Selasa, 12 Januari 2016

Konflik Arab Saudi-Iran dan Peran Indonesia

Konflik Arab Saudi-Iran dan Peran Indonesia

Alfi Hafidh  ;  Mahasiswa Ilmu Sejarah Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang;  Peneliti Politik Islam kontemporer
                                                       JAW POS, 08 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ESKALASI konflik politik di Timur Tengah kembali meninggi. Berakhirnya hubungan diplomatik antara Iran dan Arab Saudi seolah menjadi ledakan perseteruan antardua negara Islam tersebut.

Eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Saudi terhadap Ulama Syiah Sheikh Nimr al Nimr beserta 46 pengikutnya berdampak luas. Gelombang demonstrasi dan protes dari berbagai pihak, terutama pengikut Syiah di Iran, bermunculan.
Mereka mengutuk keras keputusan Saudi atas eksekusi mati terhadap ulama yang sangat mereka hormati dan junjung tinggi tersebut. Bahkan, dalam demonstrasi yang berlangsung di Teheran, Kedutaan Arab Saudi dijebol dan dirusak para demonstran yang meluapkan kemarahan. Tak pelak, aksi tersebut memantik kemarahan Saudi yang seketika itu mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran.

Sikap dan tindakan Iran-Saudi dalam peristiwa tersebut tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Perlu tinjauan dari berbagai aspek, terutama aspek sosiologis dan latar belakang sejarah terbentuknya karakter pemerintah serta masyarakat kedua negara.

Saudi memvonis mati Sheikh Nimr al Nimr karena aksinya dalam protes di Saudi atas perilaku pemerintah Kerajaan Saudi yang dianggap tidak adil kepada kaum minoritas Syiah. Aksi tersebut diduga termotivasi gerakan Arab Spring yang kala itu menjangkiti negara-negara kawasan Arab yang bertujuan menggulingkan kekuasaan kerajaan.

Namun, ternyata aksi tersebut tidak menuai dukungan yang berarti dan berakhir dengan penangkapan Nimr pada 2012 dengan tuduhan terorisme dan dijatuhi hukuman mati oleh otoritas setempat. Meski, saat itu Nimr menentang keras tuduhan tersebut dengan alasan tidak ada kekerasan maupun korban atas aksi yang dia pimpin.

Melihat watak dan karakter negara yang menganut sistem monarki, yang dilakukan Saudi dianggap sebagai upaya untuk menjaga stabilitas negara dan untuk menimbulkan efek jera. Demikian pula dengan Iran. Mereka merasa pantas marah karena eksekusi mati terhadap Nimr merupakan bentuk penghinaan.

Pemerintah Iran mengutuk keras eksekusi tersebut karena ulama Syiah di Iran adalah otoritas yang paling dihormati rakyat. Baik dalam konteks kehidupan politik, sosial, maupun agama. Hal itu dipengaruhi sejarah Revolusi Iran dalam penggulingan dinasti Pahlevi yang dipimpin dan digerakkan seorang ulama (Ayatollah Khomeini), bukan seorang jenderal militer atau tokoh politik.
Bahkan, ulamalah yang menyusun konsep negara Iran dari sistem monarki menjadi sistem teokrasi yang didasarkan pada ’’Guardianship of the Islamic Jurist’’ atau ’’ velayat-e faqih’’ yang kemudian melahirkan Republik Islam Iran melalui Referendum Nasional pada 1 April 1979.

Sengketa Pengaruh

Tak lama berselang dari pengumuman pemutusan hubungan diplomatik tersebut, beberapa negara sekutu Arab Saudi mengikuti langkah serupa. Bahrain menjadi negara sekutu Saudi pertama yang melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran. Kemudian disusul Sudan dan Uni Emirat Arab. Namun, Uni Emirat Arab tidak melakukan pemutusan total, hanya menurunkan status hubungan menjadi kuasa usaha.

Apabila ditarik ke belakang, naik turunnya hubungan Iran dan Saudi tidak bisa dilepaskan dari konstelasi geopolitik kawasan yang diwarnai konflik sektarian antara Sunni dan Syiah. Dari beberapa rentetan konflik di berbagai negara Arab, terlihat jelas bagaimana kedua negara memosisikan diri.

Di Syria, Saudi ditengarai turut membantu para pemberontak setempat untuk menggulingkan Rezim Bashar al-Assad yang didukung penuh oleh Iran. Begitu pula dalam konflik Yaman, pemerintahan Iran terindikasi terlibat dalam aksi pemberontak Houthi yang berhaluan Syiah dan berhasil menggulingkan pemerintahan Ali Abdullah Saleh.

Melihat sekutunya terguling, Saudi pun tidak tinggal diam. Tanpa resolusi dan mengatasnamakan demokrasi, pemerintah Saudi pun melakukan kampanye militer kepada Yaman. Mereka juga berusaha menggalang negara-negara Islam untuk berkoalisi dengan argumentasi melindungi sesama umat Sunni atas tindakan pemberontak Houthi yang beraliran Syiah.

Perseteruan Iran dan Saudi pun merembet ke berbagai sektor. Persoalan musibah yang menimpa para jamaah haji atau yang dikenal dengan tragedi Mina pada tahun lalu pun tidak luput menjadi komoditas konflik.

Saudi diduga menebar opini bahwa musibah tersebut terjadi karena perilaku jamaah Iran yang melawan arus ketika menyusuri terowongan. Iran pun tidak tinggal diam. Iran menuding Saudi tidak becus mengelola haji dan mendesak untuk menyerahkan pengelolaan haji kepada otoritas di luar Saudi, yakni OKI (Organisasi Konferensi Islam).

Pergulatan opini atas tragedi Mina bahkan ramai menjadi perdebatan berbagai media di seluruh penjuru dunia. Media-media di Indonesia pun sempat terpengaruh propagandapropaganda Iran dan Saudi.

Sektor lain yang menjadi musabab permusuhan kedua negara adalah sektor ekonomi. Iran menuding Saudi tidak mengendalikan produksi minyak dan membiarkan dunia dipasok minyak secara berlebih.

Hal itu tentu membuat harga minyak dunia anjlok. Sebagai salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia, Saudi berperan signifikan untuk mengendalikan harga minyak dunia. Dengan begitu, Iran tidak akan meraup ke untungan be sar dari hasil penjualan minyak dan diyakini mampu mempengaruhi kondisi keuangan mereka.

Sikap Indonesia

Sebagai negara berpenduduk muslim Sunni terbesar di dunia, Indonesia secara teologis dekat dengan Saudi. Namun, dalam sejarah politik luar negeri kita, Indonesia dikenal dengan konsistensinya dalam menjaga marwah politik bebas aktif atau netral.

Indonesia selama ini terlihat dekat dengan Saudi, tapi tetap dihormati pemerintah Iran. Karena itu, Indonesia diharapkan menunjukkan kelasnya sebagai juru damai. Bukan sebaliknya, terseret dalam konflik mereka.
Indonesia perlu mengambil peran strategis dalam pusaran konflik kedua negara. Sebab, OKI sebagai wadah negara-negara Islam terlihat tidak berdaya menyaksikan anggota-anggotanya berseteru. Liga Arab pun ditengarai tidak akan mampu berbuat banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar