Buaya Versus Budaya dan Humaniora
Mudji Sutrisno ; Guru Besar STF Driyarkara; Dosen Pasca
Sarjana UI; Budayawan
|
KORAN
SINDO, 21 Januari 2016
Humaniora berasal dari
kata bahasa latin humanus-humana-humanum,
yang harfiah berarti manusiawi. Dalam bahasa cakap sehari-hari merupakan
watak manusia.
Maka kata humaniora
lalu memuat makna usaha untuk menjadi lebih manusiawi karena superlatif kata
sifat lebih manusiawi termuat di dalamnya ketika ditaruh dalam konteks
pendidikan. Pendidik dan filsuf Indonesia Driyarkara menggunakannya dalam dua
ranah. Ranah pertama untuk menunjuk proses pendidikan sebagai proses
memanusiakan manusia dalam pendidikan anak muda.
Sehingga cita-cita
yang mau dituju dan dicapai untuk pendidikan anak muda agar ia semakin
manusiawi dengan proses memanusiakan manusia. Ranah kedua, Driyarkara
menunjuk wilayah sosialitas manusia yang ia cita-citakan sebagai lawan dari
kondisi sosial hubungan antar manusia yang karena dimotori oleh hasrat menguasai
dan nafsu ekonomis dan politisnya oleh Thomas Hobbes berciri saling
mengerkah, seperti serigala yang berebut makanan yaitu homo homini lupus.
Maka Driyarkara
menunjuk sosialitas manusia lawan (antitesis) keadaan saling mengerkah,
menggigit, membunuh sebagai binatang (serigala) itu dalam relasi saling
bersahabat manusia, yaitu homo homini
socius : manusia adalah kawan, atau rekan di dunia ini. Ke mana? Menuju
kesejahteraan, menuju kebahagiaan dalam hubungan sosial mereka.
Pendidikan anak muda
diproses untuk mengutuhkan atau mengintegrasikan unsurunsur fisik manusia,
raganya dengan sisi-sisi biologisnya dalam hominisasi. Sedangkan dimensi jiwa
atau olah batin diproses dalam humanisasi. Humanisasi adalah proses
pendidikan yang terus-menerus untuk mengolah pengalaman menghayati kehidupan,
penyerapan dan pembatinan (internalisasi yang berharga dan yang bernilai
dalam hidup ini) agar manusia semakin berharkat dan bermartabat dalam
kemanusiaannya.
Humanisasi agar
manusia semakin manusiawi atau humaniora ini, lalu menjadi usaha sederhana
langkah-langkah kecil bersahaja sebagai laku untuk gaul bersama atau srawung
: komunikasi interpersonal sebagai sesama kawan dengan perbedaan watak dan
tetap memperjuangkan hormat pada keunikan masing-masing orang agar lebih
human, lebih manusiawi.
Di mana proses gaul
bersama atau srawung ini mewujud dan dirajut? Dalam ranah budaya sebagai
ranah yang benar, yang baik, yang indah dan yang suci dari kehidupan ini yang
secara canggih dirumuskan sistematis logis sebagai sistem nilai. Dan yang
sehari-hari dihayati tanpa potensi merumus-rumuskan rasional merupakan arti
hidup. Di sinilah untuk orang-orang biasa setiap tindakan atau laku hidupnya
yang diberi makna, itulah kebudayaan.
Kalau tindakan atau
perilakunya masih didorong oleh hasrat kuasa, naluri hominisasi, maka
Driyarkara dengan cerdik menamainya tindakan kebuaya- an. Ia meski orang
tetapi tingkah laku sebagai buaya. Kebuayaan ini musuh-musuh yang harus
diproses agar menjadi kebudayaan. Oleh karena itu dengan mengambil logika
sejajar alias analogi antara kebuayaan (dari buaya) versus kebudayaan (dari
kata budaya).
Perumus dan pemikir
dua cara hidup yang berlawanan ini dilanjutkan sebagai cara hidup mau
memiliki semuanya secara tanpa batas alias serakah yaitu having (pemilikan) dan yang kedua adalah cara hidup menghayati
makna esensi keberadaan atau being . Inilah Erich Fromm yang membagi dua cara
manusia menghayati hidup. Dari mana Erich Fromm menimba dua cara hidup ini?
Sigmund Freud-lah yang
menjadi sumber pengembangannya lantaran psikologi bawah sadar dan kesadaran
hasil psikoanalis Freud menemukan empiris dari para pasienpasiennya, bahwa
terdapat dua naluri kehidupan manusia yang menyumberinya yaitu naluri untuk
hidup (eros) dan naluri untuk
menghancurkan hidup (thanatos).
Oleh karena itu pula dua rajutan kebudayaan sebagai konsekuensi dua naluri
ini adalah life culture (budaya
yang memperjuangkan, merawat hidup) dan death
culture : budaya yang antikehidupan alias meniadakan, merusak hidup.
Ketika pendidikan digarap,
dikembangkan dan dikonstruksikan tidak hanya untuk menyediakan ruang-ruang
yang lebih menciptakan life culture daripada death culture , maka di sana
pertanyaan kunci mendasar untuk pilihan arah pendidikan humaniora adalah
siapakah si subyek sekaligus obyek proses memanusiakannya agar semakin
manusiawi?
Bila ranah pendidikan
mengutamakannya sebagai obyek pendidikan dan pandangan manusianya adalah ia
harus didisiplinkan, ditanami yang baik, yang benar secara penuh keras dan
disiplin karena asumsi antropologisnya ia adalah buaya, maka model-model
pendidikan spartan yang keras, fisik dan komandolah yang akan diambil seperti
riwayat asal pendidikan klasik ala Sparta Yunani.
Namun bila manusia
dipandang sebagai subyek, pelaku yang sudah mengolah sendiri dari budayanya
nilai-nilai, maka model pendidikan kebidanan Socrates-lah yang diterapkan.
Inti pendidikan kebidanan atau maiutike tekhne adalah asumsi antropologis
bahwa tugas pendidikan adalah seperti bidan yang menyiapkan, mengondisikan
ruang bersalin optimal bagi lahirnya bayi.
Dalam menyiapkan
lahirnya dan pencarian kebenaran hidup, guru mengajak terus dengan
pertanyaan- pertanyaan mendasar pada murid sampai ia sendiri melahirkan
kebenarannya. Ketika budaya diartikan tegas sebagai daya atau kekuatan budi
dan budi dimaknai sebagai hanya pikir serta dilupakan makna-makna mata budi
sebagai mata batin pengolah apa-apa yang dihayati dengan indra-indranya
apalagi dilupakannya makna budi sebagai ranah nurani tempat penderahan
kebenaran hidup, maka akibatnya terjadi reduksionisme (pemikiran) pemaknaan
budi hanya pada rasionalitas lalu pengetahuan kognitif atau rasionalitas daya
pikir nalar belaka.
Herankah kita bila
ketegangan proses pendidikan berada dalam dua pendulum pembuayaan versus
pembudayaan? yang dalam puncak ekstremnya dua proses menjadi hasil akhir
pembudayaan untuk pendidikan humaniora semakin manusiawi dengan puncaknya
yaitu keadaban. Sedang pembuayaan yang terus dikejar akhirnya menjadi
kebiadaban. Yang pertama karena daya budi life culture membuahkan
kemartabatan. Yang kedua dengan sumber death culture membuahkan kematian.
Dari paparan di atas
saya ingin mengerucutkan dalam urai pentingnya pendidikan kebudayaan sebagai
daya dari budi yang dengan kesadarannya mampu memilah nilai-nilai pro life (life culture) dan death culture (anti kehidupan). Ketika manusia dengan kesadaran
budi (dan mata nurani) serta berdaya untuk diberi ranah pengembangannya agar
semakin manusiawi, maka pendidikan kesadaran diperlukan sebagai penyadaran
untuk membereskan sisi-sisi kebuayaan (buaya)nya atau dorongan-dorongan anti
kehidupan alias thanatos-nya.
Inilah yang diajakkan
pada penyediaan ruang-ruang hidup pondok, seminarium (ada interaksi saling
mencontoh antara guru dan murid karena tingga bersama dalam menghayati ruang
hidup bersama) yang oleh Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya dinamai
pawiyatan.
Ki Hajar dengan jernih
menunjuk ranah pendidikan adalah seperti ranah sawah dari paman-paman tani
(ada lagunya) untuk menabur benih padi sebagai keunikan subjek murid yang
beda perawatannya dengan jagung atau kayu jati (simbolik murid-murid dengan
watak-wataknya yang unik). Maka laku pendidikan menjadi saling mengasuh,
saling mengasah dan saling mencerdaskan demi kehidupan.
Guru dalam sosialitas
dengan murid-murid sehari-hari, lalu hadir berperan sebagai: ing ngarso sung tuladha (di depan
dijadikan teladan); ing madya mangun
karsa (di tengah medayakan tumbuhnya kehendak); dan ing wuri (tut wuri) handayani (di belakang memberi penguatan,
mendorong menguatkan. Bukankah senafas dan sama ruh-nya dengan homo homini socius-nya Driyarkara?
Bukankah sesemangat
yang serupa dengan proses pembidanan maieutike tekhne ? Untuk menutup tulisan
ini, ketika humaniora sebagai kata kerja budaya untuk memberi makna dalam
kebersamaan kita yang bineka dan ika di Indonesia, maka humaniora lalu
menjadi tindakan-tindakan (laku hidup) untuk memberi dimensi manusiawi dalam
proses pembuatan ranah-ranah pendidikan, pembuatan struktur, penciptaan
rumah-rumah budaya agar tiap warga masyarakat semakin dihormati dalam
harkatnya karena ia adalah manusia.
Ia tak boleh dijadikan
obyek atau alat untuk mencapai tujuan. Humaniora di ranah hukum adalah
keadilan. Humaniora di ranah ekonomi adalah pemerataan. Di ranah sosial
kebudayaan adalah sejahtera. Manusia sebagai manusia yang terus diperjuangkan
karena ia berharkat dan bermartabat, lantaran ia gambar Allah sendiri, citra
agung-Nya untuk pria dan citra ayu-Nya untuk perempuan.
Dan betapa dahsyat
pengalaman sejarah kita sebagai bangsa lantaran para pendiri bangsa dengan
kesadaran matangnya sadar budi dan nuraninya kalau perjuangan humaniora ini
mustahil tanpa kemerdekaan. Lebih dahsyat lagi karena para pendiri bangsa
menyadari kemerdekaan kita sebagai berkat dan rahmat Tuhan Allah sumber dan
pencipta kehidupan.
Lihatlah itu ditulis
mendalam dalam preambul (mukadimah UUD 1945). Semoga ikhtiar pendidikan kita
penuh dengan kesadaran historis dan humaniora ini. Dan juga lupa-lupa memori
kita harus setiap kali dibangunkan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar