Laporan
Diskusi Panel Kompas-LMI
“Menyuburkan
Kembali Rahim-rahim Kepemimpinan Nasional”
Menyintas dari Lacuna Kepemimpinan
|
KOMPAS,
22 Januari 2016
Hasil jajak pendapat
Litbang Kompas di pengujung 2012 terhadap 686 responden di 12 kota besar
Indonesia mengungkapkan tentang ketiadaan sosok pemimpin yang dianggap mampu
mengatasi persoalan bangsa.
Dari 10 responden,
enam responden tidak bisa menyebutkan nama tokoh pemimpin masa kini yang
dinilai akan mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Bahkan sepertiga responden
menegaskan, tidak ada satu pun sosok yang bisa memimpin bangsa melewati
berbagai hambatan saat ini ataupun di masa depan. Ketiadaan sosok tersebut
ditunjukkan oleh indikator rendahnya kinerja para pemimpin dalam mengelola
konflik ataupun menuntaskan sejumlah persoalan dan maraknya korupsi.
Hasil jajak pendapat
tersebut masih relevan. Indonesia masih terperangkap dalam tragedi lacuna
atau kekosongan pemimpin. Semakin banyak yang berebut menjadi pemimpin,
sementara uanglah yang dipakai untuk mengukur kelayakan. Siapa pun bisa
menjadi pemimpin asal ada uang, tanpa peduli uang itu hasil perampokan.
Akhirnya terjadi inflasi politisi tanpa visi dan partai-partai tanpa
ideologi. Kondisi ini akan terus berlanjut sepanjang upaya kita menyintas dari
tragedi lacuna kepemimpinan tidak berangkat dari pemahaman akan genealoginya.
Genealogi
Kondisi nyaris pailit
kepemimpinan yang kita hadapi sekarang berakar pada penyalahgunaan kekuasaan
yang berlangsung lama, mulai dari era demokrasi terpimpin yang dilakukan Bung
Karno plus TNI dan kian buruk di era Orde Baru di bawah Pak Harto plus TNI.
Penyalahgunaan kekuasaan ini berdampak langsung terhadap kemandulan demokrasi
sebagai rahim mahabesar dan mahaluas dari penyemaian benih-benih pemimpin
nasional.
Indonesia pernah
menorehkan prestasi dalam berdemokrasi. Pada tahun 1950-an Indonesia
memberikan contoh terbaik tentang demokrasi kepada dunia. Pemilu 1955
merupakan pemilu paling terpuji di seluruh dunia. Meski kampanyenya panjang
dan menegangkan, tidak seorang pun yang jadi korban. Bandingkan dengan
korban-korban yang jatuh pada pemilu pertama Orde Baru maupun pemilu pertama
Reformasi.
Pada Pemilu 1955 yang
terpilih menjadi wakil rakyat adalah mereka yang sungguh-sungguh kompeten,
cerdas, dan cemerlang dari setiap daerah di seluruh Tanah Air. Karena proses
demokrasinya bagus, yang naik menjadi pemimpin adalah orang- orang
berkualitas yang memang pantas menjadi pemimpin. Pada masa Orde Baru hal
sebaliknya yang terjadi. Selama 30 tahun kekuasaannya, Soeharto menciptakan
mesin politik Orde Baru yang ditujukan untuk membuatnya tetap berkuasa. Ia
membangun dukungan masif partai ciptaan negara (Golkar), mengontrol seluruh
sumber daya ekonomi dan bertindak sebagai ”pembagi kekayaan” pada orang atau
golongan di bawah patronasenya, termasuk pengusaha.
Selain skenario
mempertahankan kekuasaan, tak ada skenario apa pun yang dibuat Soeharto untuk
menumbuhkan benih-benih kepemimpinan. Yang terjadi, Soeharto menjalankan
sistem otoritarian untuk mematikan bibit-bibit pemimpin yang tersebar di
Tanah Air. Partai-partai politik dikebiri hingga kehilangan daya untuk
berkontribusi membangun demokrasi.
Ketika Soeharto
tiba-tiba lengser setelah 30 tahun berkuasa, terjadi kevakuman pemimpin. Tak
ayal, banyak orang dari berbagai kalangan berebut untuk jadi pemimpin,
termasuk para pengusaha yang ”disusui” Soeharto. Bagi para pengusaha ini,
sistem politik demokrasi yang menggantikan sistem otoriter merupakan anugerah
besar. Mereka eksodus ke dunia politik dan masuk ke jantung kekuasaan negara
dengan watak instrumental yang mereka bawa sejak masa Orde Baru tetap melekat
di dalam tingkah laku politiknya.
Sungguh, inilah
kejahatan terburuk yang dilakukan Soeharto pada bangsanya, yaitu mematikan
rahim-rahim persemaian benih-benih pemimpin. Padahal, pemimpin nasional
tidaklah muncul secara tiba-tiba atau dalam waktu 1-3 tahun. Ia muncul dalam
waktu setidaknya 10-15 tahun, dimulai dari pengamatan orang-orang lokal, dari
hari ke hari dan tahun ke tahun oleh masyarakat di sekitarnya.
Mulai dari pemilihan
tingkat terkecil sampai terbesar. Bertahun-tahun calon pemimpin diamati
karakter, perilaku, kebijakannya dan diuji serta diasah oleh
peristiwa-peristiwa nyata di segenap sisi kehidupan masyarakat. Apakah
benar-benar jujur, amanah, tak pernah mengkhianati orang-orang di sekitarnya,
menjunjung tinggi cita-cita bangsanya. Semua tak terjadi karena Soeharto
menutup peluang munculnya para calon pemimpin.
Meskipun format
politik Orde Baru sudah lama kedaluwarsa, Soeharto tetap mempertahankannya. Ketika
Orde Baru runtuh, runtuh pula segala sesuatu yang mengatur dan menata negara
ini. Sementara tak ada skenario yang dipersiapkan untuk menjalankan negara
setelah Orde Baru runtuh. Ini menciptakan kondisi salah urus/korupsi dan
penumpukan berbagai hal buruk yang menyebarkan irasionalitas, kerancuan dan
kebingungan sosial politik dan sosial budaya ke dalam mental bangsa, dan
membuat berbagai solusi untuk mengatasi permasalahan besar bangsa setelah
runtuhnya Orde Baru menjadi bersifat simalakama.
Dalam hal otonomi
daerah (otda), misalnya, ketika Orde Baru runtuh, kita berpikir bahwa
keruntuhan merupakan momen tepat menerapkan otda. Padahal, otda seharusnya
sudah disiapkan dan dilaksanakan jauh sebelum Orde Baru runtuh. Kini otda
menjadi simalakama. Bagaimana bisa otda kalau seluruh perangkat hukum di
negara ini menjadi tak berdaya dan alat-alat negara yang mestinya menertibkan
juga tak berdaya.
Meskipun rezim Orde
Baru telah berganti dengan rezim Reformasi, sesungguhnya tidak ada pergantian
rezim secara utuh. Orde Baru memang runtuh, tetapi rezim negara Orde Baru
masih menjadi mesin negara reformasi, juga pejabat dan pemimpin-pemimpinnya.
Yang berganti hanyalah aturannya. Artinya, motif-motif buruk yang berasal
dari sistem politik Orde Baru dimasukkan mentah-mentah ke dalam sistem negara
reformasi tanpa ada koreksi, tanpa ada hukuman apa pun terhadap yang salah
dan tidak ada pembenaran pada yang benar.
Inilah yang
menciptakan kekaburan antara yang benar dan salah pada saat ini. Sebab, tidak
ada landasan tentang yang benar dan yang salah. Koruptor besar bisa tersenyum
terus di depan kamera dan tindakan ketua DPR meminta saham PT Freeport
diperdebatkan etis tidaknya. Motif buruk ”semua bisa diatur” dalam bentuk
”adhokisasi” menjamur hampir di semua keputusan politik dan undang-undang.
Itu semua berdampak
pada menipisnya kepercayaan, bukan hanya antarsesama kelompok bangsa,
melainkan juga kepada hampir segala bentuk otoritas. Yang terburuk adalah
hilangnya kepercayaan pada ideal-ideal tertinggi bangsa sendiri, yaitu
Pancasila, dan memudarnya kesadaran dan kecintaan pada bangsa.
Menyintas dari tragedi
Berbagai persoalan
yang dipaparkan di atas dapat menjadi pintu masuk untuk menyintas dari
tragedi kekosongan pemimpin. Berbagai jalan dan pendekatan bisa ditempuh,
salah satunya melalui parpol. Berbagai pembenahan berikut bisa dilakukan.
Pertama, pembenahan parpol sebagai agen pencerahan. Banyak kewajiban partai
politik yang diamanatkan undang-undang tidak dijalankan, di antaranya adalah
kewajiban memberikan pendidikan demokrasi kepada masyarakat. Faktanya,
partai-partai tidak menjalankan kewajiban karena mereka sendiri tidak tahu
dan masih membutuhkan pencerahan mengenai esensi demokrasi dan simbiosis
antara demokrasi dan nation. Jika jalannya demokrasi bagus, maka serat-serat nation akan diperkuat dan jika nation
itu bagus, maka tersedialah lahan subur bagi bertumbuhnya demokrasi.
Kedua, parpol
membangun kembali ideologi karena partai-partai yang ada sekarang adalah
partai bunglon. Politisi bisa dengan mudah pindah dari satu partai ke partai
lain karena tidak ada ideologi. Ada partai yang berideologi Islam, tetapi di
gedung DPR sibuk menonton film porno. Ada juga partai-partai yang mengaku
kerakyatan dan nasionalis, tetapi getol menjual aset-aset bangsa.
Ketiga, kerja sinergis
pers-penerbitan yang tercerahkan dengan partai-partai bagus. Selama ini
kewajiban partai untuk memberikan pencerahan politik sebagian besar sudah
dilaksanakan oleh pers dan penerbitan. Dalam hal ini pers dan penerbitan
perlu bersinergi satu sama lain dan dengan partai yang bagus demi membangun
demokrasi. Salah satu yang bisa dikerjakan, menerbitkan visi misi setiap
partai.
Keempat, memberi ruang
luas pada tumbuhnya partai-partai baru. Harapan kita akan tumbuhnya
benih-benih kepemimpinan barangkali tidak pada partai-partai yang sekarang.
Barangkali harapan kita justru terletak pada partai-partai yang akan muncul.
Sistem multipartai memperluas peluang munculnya pemimpin yang mampu menangkap
imajinasi bangsanya dan merebut suara. Kelima, menjadikan pilkada momen
peremajaan dan penggalakan kreativitas akal budi untuk memilih dan
melaksanakan agenda demokrasi yang semestinya. Pilkada memberi peluang
ditemukannya benih-benih pemimpin nasional yang tumbuh dari bawah. Akhir
kata, masih terbuka lebar jalan yang bisa ditempuh bangsa ini untuk bisa
menyintas dari tragedi lacuna kepemimpinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar