Sekali Lagi Basuki...
Budiarto Shambazy ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 30 Januari
2016
Dibolehkannya calon
independen atau calon perseorangan mengikuti pemilihan kepala daerah diawali
oleh Lalu Ranggalawe. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lombok Tengah,
Nusa Tenggara Barat, ini bermaksud mengikuti Pilgub NTB.
Namun, partai dia,
Partai Bintang Reformasi (PBR), menolak mencalonkan Ranggalawe. Dia tak
terima perlakuan itu, lalu ke Jakarta mengajukan uji materi ke Mahkamah
Konstitusi.
MK akhirnya menerima
pengajuan uji materi ini. Landmark
decision itu dikeluarkan melalui keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 yang
membolehkan calon perseorangan ikut pilkada.
Kutipan Putusan MK
memuat naskah "Pendirian Mahkamah" 24 butir yang memperkuat dalil
bahwa Ranggalawe boleh ikut pilkada. Dari 24 butir itu, 11 butir menyebut
"UU Pemerintahan Aceh" sebagai rujukan.
Mengapa Aceh?
Pasalnya, pemilihan gubernur (pilgub) di Aceh dimenangi calon perseorangan
Irwandi Yusuf.
Pilgub di Aceh
"proyek percontohan" sukses yang patut ditiru provinsi-provinsi
lainnya. Ibaratnya, UU Pemerintahan Aceh adalah asam di gunung, sedangkan uji
materi Ranggalawe garam di laut, mereka bersua di kuali MK di Ibu Kota.
Namun, sejak keputusan
MK tersebut, cuma segelintir dari ratusan calon perseorangan yang mengikuti
pilkada di berbagai tingkatan. Jumlah yang mencalonkan dan juga yang akhirnya
menang, hanya dalam hitungan jari saja.
Pilkada DKI
Februari tahun depan,
Pilkada DKI Jakarta akan digelar. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama,
menurut berbagai survei, saat ini merupakan calon kuat.
Mungkin lawan Basuki
yang paling serius akan datang dari Partai Gerindra, partai yang mencalonkan
Basuki sebagai cagub mendampingi Joko Widodo (PDI-P) pada tahun 2012.
Gerindra sudah menjaring delapan cagub yang dalam beberapa bulan ke depan
akan dikerucutkan menjadi tiga, kemudian satu cagub yang dianggap terbaik.
Gerindra berada di
peringkat kedua merebut 92 dari 264 pilkada 9 Desember 2015, sebuah prestasi
fenomenal. Konsistensi Gerindra di Koalisi Merah Putih bisa menjadi
keuntungan komparatif.
Lebih penting lagi,
Gerindra berpengalaman menyiapkan sekaligus memenangi kursi Jokowi-Basuki di
Jakarta. Dalam perjalanan, setelah Basuki keluar dari Gerindra, partai yang
dipimpin Prabowo Subianto itu tak henti-hentinya menyuarakan kritik vokal
lewat DPRD-DKI.
Basuki sendiri
memiliki keleluasaan untuk mencalonkan diri sebagai calon perseorangan atau
melalui partai. Dan, partai yang paling mungkin mengusung Basuki sampai saat
ini adalah PDI-P.
Untuk memudahkan,
Basuki bisa saja secara resmi menjadi anggota PDI-P. Jika ini terjadi, PDI-P
akan jadi partai ketiga yang bagi Basuki setelah Partai Golkar dan Partai
Gerindra.
Apakah pendukung
Basuki, terutama Teman Ahok yang telah mengumpulkan sekitar 630.000 fotokopi
KTP agar memenuhi syarat dia sebagai calon perseorangan, akan keberatan?
Tampaknya belum tentu demikian.
Sekali lagi, Basuki
memiliki keleluasaan memilih mana yang terbaik bagi dirinya. Paling penting,
Basuki sampai saat ini masih menjadi kandidat terpopuler.
Di mata sebagian
warga, Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki terbukti jadi lebih baik.
Penyebabnya, pertama, Basuki selalu berbicara jujur dan, kedua, mengerjakan
apa yang mesti dikerjakan oleh seorang Gubernur Ibu Kota.
Gaya memimpin seperti
itulah yang kita saksikan saat Basuki berbicara kepada media melalui door-stop interview hampir setiap hari
saat tiba di teras Kantor Gubernur.
Mungkin cara berbicara
Basuki yang terkesan kasar menjadi persoalan bagi sebagian kalangan. Namun,
belakangan ini kesan itu makin pudar.
Juga telah terbukti
hal-hal yang bersifat primordial yang melekat pada Basuki tidak lagi relevan
bagi para pemilih di Ibu Kota. Sudah sia-sia bagi para pesaing Basuki untuk
memanipulasi primordialisme dalam kampanye pilgub kelak.
Terakhir, warga
Jakarta rupanya masih percaya pada "fenomena Jokowi-Ahok" pada
Pilgub DKI 2012. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar