Dilema Konstitusional Gafatar
Moh Mahfud MD ;
Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 23 Januari
2016
Bayangkan ini. Mbok
Supri diusir dari rumah dan kampungnya karena dituduh berbuat mesum dengan
suami orang. Padahal, dia tak punya rumah lain dan tak punya sanak saudara.
Alangkah buruk dan
mengerikan jika ada orang atau sekelompok orang diserang dan diusir dari
rumahnya, padahal dia tidak punya tanah lain atau tempat lain yang bisa
menampungnya. Mau ke mana orang yang seperti itu? Mengeluh dan meminta tolong
pun tidak ada yang menghiraukan. Itulah sebabnya kita sangat kaget ketika
meluas berita bahwa pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan
Barat diusir dari kediamannya, bahkan ada yang rumahnya dibakar.
Tetapi, sebelum itu
kita kaget juga dan sangat kesal ketika tahu bahwa Gafatar merupakan
organisasi ”sesat” yang mengatasnamakan agama, sangat merusak, bahkan
membahayakan sehingga kita menjadi paham jika banyak orang yang marah atau
emosional terhadap para pengikut Gafatar.
Masalahnya memang
sangat dilematis. Mengapa? Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan jaminan kepada setiap orang untuk memilih
tempat tinggal sesuai dengan kehendaknya sendiri. Hal itu diatur di dalam
Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak memeluk
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”.
Berita penyerangan,
pembakaran rumah-rumah, dan pengusiran terhadap anggota Gafatar oleh
sekelompok warga masyarakat jelas melanggar hak asasi manusia sebagaimana
telah dipatri di dalam Pasal 28E UUD kita. Pematrian itu meniscayakan negara
memberi perlindungan kepada setiap orang yang mengalami pengusiran.
Kita tak dapat
membayangkan betapa buruk dan mengerikan nasib orang yang diusir dari tempat
tinggalnya, sementara dia tak mempunyai tempat lain yang bisa ditinggali.
Dalam kasus (bekas) anggota-anggota Gafatar misalnya, ada yang sudah menjual
semua lahan yang dimilikinya di Jawa (daerah asalnya) dan uangnya sudah
dibelikan lahan baru di daerah lain.
Sekarang mereka diusir
secara beramairamai dari lahan sempit satu-satunya yang mereka miliki dan
tinggali. Mau ke mana mereka? Siapa pun akan merasa ngeri menghadapi
persoalan berat yang seperti itu karena mereka bukan hanya hidup tak nyaman,
tetapi juga tak aman. Kita mendirikan negara merdeka agar tidak ada lagi di
negeri ini orang hidup tersiksa karena tak punya tanah dan tak punya harapan.
Tetapi, dari sisi lain
kita mencatat juga bahwa Gafatar merupakan perkumpulan sesat yang membahayakan
dan mengancam. Mungkin dengan berpedoman pada konstitusi bahwa setiap orang
bebas memeluk agama kita tidak boleh merepresi pengikut Gafatar. Tetapi,
gerakan mereka yang sangat menentang kemanusiaan memang bisa dilawan oleh
banyak orang sebab langkah-langkah mereka bukan hanya merugikan mereka
sendiri, tetapi juga merusak orangorang lain yang dirayunya dengan penuh
kesesatan.
Bayangkan saja, banyak
orang yang harus menghilangkan diri demi perjuangan yang diajarkan oleh
Gafatar. Banyak orang yang hilang dan pergi meninggalkan keluarganya, oleh
Gafatar diajak berjuang dengan memaksa pergi diam-diam dari suami atau
istrinya. Gafatar juga memaksa anak dipisahkan dari orang tuanya. Katanya
demi perjuangan suci.
Pada sisi yang lain
lagi harus diingat pula bahwa banyak orang yang ikut Gafatar karena keadaan
ekonomi kita yang buruk, timpang, dan tidak berkeadilan. Mereka tidak
memahami keadaan, tetapi tidak mampu menanggung beban. Mereka terperangkap
untuk mencari jalan baru atau membuat jalan sendiri untuk mengatasi
persoalan-persoalan berat yang dihadapi dalam hidup sebagai bangsa.
Kita sama sekali tidak
setuju pada tindakan anarkistis masyarakat yang beramai-ramai menyerang dan
mengusir anggota Gafatar karena hal itu jelasjelas bertentangan dengan rasa
kemanusiaan dan melanggar konstitusi. Tetapi, pada sisi lain kita paham atas
munculnya kemarahan masyarakat terhadap pengikut Gafatar karena ajaran
keyakinannya yang merusak.
Ada dilema. Karena,
selain memberikan perlindungan terhadap setiap orang untuk memeluk agama
masing-masing, konstitusi juga melarang setiap orang merusak kehidupan
masyarakat karena hak asasi orang per orang tak bisa dilaksanakan secara
terpisah dari hak masyarakat. Itulah sebabnya bahasa yang dipergunakan dalam
konteks kebebasan beragama dalam konstitusi kita adalah ”toleransi beragama
yang berkeadaban”.
Itu juga yang
dikatakan oleh Bung Karno dalam pidato di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945. Dalam konteks
ini kita menjadi paham, mengapa pada 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No
1/PNPS/1965 yang berintikan larangan penistaan atau penodaan agama.
Kita memahami
pembentukan penpres yang kemudian dikukuhkan menjadi UU tersebut didasarkan
pada pandangan agar tidak ada orang dengan seenaknya melahirkan ajaran yang
kemudian disebutnya sebagai agama, padahal ajaran yang disebut agama itu
menyempal, menodai, dan merusak ajaran pokok dari agama yang sudah ada.
UU tersebut penting
justru untuk melindungi warga negara dari tindakan main hakim sendiri oleh
warga masyarakat lain yang merasa keyakinannya dirusak. Kita harus mendorong
dan mendukung pemerintah untuk menyelesaikan masalah Gafatar ini dengan
berpijak pada kemanusiaan dan kewajiban konstitusional negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar