Akta Kelahiran dan BPJS
Prasetyadji ; Peneliti
Senior Institut Kewarganegaraan
Indonesia
|
KOMPAS, 29 Januari
2016
Sudah tiga bulan ini
Maria Virginia tergolek di boks bayi. Napasnya tersengal-sengal, sesekali ia
menangis karena kehausan dan mungkin merasakan kesakitan yang luar biasa.
Bayi merah ini mempunyai kelainan jantung dan tidak memiliki lubang anus
sejak lahir.
Bayi yang dibuang
orangtuanya ini kondisinya sungguh memprihatinkan saat ditemukan, badannya
dikerubungi semut dan lalat, apalagi kondisi tubuhnya membutuhkan perawatan
ekstra.
Maria Virginia
ditemukan Nanik Purwoko di pinggir rel kereta api di daerah Kebayoran Lama
tiga bulan lalu. Saat ini ia diasuh di Panti Asuhan Abhimata, Tangerang
Selatan, menunggu akta kelahiran untuk mengurus kartu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Untuk pengobatan di
rumah sakit, operasi jantung, dan sekaligus membuat lubang anus, dibutuhkan
biaya sekitar Rp 350 juta. Sungguh tidak sedikit.
Mengingat biaya
operasi yang begitu besar, saat ini tengah diupayakan membuat kartu BPJS.
Namun, persyaratan membuat kartu BPJS adalah wajib melampirkan akta
kelahiran. Padahal, bagi anak-anak yang tidak diketahui asal-usul atau
keberadaan orangtuanya, untuk membuatkan akta kelahirannya harus dilengkapi
berita acara pemeriksaan (BAP) dari kepolisian. Yang menjadi permasalahan
adalah sejak Republik Indonesia merdeka sampai hari ini belum pernah ada
format BAP dari kepolisian, sementara format BAP yang ada merupakan turunan
dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Diakui Menteri Dalam
Negeri bahwa sampai dengan hari ini masih ada 70 persendari 250 juta
masyarakat Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran. Apa yang dialami
Maria Virginia adalah gambaran permasalahan anak-anak yang tidak diketahui
asal usul dan keberadaan orangtuanya di seluruh panti asuhan dan rumah
singgah di seluruh Indonesia.
Mirisnya, para pejabat
di kantor Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) tidak berani mengambil
langkah diskresi untuk menerbitkan akta kelahiran yang seharusnya menjadi hak
anak-anak yang lemah, miskin, dan terpinggirkan ini.
Timbul pertanyaan,
sejauh mana tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan hak anak-anak ini?
Apa upaya pemerintah dalam pemenuhan hak anak-anak ini sebagai wujud dari
pelaksanaan UUD 1945 tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar? Sungguh
sedih dan memilukan betul nasib anak-anak yatim-piatu ini.
Terobosan
Maria, dan Maria-Maria
lain di panti-panti asuhan di seluruh Indonesia tentu memiliki mimpi agar
dapat sekolah untuk menggapai asa menjadi orang pintar dan memperbaiki nasib.
Mereka juga bermimpi mendapatkan jaminan kesehatan melalui BPJS.
Saat ini, mereka
menjadi korban peraturan perundangan yang dibuat pemerintah dan para anggota
DPR. Bahkan, putusan Mahkamah Konstitusi No 18/PUU-XI/2013 secara tegas
menyatakan bahwa ”seseorang yang tidak
memiliki akta kelahiran, secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh
negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat
namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya serta tidak
terlindungi keberadaannya”.
Kenyataan ini
menunjukkan bahwa dari sisi peraturan perundangan, mereka dianggap ”bukan
manusia” dan dalam pergaulan internasional, negara dapat dianggap abai
terhadap hak-hak anak. Oleh karena itu, Indonesia belum dapat dikategorikan
sebagai welfare state (negara
kesejahteraan).
Ada angin segar dari
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Prof
Dr Zudan Arif Fakrulloh ketika berdiskusi intensif dengan Institut
Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Kamis, 7 Januari 2016, yang menegaskan bahwa
sesungguhnya anak-anak ini warga negara Indonesia, sebagaimana Pasal 4 huruf
k UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI, yang menyatakan bahwa ”anak yang
lahir di wilayah negara RI apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya adalah warga negara
Indonesia”. Artinya, Maria Virginia adalah warga Negara Indonesia, dan sesuai
UU 23/2002 harus segera dibuatkan akta kelahirannya dengan tidak dikenai
biaya.
Format khusus
Langkah terobosan yang
akan dilakukan profesor muda ini adalah menerbitkan format khusus akta
kelahiran bagi anak-anak yang tidak diketahui asal usul dan keberadaan
orangtuanya dengan mempertimbangkan masalah kejiwaan dan kemanusiaan agar
anak-anak ini nantinya (setelah dewasa) tidak minder terhadap statusnya.
Dirjen Dukcapil juga
menyederhanakan persyaratan administrasi, yaitu khusus anak panti cukup
melampirkan surat pernyataan dari kepala panti sebagai penanggung jawab.
Maria dan
teman-temannya yang bernasib sama terus berharap masih ada kepastian hukum di
republik ini. Anak-anak yang tidak berdosa ini menyimpan satu pengharapan,
yaitu pemerintah mau menyentuh mereka dengan langkah-langkah diskresi agar
mereka dapat memiliki akta kelahiran, mengakses pendidikan, mengakses jaminan
kesehatan, dan mengakses hak-haknya sebagai warga negara Republik Indonesia.
Semoga negara tidak
membunuh harapan-harapanmereka, tetapi justru negara segera hadir dan siap
menyelamatkan masa depan mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar