Karut-Marut Pendidikan Sejarah
Asvi Warman Adam ;
Sejarawan
LIPI
|
KORAN TEMPO, 22 Januari
2016
Revisi terhadap
kurikulum pendidikan akan diselesaikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
pada Februari 2016. Namun terdapat masalah yang kompleks di sana, khususnya
dalam pendidikan sejarah. Persoalan itu menyangkut buku pedoman yang tidak
tersedia, buku teks yang tidak dapat diandalkan, dan kurikulum yang semrawut.
Sejak 1975, buku
Sejarah Nasional Indonesia (SNI) menjadi buku pedoman pengajaran sejarah di
sekolah. Jilid terakhir, yang membahas peralihan kekuasaan 1965/1966, paling
banyak dikritik. Dimensi politisnya sangat kental, yakni memberi legitimasi
kepada rezim Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto dan mereduksi peran
Sukarno dalam sejarah Indonesia.
Pada awal reformasi,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono menganggap buku SNI tidak
layak lagi dijadikan buku pegangan, sehingga perlu disusun buku pengganti.
Setelah proses yang panjang selama satu dekade, pada Desember 2012 terbitlah
buku Indonesia dalam Arus Sejarah dalam 8 jilid. Buku ini masih bisa menjadi
rujukan, terutama jilid-jilid awalnya. Yang tetap menjadi persoalan adalah
jilid terakhir (7 dan 8), yang mengandung peristiwa sejarah kontroversial.
Namun persoalan utamanya adalah buku itu dijual dengan harga Rp 6 juta, dan
hak ciptanya sudah diserahkan kepada penerbit swasta sehingga tidak bisa
diunduh secara gratis.
Setelah melakukan
sedikit perbaikan pada 1999 (revisi), kurikulum 1994, yang menekankan substansi
mata pelajaran, bergeser ke kompetensi siswa pada 2004. Tidak ada alasan yang
kuat dalam penggantian kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada 2004 menjadi
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada 2006, kecuali memberi
kesempatan dari daerah sampai sekolah untuk berkreasi melengkapi kurikulum
tersebut. Faktanya, hal ini juga tidak berjalan lancar.
Dalam kurikulum 2013,
terlihat bahwa struktur pendidikan sejak SD sampai SMA dimulai dengan nilai
agama, dan semuanya dikaitkan dengan agama. Kompetensi inti dari kelas I SD
sampai kelas XII SMA adalah sama, yakni "menghayati dan mengamalkan
ajaran agama yang dianutnya". Kompetensi inti adalah bentuk kualitas
yang dimiliki oleh mereka yang telah menyelesaikan satuan/jenjang pendidikan
tertentu yang mencakup pengetahuan, sikap, serta keterampilan (kognitif,
afektif, dan psikomotorik). Kompetensi dasar merupakan kompetensi setiap mata
pelajaran untuk setiap kelas yang diturunkan dari Kompetensi Inti. Tidak ada
masalah bila kompetensi "menghayati dan mengamalkan ajaran agama"
itu diberlakukan khusus untuk mata pelajaran agama. Tapi tampak dipaksakan
bahwa kualitas yang dihasilkan setelah belajar aljabar, ilmu pengetahuan
alam, bahasa Indonesia, geografi, dan lain-lain adalah kesalehan siswa dalam
mengamalkan ajaran agamanya.
Kompetensi dasar SMA
kelas X untuk mata pelajaran bahasa Indonesia adalah "mensyukuri
anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sesuai
dengan kaidah dan konteks untuk mempersatukan bangsa". Memang bahasa
Indonesia adalah alat komunikasi yang mempersatukan bangsa, tapi apa perlu
ditekankan bahwa bahasa Indonesia itu merupakan anugerah Tuhan? Dalam
kompetensi dasar sejarah Indonesia SMA kelas X dicantumkan "menghayati
keteladanan para pemimpin dalam mengamalkan ajaran agamanya". Pelajaran
sejarah jelas menguraikan perjuangan para pemimpin bangsa dalam merebut dan
mengisi kemerdekaan. Hal ini tentu patut diteladani, tapi perjuangan tersebut
tidak otomatis semuanya berkaitan dengan ajaran agama.
Lantas, apa yang akan
dihasilkan dari mata pelajaran agama Islam dan budi pekerti SMA kelas X? Dua
di antaranya adalah "meyakini kebenaran hukum Islam" dan
"berpakaian sesuai dengan ketentuan syariat Islam dalam kehidupan
sehari-hari". Menteri Pendidikan M. Nuh mendapat gagasan tentang konsep
kurikulum 2013 saat menunaikan ibadah umrah pada 2006. Konsep itu adalah tazkiyah (attitude), tilawah (pengetahuan), dan ta'alim (keterampilan).
Sebetulnya konsep kognitif, afektif, dan psikomotorik sudah dikenal luas
dalam bidang pendidikan walaupun tidak menggunakan istilah berbahasa Arab.
Untuk keperluan
pengajaran sejarah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyediakan
berbagai buku teks yang dapat diunduh secara gratis, termasuk buku teks untuk
pengajaran sejarah tahun 2009. Pada tingkat SMP, pengajaran sejarah termasuk
IPS (ilmu pendidikan sosial). Buku-buku teks tersebut ditulis, antara lain,
oleh Suprihartoyo dkk, Agung Feryanto dkk, dan Endar Wismulyani dkk.
Buku-buku tersebut memiliki banyak kekurangan, seperti masih menggunakan
istilah G-30-S/PKI, padahal gerakan tersebut menyebut dirinya Gerakan 30
September. Presiden Soekarno didiskreditkan dalam tragedi nasional 1965:
"Sungguh mahal harga yang harus dibayar oleh bangsa ini akibat inovasi
politik Bung Karno". Pada buku teks yang lain ditulis: "Segala
bentuk pertentangan antara angkatan darat dengan PKI juga diperburuk oleh
ketidaktegasan presiden dalam menengahi masalah tersebut. Ditambah, kondisi
kesehatan presiden ketika itu mulai memburuk dan sering sakit-sakitan, sehingga
presiden kurang begitu memahami apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam
dunia politik Indonesia."
Sementara itu,
PRRI/Permesta tidak lagi dikategorikan pemberontakan, melainkan
"pergolakan sosial politik". Penyebabnya: "kurangnya perhatian
pemerintah terhadap kesejahteraan prajurit di daerah". Hal ini tampaknya
sejalan dengan diangkatnya M. Natsir dan Sjafruddin Prawira yang terlibat
PRRI sebagai pahlawan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar