ISIS, Perang Proxy, dan Indonesia
Mahfudz Siddiq ; Ketua Komisi I DPR RI
|
KORAN
SINDO, 18 Januari 2016
Konflik politik di
kawasan Timur Tengah (Timteng), khususnya di Irak dan Suriah, telah
memunculkan pola baru konflik di kawasan tersebut yaitu proxy war (atau perang proxy)–konflik yang menggunakan instrumen
ketiga yang dikendalikan oleh pihak- pihak negara yang terlibat konflik, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam konteks perang proxy itulah muncul satu aktor
non-negara yang bernama ISIS. Sejumlah analis yang masyhur di antaranya
Michel Chossudovsky, profesor dari University of Ottawa juga direktur Centre for Research on Globalization;
Tim Anderson, profesor dari University of Sydney; Garikai Chengu, peneliti
Harvard; dan Paul Craig Roberts yang pernah berada di Kementrian Keuangan
masa pemerintahan Reagan telah mengungkap ke publik bahwa ISIS diciptakan,
dikembangkan, dan dikendalikan oleh sejumlah negara besar baik di kawasan
Timteng maupun di luar Timteng dengan kepentingan dan tujuannya
masing-masing.
ISIS, Melting Pot Kelompok Garis Keras
Bagi pihak yang
memiliki agenda Perang Global Melawan Terorisme (PGMT), ISIS dijadikan
sebagai tempat berhimpun (melting pot)
berbagai kelompok garis keras yang membawa bendera Islam.
Bukan saja agenda
perjuangannya dipertegas yaitu mendirikan negara Islam di kawasan Syam
(diawali dari Irak dan Suriah), tapi juga pola gerakannya difasilitasi dengan
persenjataan militer yang lengkap dan canggih (well equip). Berbagai elemen kelompok radikal dan individu-individu
yang punya preferensi radikalisme dikondisikan dan dimobilisasikan untuk
menjadi foreign fighters di Irak dan Suriah.
Situasi ini tercermin
dalam beberapa reportase investigatif para jurnalis di antaranya Samira
Shackle dari Middle East Monitor atau Adam Withnall dari Independent,
Inggris. Sel-sel baru ISIS juga dikembangkan di berbagai negara dengan
memanfaatkan kelompok-kelompok radikal yang sudah ada seperti ragam ulasan
khusus yang telah hadir di media ternama seperti NewYork Times, Washington Post,
Economist, dan lainnya.
ISIS sekarang tampil
sebagai kekuatan non-negara yang bergerak secara terbuka, melakukan
propaganda secara terbuka melalui berbagai media, dan menyebar teror juga
secara terbuka. Mereka bisa leluasa bergerak dan mengembangkan diri karena
didukung pula oleh sumber pendanaan besar dari penguasaan sejumlah ladang
minyak di Irak. Namun, akankah agenda PGMT dengan ISIS sebagai melting pot
akan berhasil cepat? Saya kira tidak.
Pertama, karena
pematangan terhadap berbagai elemen potensial yang digiring untuk bergabung
dengan ISIS akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Kedua, ada sejumlah
negara khususnya di kawasan Timteng yang masih menggunakan ISIS sebagai
instrumen proxy untuk menjalankan kepentingannya. Hal ini terlihat jelas di
Irak dan Suriah.
Konflik bernuansa
Sunni versus Syiah yang melibatkan beberapa negara saat ini akan dikelola
dengan menggunakan instrumen proxy ISIS. Ketiga, Suriah yang saat ini
dijadikan medan pertempuran (battle field)
bagi ISIS dan ke depan akan dirancang sebagai killing-ground bagi semua kekuatan inti ISIS masih diwarnai
pertarungan kekuatan antarnegara. Keterlibatan sejumlah negara di kawasan dan
di luar kawasan tersebut membuat skenario Suriah sebagai killing-ground memiliki tingkat kerumitan yang tinggi.
Keempat, ISIS meski
lahir sebagai kekuatan proxy, namun
dalam perjalanannya bisa berbelok menjadi aktor kekuatan yang mandiri. ISIS
bisa saja mampu mengendalikan gerakannya sendiri dan bahkan berbalik
menyerang para pihak yang semula membidaninya. Jadi, kita harus berani
membayangkan bahwa agenda PGMT masih akan berlangsung lama.
Instrumen Proxy Selain ISIS
Ada konteks lain yang
berpotensi menjadikan perang proxy di kawasan Timteng menjadi episentrum yang
dampaknya meluas ke kawasan lain yaitu pertarungan kepentingan dan pengaruh
sejumlah negara utama, sebut saja Saudi dan Iran, yang menggunakan instrumen
proxy selain ISIS, yaitu sentimen dan konflik Sunni (”Salafi”) versus Syiah.
Gerakan Syiah dalam
beberapa tahun terakhir menunjukkan agresivitas gerakannya di sejumlah
negara, tentunya ditopang penuh oleh Iran. Pada sisi lain gerakan ”Salafi”
juga menunjukkan agresivitasnya di sejumlah negara. Tentu saja ditopang penuh
oleh Saudi. Arab Spring yang dalam waktu cepat diikuti oleh kontra Arab
Spring juga telah menambah dimensi perang proxy di kawasan Timteng juga
Afrika Utara. Jadi, peta konflik yang sedang terjadi di kawasan juga berciri
multiaktor dan multivariabel.
Tidak mudah diurai dan
tidak mudah juga dibayangkan ujung atau akhirnya. Maka dalam konteks situasi
ini, berbicara ISIS seperti membaca buku dengan puluhan bab, dan kita baru
sampai pada bab kedua atau ketiga. Lalu, apakah AS, Eropa, dan khususnya
Israel memiliki peran dalam lanskap konflik kawasan yang sedang meluas ini?
Pastinya ya. AS telah
menjadi aktor aktif dan terdepan dalam penumbangan rezim Saddam di Irak dan
Khadafi di Libya. Operasi serupa AS di Suriah tidak berhasil hingga sekarang
Rusia masuk menyusul Iran mempertahankan rezim Bassar. Kontra Arab Spring,
khususnya di Mesir dan beberapa negara lainnya, juga melibatkan tangantangan
negara di luar Mesir.
Muncul sejumlah
analisis tentang agenda menciptakan peta baru negara-negara di kawasan Arab
dan sekitarnya dan penataan hegemoni politik dan ekonomi baru di atasnya.
Akan seperti apa peta baru tersebut, kita semua masih meraba. Hampir semua
negara di kawasan tersebut sibuk dalam orkestra tak beraturan. Turki
sekalipun mengalami hal yang sama. Turki dihadapkan pada manajemen konflik
yang melibatkan banyak variabel: Suriah, Iran, Rusia, Kurdi, ISIS, dan juga
agenda konflik elite dalam negerinya.
Dalam kesibukan
orkestra tak beraturan ini ada satu negara (seminegara) yang nyaris sendirian
dan terisolasi yaitu Palestina. Arus bantuan keuangan terputus, arus dukungan
politik mandeg dan kusut. Lalu, tekanan militer Israel ke Palestina makin
ekspansif dan brutal.
Tapi, potret konflik
Palestina versus Israel makin buram dari penglihatan dunia. Apa yang akan
terjadi dengan Palestina? Kita tidak tahu. Yang pasti bangsa terjajah ini
sedang terhimpit dan terinjak oleh konflik kawasan yang sedang terjadi.
Keamanan, Politik Luar Negeri, dan Kepemimpinan
Indonesia, negara
muslim terbesar dunia, pastilah akan diseret untuk menjadi bagian dari perang
proxy yang melibatkan ISIS dan
kekuatan-kekuatan besar aktor negara di belakangnya. Pertama, Indonesia
dijadikan salah satu sumber rekrutmen foreign
fighters bagi ISIS di Irak dan Suriah.
Di mana hal itu sudah
berlangsung dan akan terus berjalan. Kedua, kelompok- kelompok radikal yang
sudah lama ada (sekitar 15-16 kelompok) akan terus digalang untuk berpatron
dengan ISIS dan kemudian menjalankan operasinya di dalam negeri. Bisa
dipastikan mereka yang menamakan diri pendukung atau bagian dari ISIS di
Indonesia bukanlah aktor baru. Kelompok, anggota, jaringan, daerah basis, dan
pola gerakannya relatif sudah teridentifikasi oleh pihak keamanan dan
intelijen Indonesia.
Pengendalian
situasi-kondisi akan sangat ditentukan oleh tingkat kecepatan dan ketepatan
aktor keamanan dalam deteksi dini, cegah dini, dan pre-emptive action. Namun, penanggulangan terhadap
kelompok-kelompok radikal ini akan berkepanjangan manakala tingkat koordinasi
kerja antara Polri, BIN, BNPT, dan juga TNI tidak berjalan baik.
Termasuk juga dengan
pihak imigrasi, pengendali transaksi keuangan, dan pengendali komunikasi
siber. Sebab lain yang klasik adalah apabila masih ada pihak dalam aktor keamanan
negara yang bermain-main dengan mengelola kelompok-kelompok radikal dengan pendekatan
proyek. Sejarah Orde Baru menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok radikal
dikelola sebagai instrumen proxy untuk kepentingan politik penguasa saat itu.
Persoalannya yang jauh
lebih besar ketimbang ISIS semata adalah bagaimana kebijakan politik luar
negeri Indonesia menyikapi konflik kawasan yang berciri perang proxy dan multivariabel serta
cenderung meluas ini? Selain itu, bagaimana Pemerintah Indonesia melakukan
manajemen krisis untuk mengantisipasi dampak ikutan dari konflik kawasan
tersebut? Seperti terkonsolidasinya hubungan patron kelompok-kelompok radikal
dengan ISIS, potensi konflik terbuka pengikut Sunni-Syiah,
aksi-aksi teror nyata yang semakin terbuka, dan pengendalian terhadap faktor-faktor
dalam negeri yang bisa menyuburkan konflik horizontal dan menyuburkan
aksi-aksi teror tersebut.
Sejatinya,
pengendalian situasi- kondisi ini membutuhkan kepemimpinan dan manajemen
pemerintahan yang solid dan efektif. Hanya dengan modal itu, pemerintah akan
mampu memobilisasi arah, dukungan, dan partisipasi semua pihak untuk bekerja
bersama-sama menjaga dan membangun Indonesia.
Belajar dari kasus Din
Minimi, meski kesigapan BIN harus dihargai, tampak jelas lemahnya koordinasi,
tidak ada kesatuan sikap langkah, dan juga tidak jelasnya arah kebijakan
kepemimpinan. Padahal, jika kita mau membuka lebar ”karpet” Bumi Nusantara
ini, perang proxy juga sedang terjadi di berbagai bidang kehidupan. Politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan bahkan ideologi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar