Arah Perombakan Kabinet Jilid 2
Syamsuddin Haris ; Profesor
Riset LIPI
|
KOMPAS, 27 Januari
2016
Para petinggi Partai
Amanat Nasional tengah harap-harap cemas, menunggu momen apakah akhirnya PAN
masuk Kabinet Kerja, setelah menyatakan dukungannya kepada Presiden Joko
Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Benarkah PAN akan masuk kabinet? Ke mana arah
perombakan kabinet jilid 2?
Rona wajah beberapa
petinggi PAN, termasuk Ketua Umum Zulkifli Hasan, belakangan sering tampak
sumringah di depan kamera. Para petinggi PAN yakin bahwa dukungan politik
mereka terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang dideklarasikan di Istana beberapa
waktu lalu tidak dianggap gratis sehingga akan ada kompensasi dalam bentuk
jatah menteri.
Presiden Jokowi sudah
memberi sinyal ihwal rencana reshuffle kabinet jilid 2, tetapi belum
menyinggung apakah akan ada "wajah baru" di kabinet. Jika pun PAN
diajak serta, belum jelas bagi kita apakah Presiden Jokowi melakukan itu
dengan cara mengurangi "jatah" kursi dari koalisi parpol pendukung
lain atau dengan mengurangi menteri dari kalangan profesional nonpartai.
Pertanyaan lain adalah
haruskah PAN atau partai lain memperoleh kompensasi kursi kabinet hanya
memberi dukungan politik kepada pemerintahan Jokowi-JK?
Kabinet berbasis kinerja
Sejauh yang terekam
dalam memori publik, tak ada kesepakatan politik tertulis apa pun antara
Jokowi-JK dengan koalisi partai pendukungnya, dalam hal ini koalisi Kerja
Sama Partai Politik Pendukung Pemerintah (KP4, sebelumnya dikenal sebagai
Koalisi Indonesia Hebat). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang
menjadi basis politik Jokowi, serta Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sebagai partai-partai yang tergabung
dalam KP4 tidak pernah menandatangani kontrak politik tertulis dengan
Jokowi-JK. Hal yang sama terjadi dengan PAN. Tidak ada memorandum of
understanding atau semacamnya antara Jokowi dan Zulkifli Hasan selaku Ketua
Umum PAN.
Dengan demikian,
sebenarnya tidak ada kewajiban bagi Presiden
Jokowi untuk membagi-bagi kursi
menteri sebagai kompensasi atas dukungan politik partai-partai. Kursi kabinet
diberikan lebih sebagai penghargaan Jokowi
terhadap partai-partai yang mendukungnya secara tulus, dalam arti mau
bekerja bergotong royong membangun negeri kita menjadi lebih baik, lebih
adil, dan lebih sejahtera. Karena itu, partai apa mendapatkan (posisi
menteri) apa, dan berapa banyak, tidak tergantung pada besar-kecilnya perolehan
suara dalam pemilu legislatif.
Saya menduga, Presiden
Jokowi menganut cara pandang di atas. Bagi Jokowi, jumlah kursi kabinet yang
diperoleh parpol pendukung tidak ditentukan oleh proporsi besar-kecilnya
parpol hasil pemilu legislatif, tetapi lebih ditentukan kualitas kontribusi
setiap partai dalam mewujudkan visi misi Presiden khususnya dan memajukan
kehidupan bangsa.
Itu artinya, arah
perombakan kabinet jilid 2 bukanlah dalam rangka memberikan kompensasi atas
dukungan politik partai pendukung, baik lama maupun baru, melainkan lebih
dalam rangka mempertajam fokus kerja para menteri itu sendiri. Presiden
Jokowi menginginkan agar kabinetnya berbasis kinerja. Seperti dinyatakan
berulang-ulang oleh mantan Wali Kota Solo tersebut, pemerintah berharap tahun
2016 menjadi momentum percepatan pembangunan, dan itu berarti percepatan
kinerja kabinet, sehingga perekonomian nasional yang melambat pada 2015
segera bisa dipulihkan.
Problem Kabinet Kerja
Kabinet Kerja pernah
dirombak pada pekan kedua Agustus 2015 yang lalu. Empat menteri dan seorang
pejabat setingkat menteri dicopot, seorang lainnya dimutasi ke posisi
berbeda. Namun, hasil perombakan kabinet jilid 1 tersebut tampaknya tidak
memuaskan Jokowi.
Paling kurang ada tiga
problem kabinet setelah perombakan tahun lalu. Pertama, ternyata tidak semua
menteri bisa mengikuti irama kerja Presiden Jokowi. Sebagian menteri masih
bekerja dengan kultur lama, yakni cenderung menunggu "petunjuk"
atau "sinyal" dari Presiden, bahkan masih bekerja atas dasar
"asal bapak senang" (ABS).
Beberapa menteri
tampak sibuk, tetapi lebih sebagai rutinitas dan seremoni kementerian
ketimbang sungguh-sungguh menerjemahkan Nawacita Jokowi-JK ke dalam agenda
aksi dan kebijakan. Tidak mengherankan jika sejumlah survei satu tahun pemerintahan
hasil Pemilu 2014 mengonfirmasi masih tingginya kekecewaan publik terhadap
kinerja kabinet.
Kedua, Jokowi adalah
tipikal Presiden yang lebih suka bekerja ketimbang berwacana. Karena itu,
Jokowi sangat berharap agar para pembantunya memiliki inisiatif dan
kreativitas dalam menerjemahkan visi-misi Jokowi-JK ke dalam kebijakan sesuai
tugas dan tanggung jawab teknis kementerian masing-masing. Seperti potret
dirinya, Jokowi berharap para menteri tidak bertele-tele dan cepat
mengeksekusi kebijakan di dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawab mereka
agar hasil kerja pemerintah secepatnya dapat dilihat dan dinikmati rakyat.
Ketiga, kerja sama
antarmenteri dan konsolidasi internal kabinet belum optimal. Hal ini tampak
antara lain dari kecenderungan beberapa menteri menyalahkan dan
"mencibir" menteri lain, bahkan ada yang mengkritik secara terbuka
terhadap kebijakan pemerintah meskipun sang menteri adalah bagian dari
pemerintah. Kecenderungan ini jelas tidak sehat, bukan hanya karena membuat
"gaduh" dan menciptakan kesan seolah-olah ada friksi di antara para
menteri, tetapi juga berpotensi memperoleh respons negatif dari pasar dan
dunia usaha. Ringkasnya, perombakan diperlukan untuk mengurangi kegaduhan di
satu pihak, dan meningkatkan kerja sama serta konsolidasi internal kabinet di
lain pihak.
Arah perombakan kabinet
Itu artinya, arah perombakan kabinet jilid 2 mungkin
agak meleset dari ekspektasi banyak pihak, terutama partai pendukung
Jokowi-JK. Sebagai ungkapan kekecewaan terhadap kinerja buruk sebagian
menteri dari parpol, Jokowi mungkin akan mengurangi jatah menteri dari
koalisi partai pendukung khususnya Nasdem, PKB, dan Hanura. Sebaliknya,
sebagai bentuk penghargaan terhadap dukungan politiknya, Jokowi akan
memberikan kompensasi jabatan menteri bagi PAN.
Demi tujuan percepatan
kinerja pemerintah pula, tidak mustahil Presiden Jokowi akan mengabaikan
tekanan politik atas dirinya, termasuk dari Ketua Umum PDI-P Megawati yang
secara tak langsung meminta agar mantan Gubernur DKI Jakarta itu mencopot
Menteri BUMN Rini Soemarno. Karena itu, sejauh mana Jokowi bisa benar-benar
otonom dari pengaruh serta tekanan politik Megawati atau tokoh lain dalam
merombak kabinet, akan sangat menentukan efektivitas kabinet ke depan serta
kinerja pemerintahan Jokowi-JK pada umumnya.
Semoga saja Presiden
Jokowi menemukan kembali karakter kepemimpinannya yang tidak mudah goyah oleh
berbagai bujukan dan tekanan politik. Sudah saatnya Jokowi menjadi presiden
yang benar-benar "presidensial", dalam arti Presiden yang hanya
tunduk kepada konstitusi dan aspirasi rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar