Oposisi Dulu, Koalisi Kemudian
Bawono Kumoro ; Head of Politics and Government Department
The Habibie Center Jakarta
|
JAWA POS, 29
Januari 2016
PARTAI Golkar baru saja selesai menggelar
rapat pimpinan nasional (rapimnas). Selain memutuskan menggelar musyawarah
luar biasa (munaslub) untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan partai, melalui
rapimnas tersebut, Golkar mendeklarasikan diri bergabung dalam koalisi
partai-partai pendukung pemerintah.
Setelah Partai Amanat Nasional bergeser haluan
dari partai oposisi menjadi partai pendukung pemerintah, perubahan sikap
politik serupa dari Partai Golkar jelas mengguncang soliditas Koalisi Merah
Putih. Di kubu berseberangan, perubahan sikap politik Partai Golkar tentu
merupakan kabar baik sehingga diterima dengan tangan terbuka.
Perubahan sikap politik Partai Golkar otomatis
juga akan berdampak pada perubahan komposisi kursi di parlemen. Kekuatan
koalisi pendukung pemerintah di parlemen jelas semakin besar.
Di barisan koalisi partai-partai pendukung
pemerintah saat ini, terdapat lima partai politik berkekuatan 256 kursi di
parlemen. Lima partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (109
kursi), Partai Amanat Nasional (48 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (47
kursi), Partai Nasdem (36 kursi), dan Partai Hanura (16 kursi). Dengan
keikutsertaan Partai Golkar, jumlah kursi koalisi partaipartai pendukung
pemerintah di parlemen menjadi 347 kursi.
Sebaliknya, di barisan oposisi pemerintah,
jumlah kursi otomatis berkurang menjadi tinggal 152 kursi. Bahkan, kalaupun
mampu membujuk Partai Demokrat masuk menjadi bagian Koalisi Merah Putih,
jumlah kursi partai-partai oposisi baru mencapai 213 kursi.
Kontraproduktif
Bukan tidak mungkin bangunan koalisi seperti
itu akan berujung pada kemandulan mekanisme checks and balances antara
lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Alhasil, ketidakseimbangan politik
akan sulit terhindarkan.
Padahal, kehadiran fungsi kontrol lembaga
legislatif terhadap lembaga eksekutif merupakan sebuah keharusan bagi
kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Harus ada kekuatan oposisi yang solid dan
signifikan di parlemen untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar senantiasa
berada di jalur yang benar. Menjatuhkan pilihan politik sebagai kekuatan
oposisi tidak kalah terhormat dengan posisi sebagai partai penguasa.
Dua posisi politik tersebut sama- sama
memiliki arti penting dan strategis bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di
Indonesia. Bangsa ini tentu tidak ingin memiliki lembaga eksekutif terlampau
dominan dan tidak terkontrol sebagaimana di era Orde Lama dan Orde Baru.
Hal lain yang juga patut dikritik dari
perubahan sikap politik Partai Golkar adalah dalih untuk mendorong
efektivitas kinerja lembaga eksekutif sekaligus memperkuat sistem
presidensial.
Padahal, sebagaimana dikatakan Linz dan
Valenzuela (1994), koalisi cuma relevan dalam sistem pemerintahan
parlementer, bukan sistem pemerintahan presidensial seperti yang dianut
Indonesia.
Dalam konteks sistem pemerintahan
presidensial, lembaga eksekutif dan
legislatif merupakan dua lembaga tinggi
terpisah dan tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain. Kelangsungan
hidup lembaga eksekutif tidak bergantung pada dukungan politik partai-partai
di parlemen.
Incar Kursi Kabinet
Jika ditelaah lebih jauh, persoalan koalisi
partai-partai sesungguhnya lebih terkait dengan kepentingan politik jangka
pendek kekuasaan. Seperti jatah kursi di kabinet, ketimbang sebagai ikhtiar
politik untuk mendorong efektivitas kinerja lembaga eksekutif dan memperkuat
sistem presidensial.
Bahkan, boleh jadi, koalisi bukan sekadar
persoalan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Tapi, juga kalkulasi
mobilisasi dana guna keperluan pemilu mendatang.
Sudah menjadi rahasia umum bila jabatan di
kementerian sering kali menjadi pintu masuk aliran dana bagi partai politik
tempat menteri bersangkutan bernaung. Karena itu, tidak salah juga bila kini
berkembang dugaan bila perubahan sikap politik Partai Golkar didorong
motivasi untuk mengincar jabatan di kabinet menjelang reshuffle jilid II.
Tidak ada makan siang gratis, bukan? Tata Ulang
Bila benar perhatian utama partaipartai adalah
mendorong efektivitas kinerja lembaga eksekutif dan memperkuat sistem
presidensial di Indonesia, hal mendesak untuk dilakukan adalah penataan ulang
desain institusi politik.
Penataan ulang desain institusi politik
diarahkan pada satu tujuan utama: agar sistem presidensial dapat lebih
kompatibel dengan sistem multipartai. Penataan ulang desain institusi politik
mencakup desain pemilu, desain parlemen, dan desain lembaga kepresidenan.
Penataan ulang desain pemilu diperlukan agar
pemilu dirancang untuk mendorong penyederhanaan jumlah partai politik dari
multipartai ekstrem ke multipartai sederhana. Hal itu dapat dilakukan, antara
lain, melalui penerapan ambang batas parlemen secara konsisten serta
pelaksanaan serentak pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Adapun penataan ulang desain parlemen
dimaksudkan agar kelembagaan parlemen diarahkan kepada penyederhanaan
polarisasi kekuatan politik. Sementara itu, penataan ulang desain lembaga
kepresidenan diarahkan untuk memperkuat posisi politik presiden di hadapan
parlemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar