku yang tewas, serangan teroris di Jalan MH Thamrin memang tidak
menghasilkan suatu efek penggentar yang dramatis -sebagaimana yang terjadi di
Paris tempo lalu. Meskipun demikian, ini tidak berarti terorisme bisa
direlativisir, apalagi diremehkan.
Dengan bunuh diri,
sebenarnya terorisme secara tidak langsung memisahkan diri dengan
tujuan-tujuan kekerasan yang umum yang bisa dilakukan juga oleh negara. Bunuh
diri membuat teroris menjadi "khas" dan "istimewa". Dia
memasuki ekstremitas yang nihilistik karena penciptaan ketakutan dan teror itu
diunjukkan sekaligus melalui pembunuhan atas dirinya sendiri. Sesuatu yang
tidak mungkin dilakukan oleh prajurit terbaik dari suatu rezim politik paling
brutal sekalipun.
Bom bunuh diri
bersifat unik. Bom bunuh diri merupakan pernyataan dedikasi yang total dan
paripurna para pelaku terhadap kelompoknya. Dedikasi paripurna ini
menambahkan tingkat legitimasi pelaku dan organisasinya sehingga, dengan itu,
mereka bisa mengklaim tindakan itu dan menjadikannya contoh atau teladan
untuk orang luar ataupun kelompok teror lain. Dengan bom bunuh diri, suatu
kelompok memang kehilangan anggota, tetapi dengan "teladan"
totalitas di dalamnya, mereka bisa
menggunakan tindakan bunuh diri sebagai cara untuk merekrut dan menambah para
pelaku lain.
Teater politik
Mia Bloom menambahkan,
bom bunuh diri juga memiliki nilai tambah, yakni bahwa dengan mengorbankan diri dalam
tindakan yang dibuatnya sendiri, akan menempatkan lawan dalam aib moral. Ide
di belakang bom bunuh diri adalah si pembunuh, melalui tindakan dramatis,
menghasilkan dirinya sebagai korban paripurna sehingga dengan itu ia akan
dilupakan sebagai pembunuh dan diposisikan sebagai orang dalam kesempurnaan
moral (Mia Bloom dalam Pedahzur 2006,
hal 26). Dengan demikian, dalam setiap bom bunuh diri selalu ada
pembalikan moral, di mana pelaku dalam tindakan ekstrem paripurna yang
membunuh dirinya sendiri berubah dari penjahat menjadi martir- setidaknya
bagi kelompok dan simpatisannya. Bloom pada akhirnya menekankan bahwa bunuh
diri teroris pada dasarnya adalah sebuah bentuk teater politik, di mana
reaksi dari penonton merupakan hal yang sama pentingnya dengan tindakan bunuh
diri itu sendiri.
Dalam meneliti lebih
jauh motif-motif dalam bom bunuh diri, Bloom menemukan alasan-alasan teroris
yang sifatnya praktis, yakni motif individual, motif organisasional, dan
motif persaingan antar- organisasi teroris. Bloom sama seperti kebanyakan
teoretisi lain memandang terorisme sebagai perwujudan tindakan dengan motif
politik yang negatif, yakni kekerasan yang ekstrem. Motif politik dianggap
sebagai satu-satunya hal yang mendorong atau membentuk tindakan.
Merumuskan suatu
tipologi umum mengenai bunuh diri dalam terorisme merupakan suatu hal yang
tidak mungkin. Meski demikian, Ellen Townsend, dengan merujuk temuan dari
berbagai peneliti, berpendapat bahwa dalam kasus bom bunuh diri, peran
penggunaan doktrin merupakan hal yang sentral (Ellen Townsend 2007, hal 7).
Pandangan Townsend ini kita temukan kebenarannya apabila kita
bandingkan dengan apa yang dikatakan oleh terhukum kasus teroris, Imam
Samudra, bahwa: Sungguh,
"membinasakan" (baca: mengorbankan) diri demi kemuliaan dienullah, dan demi melemahkan orang
kafir, adalah satu prestasi yang cemerlang. Ia memiliki strata yang agung nan
mulia. (Imam Samudra 2004, hal 185).
Pandangan Imam Samudra
ini menegaskan bahwa salah satu unsur penting dalam tindakan bom bunuh diri
pertama- tama adalah adanya doktrin mengenai "kemuliaan"
tindakan. Kemuliaan tindakan itu
sendiri bersifat abstrak dan hanya bisa dicapai apabila seluruh tindakan itu
paripurna. Dengan itu ada dimensi pelampauan dalam setiap tindakan bom bunuh
diri. Dengan tindakan itu ia berharap ia akan diintegrasikan ke dalam suatu
kesatuan yang lebih besar yang belum ia saksikan, tetapi cukup ia yakini.
Dari sini jelas, ada
sesuatu yang lebih abstrak dan subtil dari sekadar motif dan politik. Bunuh
diri dilakukan karena tindakan itu sendiri telah terlebih dulu dihapus
sebagai bunuh diri dan dimaknai sebagai jalan menuju kesempurnaan. Tindakan
itu telah dideterminasi dengan suatu sistem pemaknaan yang baku dan tertutup.
Akibatnya, tindakan pada dasarnya hanya artikulasi dari satu sistem keyakinan
politik yang subtil. Tanpa doktrin, tanpa ketersediaan sistem abstrak yang
memberikan makna terhadap tindakan itu, tak ada tindakan bunuh diri. Artinya,
setiap bom bunuh diri adalah tindakan fondasional. Ia perlu rujukan sebelum
diaktualisasikan ke dalam tindakan.
Dengan demikian, dalam setiap tindakan bom bunuh diri bukan
motif pribadi, kelompok, atau tujuan politik praktisnya yang pertama-tama
dituju, melainkan pemenuhan diri dalam tindakan dan doktrin. Ada dimensi
teleologis yang terbentuk secara ringkas di mana di dalam tindakan itu si
pelaku merasa bukan hanya melaksanakan tugas secara paripurna, lebih jauh
dari itu ia sendiri mencapai situasi yang sempurna dalam tindakannya.
Namun, meski pada
tahap akhir keputusan individual itu menentukan, tidak dapat dikatakan bahwa
pelaku bom bunuh diri dilakukan oleh individu yang terisolasi -sehingga
dengan demikian seakan-akan tindakan itu pada akhirnya merupakan keputusan
eksistensial. Sejumlah penelitian yang dikutip oleh Townsend menemukan fakta
bahwa keputusan untuk melakukan bom bunuh diri tidak tiba sebagai hasil keputusan yang terisolasi, apalagi otonom.
Para peneliti menemukan bahwa pelaku bom bunuh diri biasanya telah disiapkan,
dilatih.
Jangan remehkan
Townsend mengatakan: "No instances of religious or
political suicide terrorism stem from lone actions of cowering or unstable
bombers. It seems that the decision to send out a suicide terrorist is almost
always made by others" (Townsend, hal 16). Tidak ada bunuh diri
teroristik yang digerakkan oleh tindakan perseorangan, keputusan untuk
mengirim para peledak bom bunuh diri selalu dibuat orang berbeda.
Yang juga unik pada
kasus-kasus bom bunuh diri adalah teroris berhenti pada momen atau kejadian
itu, di mana ia mati bersama para korbannya. Namun, justru dengan kematiannya
itu, tujuan-tujuannya yang sejati justru baru dimulai. Di sini, bom bunuh
diri bukanlah suatu keputusan eksistensial, melainkan hasil dari determinasi
organisasional.
Dengan memahami
struktur dan tujuan-tujuan bom bunuh diri ini, jelaslah bahwa barangkali
mereka gagal membentuk efek ketakutan massal. Meski demikian, sebagai
tindakan teroristik, tindakan itu telah dipenuhi. Artinya, sejauh bunuh diri
terjadi sebagai bunuh diri, maka tak ada bom bunuh diri yang sepenuhnya
gagal. Yang kedua, sebagaimana dikatakan Bloom, bom bunuh diri dimaksudkan
sebagai suatu teater yang terorganisasi. Kegagalan pada satu
"pertunjukan" tidak berarti telah memusnahkan organisasi di
belakangnya.
Artinya, di masa depan
potensi ancaman yang sama masih terus terbuka di depan kita. Keberanian
sipil, dan segala kampanye mengenai daya tahan terhadap teror, jangan sampai
membuat kita gegabah hingga meremehkan terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar