Negeri
Tunabudaya
Haidar Bagir ; Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di
ICAS Paramadina
|
KOMPAS,
09 Januari 2016
Ini bukan waktunya berteori panjang. Sudah lama negeri ini
bergerak ke arah ketunabudayaan meski jargon penguatan budaya terus
didengungkan. Padahal, budaya adalah soal menjadi manusia.
Manusia spiritual, manusia moral, manusia estetis, dan manusia
yang sadar dan berpikir. Ia berakar pada konsen-konsen kemanusiaan yang
paling dalam, sebagai makhluk sekaligus pengejawantahan ketuhanan, sebagai
bagian dari persaudaraan kemanusiaan, bahkan persaudaraan kemakhlukan, yang
cirinya adalah memiliki fitrah cinta kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Segala yang kurang dari itu, betapapun dikemas dalam sofistikasi
dan citra kemajuan dan peradaban, adalah anti budaya. Budaya adalah sumber
keutuhan dan integritas kehidupan manusia. Dengan demikian, juga sumber
kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya. Akibat yang kita lihat sekarang ini,
manusia Indonesia makin jauh dari spritualitas-kemanusiaannya. Integritasnya
tergerus, kita makin terbenam dalam banalitas. Tak ada apresiasi pada
kedalaman dan keindahan.
Strategi
budaya
Soal inilah yang terngiang-ngiang di benak saya saat saya
bersiap-siap ketemu Pak Jokowi beberapa waktu lalu. Negeri kita sudah lama
kosong strategi budaya. Dan, jangan salah. Kekosongan ini bukan berarti
perkembangan budaya berjalan sendiri. Melainkan, vacuum yang ada akan
didesaki oleh budaya "asing", yang belum tentu sejalan secara
organis dengan budaya kita.
Terkesan chauvinistik? Xenofobik? Nanti dulu. Kenyataannya
sekarang, lapangan "budaya" zaman ini sudah jadi bulan-bulanan
hegemoni ekonomi, komersialisme para pemilik kapital besar. Sendirian saja
kekuatan mereka sudah begitu besar. Apalagi dalam kenyataannya ia masih
berselingkuh dengan kekuatan-kekuatan politik dan ideologis, yang dipaksakan
lewat kekuatan mahadahsyat media massa yang menginvasi dengan derasnya.
Kesemuanya itu didukung teknologi audiovisual dan IT yang luar biasa canggih
dan berkembang terus dengan pesat, hingga menyusup ke dalam ruang-ruang
paling privat masyarakat kita.
Saya tidak menyangkal bahwa budaya itu sudah seharusnya dinamis,
sekaligus terbuka, terhadap kreativitas dan unsur-unsur kebaikan yang berasal
dari kesadaran persaudaraan dan persamaan manusia. Tidak, ia tidak boleh
chauvinistik, apalagi nativistik. Kenyataan yang tak dapat disangkal adalah,
selalu saja terjadi interaksi/akulturasi budaya yang saling memperkaya.
Budaya memang tak berkembang secara terisolasi, dalam ruang
kedap pengaruh. Pada saat yang sama, budaya seharusnya berkembang secara
organis. Berakar pada lokalitas dan mengembang secara alami berdasar irama
(pace)-nya sendiri, sesuai dengan temperamen-khasnya, dan menyerap pengaruh
yang sejalan dengan kesemuanya itu.
Kita bukan penganut keyakinan akan keunggulan satu budaya atas
budaya lain, bahkan tidak juga keunggulan budaya nasional kita dibandingkan budaya-budaya
lain. Kita percaya budaya apa pun menyimpan aspek-aspek positif yang berasal
dari fitrah kebaikan manusia. Kita percaya bahwa setiap budaya, selama ia
memenuhi syarat-syarat untuk disebut budaya-yakni berpusar pada kebenaran,
kebaikan, dan keindahan-punya logika dan pembenarannya sendiri. Bahkan yang
disebut budaya-budaya paling primitif sekalipun.
Kita percaya bahwa budaya berkembang terus, sebutlah maju kalau
mau, tetapi kemajuannya tak serta-merta mencampakkan yang lama, melainkan
meliputi yang lama itu dan hanya menjadi lebih matang. Budaya umat manusia
kita yakini bersifat perenial karena, betapapun berbeda, manusia adalah
manusia, di sudut bumi mana pun ia hidup. Bagaimanapun sejarahnya. Karena
itu, semua berbagi nilai-nilai universal.
Jika kita pelajari beragam budaya umat manusia, dalam seluruh
epos sejarahnya, di dalamnya selalu terkandung unsur moralitas (kebaikan),
kebenaran, dan keindahan. Akarnya, boleh disebut agama atau tidak, adalah
spiritualitas, yakni semacam kesadaran batin yang memandu seluruh gerak hidup
manusia dan masyarakat. Kesemuanya itu menyatu dalam pandangan dunia (world
view atau weltanscauung), mencakup sebuah cara pandang khas tentang Tuhan,
manusia, dan alam.
Budaya Indonesia, dalam segenap kekhasannya, pada kenyataannya berbagi unsur-unsur yang
universal dengan budaya-budaya lain yang mana pun. Ia mecakup apa yang
disebut sebagai tahap "primitif" (mistis/teologis/religius), tahap
pra-Indonesia (metafisis, ontologis, tanpa meninggalkan yang mistis/teologis/religius),
tahap Hindu, dan tahap Islam. Lalu, tentu saja tahap Indonesia
"modern", yang di dalamnya tercipta sintesis baru dengan masuknya
unsur budaya saintifik, positivistik.
Kehilangan
kesadaran budaya
Polemik Kebudayaan dan majalah Poedjangga Baroe sudah merekam
semuanya ini dengan sangat baik. Setelah masa Orde Lama dengan jargon
"politik adalah panglima", Indonesia zaman Orde Baru menawarkan
"budaya" developmentalis dan teknokratis. Tetapi, sedevelopmentalis
dan seteknokratis itu, di zaman Orde Baru kita masih diberkahi dengan kiprah
strategis pemimpin-pemimpin yang memiliki kesadaran budaya tinggi sekelas
Soedjatmoko, Fuad Hassan, bahkan juga Emil Salim, dan yang lainnya.
Dengan rasa pahit-meski tanpa kehilangan optimisme-ingin saya
tegaskan sekali lagi di sini, justru di masa pasca Reformasi, sampai hari
ini, negeri kita kehilangan kesadaran budaya. Budaya seperti terlindas oleh
salah kaprah dalam melihat tujuan pembangunan. Undang-undang kita boleh saja
menulis dengan tinta emas bahwa tujuan bangsa, khususnya di bidang
pendidikan, adalah melahirkan manusia-manusia seutuhnya.
Dalam kenyataannya cara yang ditempuh justru memecah manusia ke
dalam seonggokan jisim tanpa roh. Serba materialistik. Bukan saja ia telah
menelan korban spiritualitas, moralitas, kebenaran, dan rasa keindahan, pun
tak ada tujuan ekonomi bisa dicapai jika manusia Indonesia menjadi tunabudaya
seperti itu. Dan, korban besarnya, itu pun kalau kita asumsikan bahwa tujuan
materialistik tercapai, adalah tak kurang dari kebahagiaan manusia itu
sendiri.
Maka, sebelum makin terlambat, perlu direvitalisasi suatu
kesadaran kolektif bangsa yang meletakkan budaya sebagai tempat persemaian
seluruh aspek kehidupan kita, sebagai manusia. Baik itu politik, ekonomi,
sosial, bahkan juga agama. Ya, bahkan agama yang harus kita kembangkan pada
akhirnya adalah suatu agama yang ramah budaya, kalau tak mau sama sekali
disebut sebagai agama kultural, dan bukan semata agama ideologis atau
hukum-seberapa pentingnya pun ideologi dan hukum dalam agama.
Agama untuk manusia, yang memiliki kesetiaan pada moralitas,
kebenaran, dan keindahan. Bukan sekadar gejala kebangkitan agama, yang
sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai pengerasan agama, yang disertai
sikap-sikap penindasan atas nama agama. Suatu agama anti budaya. Pemerintah
tentu harus mengambil komando. Harus ada concerted
efforts, yang memastikan bahwa semua upaya pembangunan-di bidang apa
pun-mau menjadikan pencapaian-pencapaian kultural sebagai tujuan puncaknya.
Inilah yang antara lain disampaikan Pak Jokowi dalam pertemuan
yang saya ikut hadir di dalamnya itu. Beliau siap memastikan bahwa tak ada
satu menteri pun boleh melupakan hal ini dalam setiap kebijakan dan program
kementerian mereka. Tetapi, sudah tentu ini bukan hanya tugas pemerintah
saja. Kemampuan (dan kesadaran) pemerintah terbatas. Tetapi, lebih dari itu,
tak ada suatu pekerjaan sebesar dan sekolektif pengembangan budaya yang akan
bisa berhasil tanpa keterlibatan langsung dan aktif masyarakat, rumah budaya
itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar