Senin, 25 Januari 2016

Karut-Marut Pendidikan Sejarah

Karut-Marut Pendidikan Sejarah

Asvi Warman Adam  ;  Sejarawan LIPI
                                               KORAN TEMPO, 22 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Revisi terhadap kurikulum pendidikan akan diselesaikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Februari 2016. Namun terdapat masalah yang kompleks di sana, khususnya dalam pendidikan sejarah. Persoalan itu menyangkut buku pedoman yang tidak tersedia, buku teks yang tidak dapat diandalkan, dan kurikulum yang semrawut.

Sejak 1975, buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) menjadi buku pedoman pengajaran sejarah di sekolah. Jilid terakhir, yang membahas peralihan kekuasaan 1965/1966, paling banyak dikritik. Dimensi politisnya sangat kental, yakni memberi legitimasi kepada rezim Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto dan mereduksi peran Sukarno dalam sejarah Indonesia.

Pada awal reformasi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono menganggap buku SNI tidak layak lagi dijadikan buku pegangan, sehingga perlu disusun buku pengganti. Setelah proses yang panjang selama satu dekade, pada Desember 2012 terbitlah buku Indonesia dalam Arus Sejarah dalam 8 jilid. Buku ini masih bisa menjadi rujukan, terutama jilid-jilid awalnya. Yang tetap menjadi persoalan adalah jilid terakhir (7 dan 8), yang mengandung peristiwa sejarah kontroversial. Namun persoalan utamanya adalah buku itu dijual dengan harga Rp 6 juta, dan hak ciptanya sudah diserahkan kepada penerbit swasta sehingga tidak bisa diunduh secara gratis.

Setelah melakukan sedikit perbaikan pada 1999 (revisi), kurikulum 1994, yang menekankan substansi mata pelajaran, bergeser ke kompetensi siswa pada 2004. Tidak ada alasan yang kuat dalam penggantian kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada 2004 menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada 2006, kecuali memberi kesempatan dari daerah sampai sekolah untuk berkreasi melengkapi kurikulum tersebut. Faktanya, hal ini juga tidak berjalan lancar.

Dalam kurikulum 2013, terlihat bahwa struktur pendidikan sejak SD sampai SMA dimulai dengan nilai agama, dan semuanya dikaitkan dengan agama. Kompetensi inti dari kelas I SD sampai kelas XII SMA adalah sama, yakni "menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya". Kompetensi inti adalah bentuk kualitas yang dimiliki oleh mereka yang telah menyelesaikan satuan/jenjang pendidikan tertentu yang mencakup pengetahuan, sikap, serta keterampilan (kognitif, afektif, dan psikomotorik). Kompetensi dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas yang diturunkan dari Kompetensi Inti. Tidak ada masalah bila kompetensi "menghayati dan mengamalkan ajaran agama" itu diberlakukan khusus untuk mata pelajaran agama. Tapi tampak dipaksakan bahwa kualitas yang dihasilkan setelah belajar aljabar, ilmu pengetahuan alam, bahasa Indonesia, geografi, dan lain-lain adalah kesalehan siswa dalam mengamalkan ajaran agamanya.

Kompetensi dasar SMA kelas X untuk mata pelajaran bahasa Indonesia adalah "mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sesuai dengan kaidah dan konteks untuk mempersatukan bangsa". Memang bahasa Indonesia adalah alat komunikasi yang mempersatukan bangsa, tapi apa perlu ditekankan bahwa bahasa Indonesia itu merupakan anugerah Tuhan? Dalam kompetensi dasar sejarah Indonesia SMA kelas X dicantumkan "menghayati keteladanan para pemimpin dalam mengamalkan ajaran agamanya". Pelajaran sejarah jelas menguraikan perjuangan para pemimpin bangsa dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Hal ini tentu patut diteladani, tapi perjuangan tersebut tidak otomatis semuanya berkaitan dengan ajaran agama.

Lantas, apa yang akan dihasilkan dari mata pelajaran agama Islam dan budi pekerti SMA kelas X? Dua di antaranya adalah "meyakini kebenaran hukum Islam" dan "berpakaian sesuai dengan ketentuan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari". Menteri Pendidikan M. Nuh mendapat gagasan tentang konsep kurikulum 2013 saat menunaikan ibadah umrah pada 2006. Konsep itu adalah tazkiyah (attitude), tilawah (pengetahuan), dan ta'alim (keterampilan). Sebetulnya konsep kognitif, afektif, dan psikomotorik sudah dikenal luas dalam bidang pendidikan walaupun tidak menggunakan istilah berbahasa Arab.

Untuk keperluan pengajaran sejarah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyediakan berbagai buku teks yang dapat diunduh secara gratis, termasuk buku teks untuk pengajaran sejarah tahun 2009. Pada tingkat SMP, pengajaran sejarah termasuk IPS (ilmu pendidikan sosial). Buku-buku teks tersebut ditulis, antara lain, oleh Suprihartoyo dkk, Agung Feryanto dkk, dan Endar Wismulyani dkk. Buku-buku tersebut memiliki banyak kekurangan, seperti masih menggunakan istilah G-30-S/PKI, padahal gerakan tersebut menyebut dirinya Gerakan 30 September. Presiden Soekarno didiskreditkan dalam tragedi nasional 1965: "Sungguh mahal harga yang harus dibayar oleh bangsa ini akibat inovasi politik Bung Karno". Pada buku teks yang lain ditulis: "Segala bentuk pertentangan antara angkatan darat dengan PKI juga diperburuk oleh ketidaktegasan presiden dalam menengahi masalah tersebut. Ditambah, kondisi kesehatan presiden ketika itu mulai memburuk dan sering sakit-sakitan, sehingga presiden kurang begitu memahami apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam dunia politik Indonesia."

Sementara itu, PRRI/Permesta tidak lagi dikategorikan pemberontakan, melainkan "pergolakan sosial politik". Penyebabnya: "kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan prajurit di daerah". Hal ini tampaknya sejalan dengan diangkatnya M. Natsir dan Sjafruddin Prawira yang terlibat PRRI sebagai pahlawan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar