Hilang Jadi Tawanan
Kristi Poerwandari ;
Penulis
Kolom “PSIKOLOGI” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 24 Januari
2016
Beberapa waktu ini
diberitakan tentang anggota keluarga dan warga masyarakat yang hilang, yang
diduga terlibat dalam aktivitas kelompok tertentu. Sementara itu, keluarga
salah satu pelaku teror Sarinah menyatakan tidak terlibat apa pun dalam teror
karena mereka sudah lama hilang kontak dengan yang bersangkutan.
Bagaimana anak,
saudara, sahabat kita, bahkan diri kita sendiri, yang dikenal lingkungan
sekitar sebagai "baik-baik saja dan biasa-biasa saja", tiba-tiba
berubah sama sekali menjadi individu yang sangat berbeda setelah masuk dalam
suatu kelompok tertentu?
Madeleine Landau
Tobias dan Janja Lalich (1994) menulis Captive
Hearts, Captive Minds: Freedom and Recovery from Cults and Abusive
Relationships, sebuah buku yang dari sisi psikologi sangat membantu kita
lebih mengerti fenomena ini.
Terjerat
Bergabungnya
orang-orang muda dalam kelompok tertentu terjadi di banyak tempat. Ada yang
anggotanya dituntut untuk sepenuhnya patuh, dicuci otak sedemikian rupa untuk
tidak berani atau tidak lagi mempertanyakan apa pun terkait identitas, nilai,
serta ideologi kelompok dan pemimpin. Mereka harus mengganti keyakinan dan
nilai-nilai pribadinya dengan yang diajarkan kelompok. Anggota dimanipulasi
dan dieksploitasi dengan beragam cara untuk mendukung perjuangan kelompok.
Di awal perkenalan
individu umumnya merasa sangat terpikat. Kelompok memberikan perhatian sangat
khusus, misal mengunjungi ketika sakit, mengajak ngobrol ketika sedang
kesepian, menawarkan bantuan uang. Kelompok juga mengisi kekosongan batin
dengan menjadi acuan baru (figur ayah, figur sang bijak, figur penuntun
agama) bagi anak muda yang sedang mencari pegangan.
Kekaguman total
membuat individu melihat segala sesuatu serba hitam-putih. Pada periode ini,
ia mungkin masih tinggal dan berinteraksi dengan lingkungannya, tetapi sudah
menunjukkan banyak perubahan. Ia mungkin banyak berkhotbah, menyalahkan
keluarga, meninggalkan aktivitas rutin seperti pendidikan dan pekerjaan, dan
mulai melakukan berbagai perilaku baru yang tidak lazim. Keluarga mulai
merasa cemas. Meski tinggal bersama, seperti tidak mampu lagi berkoneksi dan
akhirnya individu mungkin betul-betul pergi meninggalkan keluarga.
Individu merasa sangat
bersemangat, mungkin merasa istimewa dan "terpilih", seperti
menemukan spiritualitas, ideologi, atau nilai-nilai baru yang sempurna. Dalam
periode berikutnya, ia mulai merasa ada keganjilan, misalnya karena kelompok
menuntut kepatuhan total, sekaligus menerapkan standar ganda dan
pengistimewaan bagi pemimpin. Tetapi, ia sudah telanjur masuk dalam kelompok
sehingga mencoba mengembangkan rasionalisasi bahwa pilihannya sudah tepat.
Sementara itu,
kelompok lebih intensif melakukan cuci otak, mungkin dengan disertai berbagai
ancaman dan bentuk-bentuk kekerasan. Individu mengalami kebingungan,
terdoktrin bahwa penderitaan yang dialami dalam kelompok merupakan hal yang
harus dijalani untuk memurnikan diri, dan tak berani membebaskan diri.
Akhirnya ia kehilangan diri sendiri dan melakukan berbagai tindakan yang
diperintahkan, dieksploitasi untuk mengumpulkan uang, bahkan mungkin menipu,
merampok, dan menjadi budak seksual dari pemimpin kelompok.
Individu-individu yang
tergabung dengan kelompok berideologi kekerasan mungkin mengalami hal
berbeda. Mereka akan mengembangkan rasionalisasi bahwa bagi semua pilihan
hidup, ada "harga yang harus dibayar". Untuk membersihkan dan
menyucikan dunia, misalnya, dibolehkan dan bahkan mulia untuk menembaki
orang, melempar bom dan meledakkan bom bunuh diri.
Bagaimana keluar?
Siapa pun sesungguhnya
dapat terjebak masuk kelompok seperti ini. Secara psikologis, barangkali yang
lebih mudah terjerat adalah mereka yang memerlukan keterikatan pada sesuatu
di luar diri untuk meningkatkan kemantapan diri, tidak asertif (tidak berani
menyuarakan perbedaan pandangan), mudah dikilik-kilik rasa bersalahnya,
sedang mencari-cari makna hidup, cenderung kaku, membutuhkan jawaban absolut
benar-salah sebagai pegangan hidup, dan kurang bertoleransi dengan keragaman.
Apabila sedang mengalami fase krisis (baru bercerai, ditinggal meninggal
orang dekat, gagal dalam pekerjaan, dan lain-lain) mungkin juga jadi lebih
rentan karena ada kegamangan dan ketidakjelasan arah hidup.
Jika sudah telanjur
bergabung, dan merasakan adanya hal-hal yang tidak beres dan destruktif dalam
kelompok, yang sering terjadi adalah penyangkalan atau rasionalisasi.
Karenanya, penting bagi individu untuk jujur pada diri sendiri dan berupaya
mempertahankan kemampuan berpikir sehat dan kritis ("Aku diperlakukan
buruk dalam kelompok ini"; "Mengapa kami terus dibombardir sebagai
penuh dosa?"; "Semua di luar kelompok dianggap lawan, aku tidak
setuju"; "Aku merasa aneh, memangnya Tuhan mengajarkan demikian?").
Seperti juga apabila
harus keluar dari hubungan berkekerasan, individu perlu menyiapkan
langkah-langkah konkret untuk keluar (merancang kesempatannya, menyiapkan
perlengkapan, menemukan tempat tinggal sementara, dan lain-lain). Apabila
kelompok telah melakukan pelanggaran hukum atau tindak kriminal, individu
juga dapat melaporkan kepada yang berwajib. Mungkin kelompok tidak akan
tinggal diam sehingga menjadi penting untuk memperoleh dukungan dan penguatan
dari orang-orang terdekat dan lingkungan yang lebih luas.
Bagaimanapun di
masyarakat kita ada kecenderungan mudah melekatkan stigma atau cap buruk
kepada kelompok-kelompok yang berbeda. Padahal, yang berbeda itu mungkin
baik-baik saja, bukan kelompok sesat. Semoga kita dapat mendampingi generasi
muda agar berwawasan terbuka, cukup memiliki kemantapan diri agar tidak mudah
terjerat kelompok yang destruktif, sekaligus mampu mempertahankan
penghormatannya terhadap berbagai keragaman yang adalah potensi dan kekayaan
bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar