Politik Guru
Mohammad Abduhzen ;
Ketua Litbang PB-PGRI
|
KOMPAS, 30 Januari
2016
Peringatan Hari Guru
Nasional 2015 menjadi menarik dibicarakan karena di samping Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan merayakannya
sendiri, tanpa bekerja sama dengan Pengurus Besar PGRI sebagaimana
biasanya, juga karena Kemdikbud dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi mengeluarkan surat edaran senada.
Isi surat edaran itu
antara lain agar para guru tak mengikuti perayaan hari guru dan ulang tahun
yang diselenggarakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 13
Desember 2015 di Gelora Bung Karno, Jakarta. Kehadiran guru dianggap
mengurangi citra guru sebagai pendidik profesional. Organisasi publik (baca:
PGRI) diminta tak mengorganisasikan dan memanfaatkan guru untuk berbagai
kepentingan politik, tetapi fokus pada peningkatan mutu pendidikan, termasuk
peningkatan profesionalisme guru.
Banyak kalangan
menilai kedua surat itu ironis dan berlebihan. Kementerian berlabel reformasi
birokrasi dan pendidikan-kebudayaan yang mestinya motivator revolusi mental
malah spiritnya mengajak kembali ke alam prareformasi dan tak relevan dengan
substansi profesionalisme guru. Dengan profesionalisme guru, pemerintah
seyogianya mengubah pola pikir, sikap, dan perilakunya terhadap guru serta
institusinya. Dengan demikian, guru termotivasi berubah, mengembangkan diri
dan kompetensinya.
Menurut Tilaar (2012),
profesionalisme meniscayakan perubahan perilaku etik dan politik guru karena
status guru akan terdemitologisasi. Mitos guru sebagai manusia sempurna yang
tak boleh salah, atau pekerja sosial yang ikhlas dan tak pantas mengharap
balas, serta guru yang dianggap tabu
berpolitik akan mengalami, bahkan harus, dirasionalisasi.
Perilaku moral guru
profesional akan dituntun dan dibatasi etika profesi yang diawasi dewan
kehormatan guru. Terkait pembayaran, bukanlah aib bagi para guru mengharap
imbalan karena profesionalisme per definisi mengandaikan tingkat pembayaran
dan kecakapan tertentu.
Sejak profesionalisme
dijalankan, pemerintah (pusat dan daerah) mesti membuat perencanaan mengatasi
kekurangan guru dan membenahi
distribusinya berdasarkan profesionalitas, bukan justru memolitikkan. Format
darurat pengadaan dan pemenuhan formasi guru seyogianya diakhiri bersamaan
dengan berakhirnya batas waktu sertifikasi guru dalam jabatan, yaitu tahun
2015.
Alih-alih
memprioritaskan penyelesaian sekitar 1,2 juta guru yang belum tersertifikasi,
dewasa ini pemerintah malah menggalakkan penugasan dan atau pengangkatan guru
yang belum memenuhi prinsip profesionalitas melalui program Sarjana Mengajar
di Daerah Terpencil, Terluar, Tertinggal (SM3T). Kegiatan SM3T kiranya lebih
proporsional jika diposisikan seperti (dulu) dokter PTT bagi yang baru lulus
uji kompetensi dokter Indonesia.
Segala kebijakan
terkait dengan guru hendaknya tak lagi hanya memilih cara gampang tanpa
berpijak pada aturan dan berorientasi perbaikan kinerja. Substansi
profesionalisme guru adalah meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui
peningkatan mutu dan martabat guru.
Karakteristik mental
profesional adalah bekerja sebaik mungkin dengan melakukan perbaikan diri
secara sinambung. Menghidupkan roh dan kesadaran guru tentang karakter
profesional merupakan hal utama yang perlu digarap melalui berbagai program
intervensi kualitatif. Selama ini yang
terjadi lebih pada kegiatan kuantitatif yang nyaris tak signifikan terhadap
mutu guru. Belakangan, Kemdikbud sibuk menguji guru setiap tahun.
Wadah politik guru
Beragam fakta tadi
menggambarkan program profesionalisme guru bukan semata urusan penguasaan
materi ajar, pendekatan, metode, dan teknik mengajar di kelas/sekolah.
Persoalan guru dan praktik kelas tak pernah lepas dari politik pendidikan
nasional: bagaimana kekuasaan diperlakukan terhadap dunia pendidikan,
termasuk guru. Hingga dewasa ini, program profesionalisme kebanyakan sebatas
politisasi guru. Guru kerap diperlakukan bak dakocan yang diberi warna-warni
membelanjakan anggaran, melestarikan kekuasaan, dan mencitrakan diri pejabat.
Agar tak terus-menerus
menjadi obyek politisasi, para guru perlu disadarkan tentang statusnya
sebagai sebuah entitas politik yang
dapat berkontribusi terhadap berbagai kebijakan. Bahkan, menurut Oakes dan
Lipton (Teaching to Change the World, 2003: 430), menjadi guru di abad ke-21,
selain alasan tradisional-seperti hasrat menolong-(perlu dimovitasi) untuk
keadilan sosial dan mengubah dunia ke arah lebih baik.
Pemerintah perlu
membuka ruang dialog yang lebih luas untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan keberanian
guru mengemukakan berbagai gagasan terkait kebijakan yang akan diambil. Tak
zamannya lagi pemerintah terlampau represif dan curiga terhadap guru dan
insti- tusinya karena dapat berakibat pada kejumudan, pemiskinan kreativitas,
dan inovasi dalam pembelajaran. Untuk itulah, UU Guru dan Dosen menetapkan
organisasi profesi guru penting.
Organisasi
"profesi" guru perlu diberi definisi lebih luas dari sekadar tempat
belajar bersama dan bertukar
pengalaman mengajar untuk meningkatkan kompetensi. Organisasi guru perlu
dijadikan wadah politik atau kelompok
kepentingan guru dalam memperjuangkan hak dan kewajiban, perlindungan
profesi, dan kemajuan pendidikan pada umumnya.
Problem profesi
keguruan yang senantiasa berkelindan dengan politik pendidikan hampir tak
mungkin diselesaikan guru secara individu. Sementara itu, posisi guru sangat
lemah sehingga dengan mudah menjadi
bulan-bulanan dan korban kesewenang-wenangan
birokrasi, politisi, murid, orangtua, dan masyarakat. Kasus mudahnya
pemberhentian sepihak seorang kepala sekolah di DKI Jakarta beberapa waktu
lalu lantaran sekadar memberikan keterangan pers tentang ujian nasional
adalah gambaran tak berdayanya guru di hadapan arogansi kekuasaan.
Menjadikan organisasi
guru sebagai entitas politik dan wadah perlindungan profesi kian penting
seiring tumbuhnya kesadaran masyarakat tentang HAM, termasuk hak dan
perlindungan anak dewasa ini. Tuntutan masyarakat terhadap pendidikan yang
bebas dari kekerasan meniscayakan guru mengubah paradigma dan kebiasaannya.
Beberapa kasus yang ditangani lembaga konsultasi dan bantuan hukum PGRI
menunjukkan betapa upaya edukasi dengan kekerasan fisik dan verbal (termasuk
jentikan, jeweran, dan kekasaran kata) harus ditinggalkan. Organisasi guru perlu proaktif merespons perkembangan ini
sebagai momentum mengubah pola pikir guru terhadap tugasnya.
Pemilu dan guru
Politisasi guru makin
marak dengan berbagai pemilu di Tanah Air. Pada Orde Baru, para guru-di bawah
kendali organisasi guru-menyokong dan menyalurkan aspirasi politiknya pada
organisasi politik penguasa. Imbalannya, satu dua orang pegiat
pendidikan dijadikan (calon) anggota
DPR/DPRD lewat organisasi itu. Beberapa fungsionaris organisasi guru atau
pegiat pendidikan lain ditunjuk/diangkat menjadi utusan golongan di MPR. Di
bawah komando Orba, organisasi guru relatif solid dan jarang mengkritik
kebijakan pendidikan pemerintah.
Di era reformasi,
terbuka peluang bagi guru untuk berpartisipasi lebih besar dalam menentukan
arah politik pendidikan. Pertama, dalam berbagai pemilu (legislatif,
presiden, dan kepala daerah) guru bebas dan berposisi tawar menyalurkan hak
pilih sesuai aspirasinya. Organisasi guru dapat bersepakat dan mengarahkan
anggotanya memilih calon tertentu yang mengusung visi atau berkomitmen pada
kemajuan pendidikan. Kedua, organisasi
guru dapat berperan sebagai kelompok
pendesak terhadap pemerintah agar berbagai kebijakan, termasuk peraturan
daerah, berpihak pada guru dan kemajuan pendidikan. Ketiga, melakukan kontrol
atas penggunaan isu pendidikan yang berpotensi
menyesatkan publik, terutama dalam masa kampanye. Organisasi guru dapat
melindungi guru dan kepala sekolah dari politisasi dan kriminalisasi, seperti
pemindahan atau pemberhentian sepihak dari jabatan terkait dukungan politik
yang berseberangan dengan kekuasaan. Politik guru dapat dijalankan dengan
baik hanya jika organisasi guru solid. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar