Senin, 25 Januari 2016

Tiada Kata-kata

Tiada Kata-kata

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 24 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sepanjang 2015, lebih dari 21.000 orang Suriah tewas. Sebagian besar dari mereka adalah penduduk sipil (Syrian Network for Human Rights). Data yang disodorkan The Syrian Observatory for Human Rights tentang jumlah korban tewas sejak perang pecah pada 2011 hingga pertengahan 2015 tak kalah menggetarkan: 240.381 orang tewas, termasuk 12.000 anak-anak!

Apakah seluruh korban tewas sudah dihitung? Bisa jadi ada yang terlewatkan atau tidak dilaporkan. Kalau ditambah dengan korban luka, dan pengungsi, tentu akibat perang Suriah sungguh sangat mengerikan, menakutkan, dan menggetarkan.

Tidak hanya perang yang telah mencabut demikian banyak nyawa. Terorisme juga menjadi pencabut nyawa manusia yang sangat mengerikan. Menurut data yang dikeluarkan "Institute for Economics and Peace" (2015), sebuah global think tank yang berbasis di Sydney, New York, dan Mexico City, sepanjang tahun 2014, sebanyak 32.727 orang tewas karena terorisme. Jumlah korban tewas tersebut melonjak demikian tinggi jika dibandingkan korban tewas akibat terorisme sepanjang 2013, yang tercatat 18.066 orang.

Yang menarik, sekaligus memprihatinkan, sekitar 30 persen korban tewas pada 2014 berasal dari Irak. Sepanjang 2014, di Irak, terjadi 3.370 serangan teroris yang menewaskan 9.900 orang (sekadar perbandingan, pada 2006, sebanyak 20.487 orang tewas karena aksi teror dan tahun 2007 korban tewas naik menjadi 22.719 orang). Jumlah korban karena aksi teror itu belum termasuk korban teror yang terjadi sepanjang 2015 dan awal 2016, di Paris, Beirut, Tunis, Ankara, Istanbul, Jakarta, Charsadda (Pakistan), dan sejumlah kota di Afrika, yang kerap kali terjadi.

Inilah potret kekejian manusia terhadap manusia lain. Inilah "kekejian yang membinasakan". Istilah "kekejian yang membinasakan" itu muncul karena tindakan Antiokhus IV Epiphanes, raja dari Dinasti Seleukus (Seleukid), yang meraja antara tahun 175 dan 164 SM. Selama menjadi raja, cita-citanya adalah menyatukan imperiumnya melalui kebudayaan Yunani, atau Hellenistik. Ahli sejarah Jerman, Johann Gustav Droysen, mengatakan, peradaban Hellenistik adalah fusi/gabungan dari peradaban Yunani dengan peradaban Timur Dekat. Pusat kebudayaan utama berkembang dari daratan Yunani ke Pergamon, Rhodes, Antiochia, dan Aleksandria/Iskandariyah.

Ia berupaya memaksakan cara hidup, kebiasaan, dan agama Yunani kepada orang Yahudi di Palestina yang menjadi wilayah jajahannya. Sekitar 168 (167?) SM, Antiokhus menjarah Bait Allah milik orang Yahudi di Jerusalem. Di atas mezbah Bait Allah, ia membangun sebuah mezbah baru yang dipersembahkan untuk Zeus, dewa Yunani. Ia juga melarang orang Yahudi menjalankan Sabat dan memerintahkan agar mereka tidak menyunat putra-putra mereka. Siapa pun yang membangkang dihukum mati.

Di mezbah Zeus itulah kemudian Antiokhus mempersembahkan babi. Tindakah inilah yang kemudian dikenal sebagai "kekejian yang membinasakan". Dan, di atas sayap kekejian akan datang yang membinasakan, sampai pemusnahan yang telah ditetapkan menimpa yang membinasakan itu (Daniel). Tetapi, kapan penyebar "kekejian yang membinasakan" itu akan musnah? Itulah pertanyaannya kini, karena "kekejian yang membinasakan" masih terus muncul di mana-mana.

Bisa jadi, "kekejian yang membinasakan" akan terus terjadi, dan bahkan menjadi lebih keji, terutama yang dilakukan para teroris. Frank Barnaby dalam The Future of Terror (2007) memberikan gambaran tentang ancaman terbesar pada abad ke-21 ini.

Terorisme internasional, terutama terorisme fundamentalis, adalah salah satu ancaman terbesar yang dihadapi komunitas internasional. Terorisme fundamentalis merupakan ancaman yang terus-menerus berkembang: ideologi teroris baru disertai metode-metode baru, senjata lebih canggih dan lebih sulit dideteksi, serta serangan (bom) bunuh diri menjadi lebih sulit untuk dihadapi.

Sebelum tragedi 11 September 2001, serangan di New York dan Washington, serangan teror terutama dilakukan karena alasan politik dan nasionalistik. Sebutlah serangan yang dilakukan oleh IRA (di Irlandia), ETA (di Spanyol), Macan Tamil (di Sri Lanka), atau Hamas (yang oleh Barat dimasukkan dalam golongan teroris), dan kelompok Sikh di Punjab. Namun, serangan 11 September 2001 menjadi semacam titik awal terjadinya serangan teror dengan alasan agama. Maka dari itu muncul istilah terorisme agama.

Dari sini muncul istilah "terorisme baru" (agama fundamentalis) dan "terorisme lama" (karena alasan politik dan atau nasionalistik). Meskipun, tak satu pun agama, sebenarnya, yang menganjurkan aksi teror; menebarkan kekejian. Tidak ada!

Kekejian itu lahir di tempat kata-kata kehilangan dayanya ataupun daya tak membutuhkan kata-kata, sehingga, kalaupun diucapkan mereka bisu karena hampa. Kata-kata tak lagi mampu melukiskan penderitaan yang dialami oleh para korban. Kata-kata juga tak berdaya untuk menggambarkan kebengisan, kekejian para pelaku, para penebar teror. Coba lihat gambar atau video kekejian yang dilakukan NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah), misalnya, di Suriah, juga di Irak. Melihat foto dan video itu, yang ada hanya rasa takut. Rasa takut ini ternyata membungkam; membungkam mulut. Padahal, kebungkaman itu juga menakutkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar