Laporan
Diskusi Panel Kompas-LMI
“Menyuburkan
Kembali Rahim-rahim Kepemimpinan Nasional”
Rahim-rahim Kepemimpinan
|
KOMPAS,
22 Januari 2016
Yang terjadi antara
Orde Reformasi dan orde-orde sebelumnya bukanlah retakan perubahan, tetapi
justru sebaliknya, sebuah kontinuitas. Tahun 1998 tidak menandai suatu
babakan baru tatanan politik yang lebih baik, tetapi menandai berlanjutnya
mentalitas, budaya, dan sistem politik lama yang dikemas dengan retorika
baru: reformasi.
Inilah salah satu
kesimpulan dalam diskusi bertajuk ”Menyuburkan Kembali Rahim Kepemimpinan
Nasional” yang diselenggarakan harian Kompas dan Lingkar Muda Indonesia, 15
Desember lalu.
Secara faktual,
struktur kekuasaan politik pasca 1998 masih diisi ”orang-orang” lama. Tak ada
perubahan berarti dalam motif-motif yang mendasari orang-orang untuk terjun
berpolitik, demikian juga perilaku mereka ketika menjadi bagian dari
kekuasaan. Tidak ada koreksi yang sungguh-sungguh terhadap sistem politik
yang lama. Tidak ada hukuman apa-apa terhadap mereka yang telah
menyalahgunakan kekuasaan, pun tidak ada keadilan bagi mereka yang menjadi
korban.
Menurut Mochtar
Pabottingi, politik Indonesia berjalan dari satu fait accompli ke fait
accompli lain para pemimpin.Bangsa Indonesia harus menerima bahwa politik
yang luhur hanya ada dalam konstitusi dan buku pelajaran sekolah. Sementara
dalam kenyataan, politik tidak pernah lepas dari perkara siasat untuk
memperdaya orang lain, berdusta, dan bertindak durjana. Demokrasi, keadilan,
kerakyatan, dan pengabdian hampir selalu berhenti sebagai semata-mata jargon
elite politik untuk menelikung kehendak rakyat.
Orde Lama, Orde Baru,
dan Orde Reformasi adalah sebuah kontinuitas dalam konteks ini. Setelah
Soeharto lengser tahun 1998, para tokoh reformasi mencoba meniti jalan menuju
altar kekuasaan. Ironisnya, mereka kemudian juga tak bisa lepas dari
lingkaran kedurjanaan yang sama:nepotisme, kolusi, dan korupsi.
Pailit kepemimpinan
Rangkaian fait
accompli elite politik ini telah membawa bangsa Indonesia ke ambang pailit
kepemimpinan nasional dan nihilisme moral. Kerancuan antara yang benar dan
yang salah terjadi pada taraf yang tak terperikan. Jika menyimak perilaku
elite politik dan sikap permisif yang ditunjukkan masyarakat, sulit
menentukan standar moralmana yang mendasari kehidupan bersama. Rangkaian fait accompli itu tidak hanya
menyebarkan irasionalitas, kerancuan berpikir, dan kebingungan menilai,
tetapi juga menyebabkan semua ikhtiar untuk menyelesaikan permasalahan
bangsa, termasuk krisis kepemimpinan, praktis terbentur pada simalakama.
Berbicara kepemimpinan
nasional, mau tidak mau kita harus membahas posisipartai politik. Partai
politik adalah rahim kepemimpinan nasional yang utama. Namun, hari ini,
partai politik juga menjadi penyumbang terbesar bagi krisis kepemimpinan yang
terjadi. Partai politik selalu menjadi tertuduh utama dari berbagai
kedurjanaan politik: penyalahgunaan kekuasaan, pengkhianatan terhadap rakyat,
pelanggaran konstitusi, politik tunaetika, dan seterusnya.
Pilkada adalah sarana
untuk melahirkan pemimpin yang berkarakter dan menjanjikan perubahan.
Presiden Joko Widodo adalah representasi utamanya. Akan tetapi, pilkada juga
sebuah simalakama. Proses pemenangan pilkada yang mahal dan transaksional
berdampak buruk pada tersanderanya pengelolaan sumber-sumber daya daerah oleh
para penyandang dana dan simpatisan.
Pers yang bebas juga
sebuah rahim kepemimpinan. Pers memfasilitasi para intelektual, aktivis, dan
pengamat untuk mengaktualisasikan gagasan, serta melahirkan tokoh-tokoh
nasional berlatar belakang jurnalis sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, dan Tan
Malaka. Namun, kebebasan pers juga diterjemahkan sebagai kebebasan untuk
memiliki media dan menggunakannya demi tujuan-tujuan politik. Pemilik media
yang berpolitik adalah bagian dari persoalan dalam politik Indonesia hari
ini.
Berpolitik tanpa etika
Dunia bisnis pada
awalnya juga memberikan harapan bagi kepemimpinan nasional. Pengusaha menjadi
politisi menjadi pemandangan biasa dewasa ini. Namun, Fachry Ali mengingatkan
kedudukan dunia bisnis sebagai rahim kepemimpinan tidak dilandasi oleh
alasan-alasan etis, tetapi oleh alasan-alasan partikular-instrumentalistik.
Di era Orde Baru, para pengusaha bersedia menjadi penyokong partai politik
ciptaan negara dengan imbalan konsesi dan proteksi bisnis. Sebagian besar
pengusaha jenisinilah yang bertahan (survive)
hingga kini.
Ketika rezim Orde Baru
runtuh pada 1998, mereka tak merasa kehilangan induk, tetapi justru merasa
merdeka. Terbebas dari ikatan pada patron politik, hampir secara kolektif
mereka kemudian bermigrasi ke dunia politik. Selain membuat kontestasi
politik menjadi semakin mahal, migrasi ini juga menguatkan kecenderungan
berpolitik tanpa landasan etis. Keriuhan politik dalam Sidang Mahkamah
Kehormatan Dewan yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha Riza
Chalid merefleksikan watak tidak etis rahim dunia bisnis itu. Kasus ini
menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang tidak didukung etika bisnis dan
politik yang kokoh selalu berpotensi melahirkan kerusakan sistem berbangsa dan
bernegara.
Organisasi masyarakat
juga tak luput dari jerat krisis kepemimpinan. Menurut Abd A’la, tren
pragmatisme politik juga melanda organisasi seperti NU dan Muhammadiyah.
Muktamar NU di Jombang, misalnya, tak lepas dari masalah politik uang. Jika demikian
keadaan umum rahim-rahim kepemimpinan nasional, adakah perkembangan yang
dapat membuat kita optimistis menatap masa depan?
Satu hal yang cukup
melegakan adalah peran perguruan tinggi. Menurut Ninok Leksono, perguruan
tinggi tetap bisa diharapkan sebagai tempat menempa calon pemimpin. Perguruan
tinggi tetap berproses melahirkan generasi muda yang mahir dalam kemampuan
teknis-praktis sekaligus punya sensibilitas politis tinggi.
Sedikit kelegaan juga
bisa kita rasakan jika memperhatikan fenomena demokratisasi digital. Dalam
diskursus tentang kepemimpinan, demokratisasi digital sekurang-kurangnya
memiliki dua peranan. Pertama, membuka ruang diskusi dan advokasi politik
yang signifikansinya semakin lama semakin tak terbantahkan. Di era media
sosial, semakin kecil peluang bagi para pemimpin untuk menyembunyikan
kesalahan, serta untuk acuh tak acuh terhadap kritik dan kemarahan publik. Demokratisasi
digital memberikan daya tekan yang kuat bagi upaya untuk mengoreksi
anomali-anomali kepemimpinan politik yang terjadi.
Kedua, demokratisasi
digital hadir bersamaan dengan lahirnya generasi digital. Generasi yang fasih
dengan teknologi informasi, sangat ekspresif menyatakan pendapat dan kritis
terhadap keadaan. Mereka memiliki mimpi tersendiri tentang kepemimpinan.
Seperti dikatakan Ninok Leksono, idola mereka bukan politisi atau pengusaha
yang menjadi politisi. Mereka lebih terinspirasi figur pengusaha yang mandiri
dan kreatif. Meminjam istilah Tamrin Tomagola,pengusaha yang ”mekar karena
memar”, merangkak dari bawah, tidak tergantung kepada pemerintah.
Generasi digital juga
terinspirasi oleh tokoh dunia kreatif, seperti Bill Gates, Steve Jobs, Larry
Page, atau Sergey Brin. Yang mereka pupuk setiap saat adalah sensibilitas entrepreneurship atau technopreneurship. Saat ini, saban
hari lahir ribuan usaha rintisan (startup)
yang dilakukan anak-anak muda yang bermimpi suatu saat ingin menjadi Bill
Gates atau Larry Page.Bukan berarti dengan demikian mereka hanya mengejar
karier bisnis. Seperti dicontohkan Margareta Astaman, generasi digital juga
memiliki kepekaan sosial. Dengan caranya sendiri, mereka melakukan pengabdian
masyarakat: membantu pengusaha kecil atau petani memasarkan produk secara
online, menyebarkan virus-virus kreativitas kepada khalayak luas, terlibat
dalam berbagai gerakan sosial-politik petisi online.
Demokratisasi digital
tak pelak lagi adalah sebuah lokus kepemimpinan yang layak diperhitungkan.
Sebuah alternatif yang menjanjikan di tengah-tengah kejumudan, kemandekan,
bahkan pembusukan yang terjadi pada lokus kepemimpinan nasional lainnya
sebagaimana telah dibahas di atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar