Kolonialisasi Maritim Ancam Kesejahteraan
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 27 Januari
2016
Kolonialisasi maritim
di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS) harus dipahami sebagai warisan
strategi dominasi sejak kejayaan kekuatan laut era Dinasti Ming (1368-1644).
Strategi ini diwarnai ekspedisi kapal perang pimpinan Laksamana Zheng He
(1371-1435) yang berlayar di kawasan LTS sampai ke Benua Afrika antara tahun
1405 dan 1433.
Sejak awal, strategi
dominasi RRT mengikuti ambisi para kaisar Dinasti Ming yang memiliki visi
untuk menjadikan kekaisaran Tiongkok kaya dan kuat harus menguasai lautan
(termasuk LTS). Dalam pandangan ini, mereka menyadari walaupun kekayaan itu
datang dari lautan, ancaman bagi daratan Tiongkok juga akan berasal dari
lautan.
Kolom ini perlu
menegaskan kembali kolonialisasi maritim (yang mulai menjadi bagian dari
pandangan negara yang memiliki klaim di LTS) merupakan ancaman serius bagi
stabilitas dan perdamaian kawasan Asia Tenggara ketika dominasi negara besar,
seperti Tiongkok, mulai menjabarkan secara bersamaan provokasi politik dan
militer atas nama hak sejarah mempertahankan kedaulatan wilayah. Beijing
memiliki reservasi atas pandangan kolonialisasi maritim ini (Kompas, 12/1),
dan kita perlu berbagi pandangan tentang perkembangan LTS yang memang sudah
sangat mengkhawatirkan menuju ke sebuah era diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy).
Ada beberapa faktor
menjelaskan kolonialisasi maritim ini. Pertama, menjamin kepentingan nasional
RRT, pembangunan ”pulau palsu” di beberapa batu karang dan beting wilayah
Kepulauan Spratly. Ini menunjukkan keinginan dominasi regional sekaligus
membangun kejayaan ”Pax Sinica” setara ”Pax Ming” pada masa Dinasti Ming.
Upaya ini menjadi bagian penting ”kebangkitan Tiongkok” membentuk apa yang
digagas Presiden Xi Jinping sebagai Zhongguo Meng (Mimpi Tiongkok).
Kedua, kolonialisasi
maritim dilakukan mengikuti pola dan cara kolonialisasi yang dilakukan
negara-negara Eropa pada abad ke-16. Hal ini tanpa melakukan dominasi
regional dan mengarahkan kepentingannya atas penguasaan pelabuhan-pelabuhan
di Asia Tenggara ataupun alur laut komunikasi, khususnya jalur perkapalan.
Ini yang menjelaskan pendaratan beberapa pesawat terbang sipil di ”pulau
palsu” sebagai bentuk kendali ruang politik dan ekonomi mempertahankan
kehidupan ekonomi, menguasai titik sentra jaringan perkapalan.
Ketiga, kolonialisasi
maritim menjadi sesuai mengikuti ”satu sabuk satu jalan” (OBOR). Saat gagasan
investasi pembangunan infrastruktur di banyak negara Asia, condong membangun
jaringan kereta api cepat melibatkan perusahaan negara China Railway Investment Corporation (CRIC) sebagai daya tarik
kerja sama. Ini menjelaskan, misalnya, salah satu anak perusahaan induk CRIC
membeli saham 14 persen Vallianz Holdings Limited, perusahaan Singapura yang
bergerak di bidang offshore supporting vessels (OSV) yang juga memiliki
perusahaan galangan kapal di Pulau Batam.
Dikhawatirkan,
kolonialisasi maritim dengan cara menggunakan kapal-kapal penjaga pantai
(coast guard) dipersenjatai beroperasi di LTS atas nama menegakkan kedaulatan
menabrak kapal-kapal nelayan di wilayah LTS (juga diikuti oleh Taiwan)
menjadi lepas kendali. Insiden ini bisa menimbulkan kesalahpahaman yang
mengarah pada insiden yang tidak perlu, menuju ke konflik terbuka antarnegara
di pesisir LTS.
Dalam konteks
kolonialisasi maritim, diperlukan kajian ulang komprehensif semua negara
berkepentingan di LTS, termasuk RRT, tanpa menafikan hak kedaulatan, seperti
diatur oleh Hukum Laut PBB (UNCLOS) Pasal 298 tentang tata cara penyelesaian
konflik, seperti hak sejarah. Tindakan unilateral dalam bentuk apa pun di LTS
oleh negara besar akan selamanya membangun kecurigaan yang tidak kondusif
bagi pembangunan dan kesejahteraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar