Pemulangan Gafatar Langgar HAM?
Faisal Ismail ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN SINDO, 25 Januari
2016
Baru-baru ini
permukiman (mantan) anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Monton
Panjang, Dusun Pangsuma, Desa Antibar, Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah,
Kalimantan Barat dibakar massa yang sangat marah kepada kelompok Gafatar.
Kemarahan massa dipicu
oleh tudingan kepada Gafatar yang dikaitkan dengan hilangnya banyak anggota
keluarga di beberapa kota. Anggota keluarga yang hilang tersebut diyakini
telah direkrut atau bergabung dengan Gafatar karena ormas ini pandai
mengumbar janji. KORAN SINDO (13/1/2016) memberitakan Gafatar terlibat
hilangnya puluhan orang.
Para keluarga yang
anggotanya hilang dan masyarakat pada umumnya merasa resah, tidak nyaman, dan
sekaligus marah terhadap praktik Gafatar merekrut anggotanya. Klimaks
kemarahan ini berujung pada pembakaran permukiman Gafatar di Mempawah.
Pembentukan permukiman Gafatar di Mempawah tidak berproses secara alami dan
tampak dipaksakan.
Ini dapat dibuktikan
bahwa anggota Gafatar yang bermukim di Mempawah antara lain berasal dari Jawa
dan beberapa daerah lainnya. Mereka ada yang sudah menjual rumah di daerah
asal mereka dan kemudian tinggal di Mempawah bergabung dengan anggota Gafatar
lainnya di sebuah permukiman tersendiri. Sebelum (atau sesudah?) terjadi
pembakaran, mereka diberitakan telah keluar dari keanggotaan Gafatar.
Aksi massa yang
membakar permukiman Gafatar itu patut disayangkan karena terkesan main hakim
sendiri. Fokus tulisan ini adalah apakah pemulangan mantan anggota Gafatar ke
daerah asal mereka masing-masing melanggar HAM? Untuk menjawab pertanyaan
ini, saya mengemukakan tiga kasus yang dapat diperbandingkan dengan kasus
Gafatar.
Pertama, kasus
komunitas Mormon di Amerika Serikat (AS). Karena dipersekusi secara tidak
manusiawi oleh kelompok Kristen mainstream, orang-orang Mormon beramai-ramai
hijrah ke Provo (Utah) mencari tempat baru yang nyaman dan aman di mana
mereka dapat bekerja dan mencari penghidupan secara layak dan bebas. Di
Provo, mereka menikmati kebebasan dan dapat bekerja secara layak, terhormat,
dan bebas mencari sumber penghidupan.
Maka terbentuklah
permukiman komunitas Mormon di sana dengan jumlah yang sangat dominan. Dari
perspektif HAM, kepindahan orang-orang Mormon ke Utah dapat dibenarkan karena
mereka dipersekusi. Kedua , kasus komunitas Madura di Sampit dan Kualapuas
(Kalbar). Mereka dengan motivasi sendiri yang kuat bertransmigrasi ke daerah
itu karena ingin mencari lokasi baru dan sumber penghidupan baru yang lebih
baik ketimbang di daerah asal mereka (Madura).
Ternyata komunitas
Madura di permukiman baru itu sukses dalam berdagang, berbisnis, berkebun,
bertani, dan beternak. Maka terbentuklah permukiman komunitas Madura di
Sampit dan Kualapuas. Dari perspektif HAM, kepindahan orang-orang Madura ke
Sampit dan Kualapuas dapat dibenarkan karena mereka ingin bertempat tinggal
dan mencari penghidupan baru di sana.
Ketiga , kasus
komunitas Bali yang tinggal di daerah antara Palu-Poso. Mereka
ditransmigrasikan secara legal dan resmi oleh pemerintah dengan alasan
penyebaran penduduk dan memberikan penghidupan baru bagi mereka yang lebih
baik dan sejahtera, baik untuk mereka sendiri maupun untuk keturunan mereka
di masa depan. Daerah mereka bernuansakan Bali, ada ukiran-ukiran dan relief
ala Bali dan ada pula pura-pura khas Bali sebagai fasilitas ibadat mereka.
Mereka sukses bercocok
tanam, berkebun, beternak, berbisnis, dan berdagang. Maka terbentuklah
permukiman komunitas Bali di daerah antara Palu-Poso. Dari perspektif HAM,
kepindahan orang-orang Bali ke daerah antara Palu-Poso itu dapat dibenarkan
karena permukiman mereka terbentuk sesuai kebijakan pemerintah dalam
melaksanakan program transmigrasi.
Bagaimana dengan
kepindahan anggota Gafatar ke Mempawah? Tidak ada persekusi oleh pihak-pihak
tertentu di daerah asal mereka di Jawa dan di daerah lainnya. Mereka berhasil
direkrut atau bergabung dengan Gafatar karena terobsesi dan terpikat dengan
janji-janji ormas ini, dan kemudian mereka pun hijrah secara beramai-ramai ke
Mempawah membentuk komunitas dan permukiman di sana.
Kasus Gafatar tidak
sama dengan kasus Mormon di AS yang mengalami persekusi secara tragis. Kasus
Gafatar, pembentukan permukimannya, dan tujuan kepindahannya ke Mempawah
tidak sama dengan kasus komunitas Madura, pembentukan permukimannya, dan
tujuan kepindahannya ke Sampit dan Kualapuas. Juga, kasus Gafatar,
pembentukan permukimannya, dan tujuan kepindahannya ke Mempawah berbeda
dengan kasus komunitas Bali, pembentukan permukimannya, dan tujuan
kepindahannya ke daerah antara Palu-Poso.
Sebuah ormas–apa pun
nama ormas itu–tidak pantas merekrut anggotanya kemudian menempatkan para
anggotanya (atau anggotanya mengelompok) di sebuah permukiman khusus,
permukiman tersendiri, dan permukiman eksklusif di bawah naungan panji-panji
ormas itu. Ekslusivitas kelompok di bawah naungan ormas tertentu di tengah-tengah
masyarakat pluralistik Indonesia adalah praktik yang tidak pada tempatnya.
Jika ada orang-orang
yang mau direkrut atau mau bergabung dengan ormas itu, biarlah para
anggotanya tetap bertempat tinggal dan bermukim di daerah asal mereka
masing-masing seperti yang kita saksikan, misalnya, pada anggota Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah, atau ormas-ormas lain. Mereka tidak usah dan tidak perlu
dikonstrasikan di sebuah permukiman eksklusif di bawah panji-panji ormas
tersebut.
Ekslusivitas kelompok
akan memicu kemarahan massa dan inilah–walaupun tidak kita inginkan–yang
menyulut massa membakar permukiman (mantan) Gafatar itu, apalagi ormas ini di
bawah bayang-bayang seorang ”Messiah” yang dulu pernah mengklaim sebagai
nabi. Pascapembakaran permukiman (mantan) anggota Gafatar, pemerintah
memulangkan mereka ke daerah asal mereka masing-masing seraya memberi wawasan
kebangsaan agar mereka hidup berbaur dengan masyarakat dalam kehidupan sosial
bersama.
Jika mereka
dipertahankan bermukim di permukiman eksklusif Mempawah, ekslusivitas
kelompok dikhawatirkan tidak akan hilang. Walaupun tidak kita kehendaki,
ancaman massa terhadap mantan anggota Gafatar masih membayang jika mereka
tetap tinggal di Mempawah.
Menurut saya,
kebijakan pemerintah memulangkan mantan anggota Gafatar ke daerah asal masing-masing
sudah tepat dan tidak melanggar HAM. Saya berbeda cara pandang dengan KontraS
yang mengatakan pemulangan mantan anggota Gafatar ke daerah asal melanggar
HAM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar