Komitmen Perlindungan Anak
Asrorun Ni’am Sholeh ; Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
|
KORAN
SINDO, 23 Januari 2016
Selepas Asar, suasana
di Kantor Kepresidenan masih lengang. Baru beberapa pejabat negara saja yang
hadir, di antaranya Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan
Puan Maharani, Mendikbud Anies Baswedan, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.
Selain saya sendiri,
tentu saja. Sore itu kami dipersilakan menunggu di ruang protokoler Istana.
Beberapa jurnalis sibuk mempersiapkan alat-alat rekam mereka di press room .
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menjelaskan, rapat terbatas akan
dimulai setengah jam lagi. Seiring itu pula, beberapa menteri hadir satu per
satu. Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan tampak berjalan cepat diiringi
sejumlah ajudan.
Dia mengeluarkan sapu
tangan, menyeka butiran air di pelipisnya. Raut wajahnya dingin sambil
memperhatikan suasana di sekelilingnya. Kami pun bersalaman sekedar basabasi
ala budaya ketimuran orang Indonesia.
Tak lama berselang,
satu per satu para pembantu presiden berdatangan. Saat itu tepat pukul 16.00
WIB. Di antara yang hadir adalah Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri
Agama Lukman Hakim Syaifudin, Menkominfo Rudiantara, Menteri Sosial Khofifah
Indar Parawansa, Menpora Imam Nachrowi, Mendes dan PDT Marwan Jafar,
Menristek-M Nasir, Mensesneg Pratikno, dan Seskab Pramono Anung.
Ruangan sedikit ramai
dengan bincang-bincang para pejabat.
Tidak lama kemudian,
Jokowi datang sambil menyalami kami satu per satu. Senyumnya yang khas,
melukiskan betapa antusiasnya mantan gubernur DKI Jakarta ini menerima kita
semua. Staf Kepresidenan mulai menutup pintu ruangan, menandakan rapat
terbatas segera dimulai. Tema yang akan dibahas adalah perlindungan anak,
khususnya tentang maraknya tindakan perundungan di sekolah.
Secara terminologi,
perundungan adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk
menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Perilaku ini dapat menjadi
suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik.
Hal ini dapat mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik
atau paksaan, dan dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu,
mungkin atas dasar ras, agama, gender, seksualitas, atau kemampuan.
Tindakan penindasan
terdiri atas empat jenis, yaitu secara emosional, fisik, verbal, dan siber.
Budaya penindasan dapat berkembang di mana saja selagi terjadi interaksi
antarmanusia, mulai di sekolah, tempat kerja, rumah tangga, hingga
lingkungan.
Beberapa hari
sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyerahkan dokumen
yang berisi data kenaikan kasus perundungan di sekolah kepada Presiden
Jokowi. Sebagai kepala negara, Jokowi pun menyatakan keprihatinannya atas
fenomena ini. Menurutnya, kekerasan di sekolah harus segera dihentikan dengan
langkah-langkah konkret dan radikal.
Kunci mengatasi
kekerasan di sekolah adalah memberi edukasi pada masyarakat, keluarga, dan
anak-anak untuk bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam mencegah
kekerasan. Dalam rapat terbatas yang langsung dipimpinnya, Rabu sore(20/1), Jokowi
menyatakan program pendidikan karakter dan budi pekerti harus digalakkan.
Oleh sebab itu, Jokowi
pun memerintahkan Menteri Anies Baswedan untuk merealisasikannya di seluruh
sekolah di Indonesia. Saya sempat terperangah dengan apa yang disampaikannya
saat ratas itu. KPAI menangkap ada semangat luar biasa yang terpancar dari
sosok Jokowi. Seorang kepala negara yang sangat mengerti arti penting
perlindungan anak.
Jokowi adalah seorang
ayah, yang pasti pernah merasakan rasa takut dan khawatir jika sesuatu yang
buruk menimpa putra atau putrinya. Oleh sebab itu, komitmen yang disampaikan
dalam ratas itu, kemudian mewujud pada rencananya menerbitkan Peraturan
Presiden Antiperundungan di sekolah.
Ini tentu luar biasa.
Mengapa? Di tengah keterbatasan KPAI untuk menyelenggarakan perlindungan
anak, Jokowi menunjukkan dukungan yang besar kepada kami. Oleh sebab itu,
melalui tulisan ini, saya mewakili lembaga menyampaikan terima kasih yang
besar kepada Presiden Jokowi yang dipilih melalui proses demokrasi yang
panjang dan melelahkan. Data primer yang masuk KPAI menunjukkan peningkatan
kasus bullying di sekolah dalam satu tahun terakhir.
Banyak faktor yang
menyebabkan hal itu, di antaranya pertama, kurangnya pengawasan dari
masyarakat, khususnya pihak sekolah dan orang tua terhadap aktivitas anak
selaku peserta didik. Kedua, maraknya warnet yang menyediakan game online
sehingga sangat mudah dimasuki anak-anak di bawah usia 18 tahun. Sudah bukan
rahasia lagi, jika anak-anak yang memainkan game online di warnet, mereka
terbiasa mengeluarkan kata-kata buruk dan umpatan.
Dari sini, kebiasaan
itu kemudian dibawa ke sekolah dan jalin-menjalin dalam perilaku mereka
sehari-hari. Belum lagi, jika kita berbicara tentang pornografi dan cyber
crime lainnya. Anak akan mudah mengimitasikan atas apa yang mereka saksikan
dan dengar di media maya. Inilah ancaman yang sesungguhnya yang harus
mendapat perhatian kita semua.
Perlindungan anak
memiliki lima pilar, yakni orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara. Jika salah satunya tidak berfungsi dengan selayaknya, penyelenggaraan
perlindungan anak akan sulit diwujudkan. Sudah berbusa-busa KPAI mendesak
semua pihak untuk mengawasi aktivitas anak di warnet yang menyediakan game
online .
Namun, sepanjang itu
pula belum ada perhatian serius dari para stakeholder untuk mengatasinya.
Selama ini, KPAI juga menilai tidak seriusnya pelaku usaha menciptakan game
online yang ramah anak. Tidak hanya itu, KPAI menyoroti belum adanya
koordinasi yang efektif antarkementerian dalam hal perlindungan anak. Belum
adanya Trauma Center yang profesional dan sigap untuk melindungi anak,
menunjukkan belum seriusnya pemerintah mengatasi persoalan anak kontemporer.
Saya menyampaikan dukungan
atas rencana penerbitan Perpres Antiperundungan saat ratas. Di samping
perpres tentang pencegahan kekerasan di sekolah dan optimalisasi pengawasan
terhadap tayangan kekerasan, saya juga mengusulkan perluasan cakupan Inpres
Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN AKSA), yang hanya
mengatur kejahatan seksual, menjadi Gerakan Nasional Perlindungan Anak (GNPA)
sebagai gerakan nasional di bawah koordinasi langsung Presiden.
Jika gerakan ini bisa
terealisasi, seluruh rakyat Indonesia akan serentak bersama KPAI
mengungkapkan ”Terima kasih Jokowi”, yang telah menunjukkan iktikad dan
komitmen kuat untuk bersama-sama melindungi anak Indonesia dari segala macam
bahaya yang kini semakin kompleks. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar