Senin, 25 Januari 2016

Hilang Jadi Tawanan

Hilang Jadi Tawanan

Kristi Poerwandari  ;  Penulis Kolom “PSIKOLOGI” Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 24 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Beberapa waktu ini diberitakan tentang anggota keluarga dan warga masyarakat yang hilang, yang diduga terlibat dalam aktivitas kelompok tertentu. Sementara itu, keluarga salah satu pelaku teror Sarinah menyatakan tidak terlibat apa pun dalam teror karena mereka sudah lama hilang kontak dengan yang bersangkutan.

Bagaimana anak, saudara, sahabat kita, bahkan diri kita sendiri, yang dikenal lingkungan sekitar sebagai "baik-baik saja dan biasa-biasa saja", tiba-tiba berubah sama sekali menjadi individu yang sangat berbeda setelah masuk dalam suatu kelompok tertentu?

Madeleine Landau Tobias dan Janja Lalich (1994) menulis Captive Hearts, Captive Minds: Freedom and Recovery from Cults and Abusive Relationships, sebuah buku yang dari sisi psikologi sangat membantu kita lebih mengerti fenomena ini.

Terjerat

Bergabungnya orang-orang muda dalam kelompok tertentu terjadi di banyak tempat. Ada yang anggotanya dituntut untuk sepenuhnya patuh, dicuci otak sedemikian rupa untuk tidak berani atau tidak lagi mempertanyakan apa pun terkait identitas, nilai, serta ideologi kelompok dan pemimpin. Mereka harus mengganti keyakinan dan nilai-nilai pribadinya dengan yang diajarkan kelompok. Anggota dimanipulasi dan dieksploitasi dengan beragam cara untuk mendukung perjuangan kelompok.

Di awal perkenalan individu umumnya merasa sangat terpikat. Kelompok memberikan perhatian sangat khusus, misal mengunjungi ketika sakit, mengajak ngobrol ketika sedang kesepian, menawarkan bantuan uang. Kelompok juga mengisi kekosongan batin dengan menjadi acuan baru (figur ayah, figur sang bijak, figur penuntun agama) bagi anak muda yang sedang mencari pegangan.

Kekaguman total membuat individu melihat segala sesuatu serba hitam-putih. Pada periode ini, ia mungkin masih tinggal dan berinteraksi dengan lingkungannya, tetapi sudah menunjukkan banyak perubahan. Ia mungkin banyak berkhotbah, menyalahkan keluarga, meninggalkan aktivitas rutin seperti pendidikan dan pekerjaan, dan mulai melakukan berbagai perilaku baru yang tidak lazim. Keluarga mulai merasa cemas. Meski tinggal bersama, seperti tidak mampu lagi berkoneksi dan akhirnya individu mungkin betul-betul pergi meninggalkan keluarga.

Individu merasa sangat bersemangat, mungkin merasa istimewa dan "terpilih", seperti menemukan spiritualitas, ideologi, atau nilai-nilai baru yang sempurna. Dalam periode berikutnya, ia mulai merasa ada keganjilan, misalnya karena kelompok menuntut kepatuhan total, sekaligus menerapkan standar ganda dan pengistimewaan bagi pemimpin. Tetapi, ia sudah telanjur masuk dalam kelompok sehingga mencoba mengembangkan rasionalisasi bahwa pilihannya sudah tepat.

Sementara itu, kelompok lebih intensif melakukan cuci otak, mungkin dengan disertai berbagai ancaman dan bentuk-bentuk kekerasan. Individu mengalami kebingungan, terdoktrin bahwa penderitaan yang dialami dalam kelompok merupakan hal yang harus dijalani untuk memurnikan diri, dan tak berani membebaskan diri. Akhirnya ia kehilangan diri sendiri dan melakukan berbagai tindakan yang diperintahkan, dieksploitasi untuk mengumpulkan uang, bahkan mungkin menipu, merampok, dan menjadi budak seksual dari pemimpin kelompok.

Individu-individu yang tergabung dengan kelompok berideologi kekerasan mungkin mengalami hal berbeda. Mereka akan mengembangkan rasionalisasi bahwa bagi semua pilihan hidup, ada "harga yang harus dibayar". Untuk membersihkan dan menyucikan dunia, misalnya, dibolehkan dan bahkan mulia untuk menembaki orang, melempar bom dan meledakkan bom bunuh diri.

Bagaimana keluar?

Siapa pun sesungguhnya dapat terjebak masuk kelompok seperti ini. Secara psikologis, barangkali yang lebih mudah terjerat adalah mereka yang memerlukan keterikatan pada sesuatu di luar diri untuk meningkatkan kemantapan diri, tidak asertif (tidak berani menyuarakan perbedaan pandangan), mudah dikilik-kilik rasa bersalahnya, sedang mencari-cari makna hidup, cenderung kaku, membutuhkan jawaban absolut benar-salah sebagai pegangan hidup, dan kurang bertoleransi dengan keragaman. Apabila sedang mengalami fase krisis (baru bercerai, ditinggal meninggal orang dekat, gagal dalam pekerjaan, dan lain-lain) mungkin juga jadi lebih rentan karena ada kegamangan dan ketidakjelasan arah hidup.

Jika sudah telanjur bergabung, dan merasakan adanya hal-hal yang tidak beres dan destruktif dalam kelompok, yang sering terjadi adalah penyangkalan atau rasionalisasi. Karenanya, penting bagi individu untuk jujur pada diri sendiri dan berupaya mempertahankan kemampuan berpikir sehat dan kritis ("Aku diperlakukan buruk dalam kelompok ini"; "Mengapa kami terus dibombardir sebagai penuh dosa?"; "Semua di luar kelompok dianggap lawan, aku tidak setuju"; "Aku merasa aneh, memangnya Tuhan mengajarkan demikian?").

Seperti juga apabila harus keluar dari hubungan berkekerasan, individu perlu menyiapkan langkah-langkah konkret untuk keluar (merancang kesempatannya, menyiapkan perlengkapan, menemukan tempat tinggal sementara, dan lain-lain). Apabila kelompok telah melakukan pelanggaran hukum atau tindak kriminal, individu juga dapat melaporkan kepada yang berwajib. Mungkin kelompok tidak akan tinggal diam sehingga menjadi penting untuk memperoleh dukungan dan penguatan dari orang-orang terdekat dan lingkungan yang lebih luas.

Bagaimanapun di masyarakat kita ada kecenderungan mudah melekatkan stigma atau cap buruk kepada kelompok-kelompok yang berbeda. Padahal, yang berbeda itu mungkin baik-baik saja, bukan kelompok sesat. Semoga kita dapat mendampingi generasi muda agar berwawasan terbuka, cukup memiliki kemantapan diri agar tidak mudah terjerat kelompok yang destruktif, sekaligus mampu mempertahankan penghormatannya terhadap berbagai keragaman yang adalah potensi dan kekayaan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar