Urgensi GBHN di Era Reformasi
I Basis Susilo ; Dosen Hubungan Internasional FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya
|
KOMPAS,
23 Januari 2016
isi, peta jalan,
arah, dan target adalah strategis dan penting bagi negara. Dengan tujuan dan
arah yang jelas itu, perhatian dan energi bangsa bisa diproyeksikan dan
diprioritaskan sehingga produktif untuk pembangunan negara. Tidak adanya
visi, peta jalan, arah, dan target itu menjadikan negara berputar-putar
menghabiskan energi bangsa untuk hal-hal yang tidak penting.
Peta jalan dan repelita
Negara-negara yang
berhasil mengandalkan visi dan garis besar pembangunan dan setia
mewujudkannya. Mereka umumnya menahapkan rencana pembangunan lima
tahunan (repelita) seperti Tiongkok,
India, dan Thailand.
Sejak Republik Rakyat
Tiongkok berdiri pada 1949, Mao Tse-tung telah bertekad mengalahkan AS pada
2049. Untuk itu sejak 1953, Tiongkok punya repelita. Kini Tiongkok berada di
Repelita Ke-12 (2011-2015) dan Maret nanti memasuki Repelita Ke-13
(2016-2020). Pengganti Mao, Deng Xiaoping sampai Xi Jinping, juga punya mimpi
mengalahkan AS pada 2049 itu. Bahkan, pada 2005, negeri itu mencanangkan
target: 2025 menyamai Jepang, 2050 jadi negara maju secara relatif, 2080 jadi
negara maju menyamai AS, dan 2100 menjadi adidaya (superpower) yang menggantikan AS.
India punya repelita
sejak 1951. India kini berada di Repelita Ke-12 (2012-2017), yang intinya
mentransformasi negeri itu ke dalam negara maju. Targetnya jelas: produksi
pertanian dan pangan dua kali lipat dari sekarang; menyediakan energi yang
memadai dan meningkatkan listrik
tenaga surya; penghapusan buta huruf, keamanan sosial, dan semua kesehatan
bagi seluruh rakyat; peningkatan e-governance
untuk mempromosikan pendidikan;
pertumbuhan teknologi nuklir, teknologi dirgantara, dan teknologi
pertahanan.
Thailand kini di
Repelita Ke-11 (2012-2017). Repelita Ke-12 (2017-2021) nanti diberi nama
"No 12 Train" dan akan dicanangkan 1 Oktober nanti. Tapi, PM
Thailand Prayuth Chan-ocha sudah mengumumkan bahwa inti "No 12
Train" adalah pembangunan SDM: mendukung riset dan pengembangan
(R&D) untuk meningkatkan inovasi dan nilai tambah produk, memperbaiki
efisiensi angkatan kerja, menghidupkan lagi skema Satu Distrik Satu Produk (One Tambon One Product), meningkatkan
daya saing UMKM, dan mendukung gerakan "ekonomi digital".
Di Indonesia, visi dan
garis-garis besar haluan negara sudah ada sejak awal kemerdekaan. Sebelum
Orde Baru, ada Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun, Repelita, dan Rencana
Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Masa Orde Baru ada GBHN, Propenas,
Propeda, dan Repelita.
Di era Reformasi tidak
ada lagi GBHN, tetapi muncul Rancangan Pembangunan Jangka Menengah dan
Panjang (RPJMP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Tak adanya
GBHN mendorong beberapa gerakan merancang visi, peta jalan, dan target,
seperti Visi Indonesia 2030, Nawacita, Kapsul Waktu.
Visi Indonesia 2030
diluncurkan Yayasan Forum Indonesia pada 2007. Targetnya amat jelas:
Indonesia pada 2030 berpenduduk 285 juta, PDB 5,1 triliun dollar AS, kekuatan ekonomi lima besar di dunia, ada
30 perusahaan dalam negeri yang masuk dalam 500 terbesar dunia, dan
pendapatan per kapita 18.000 dollar AS per tahun. Target itu didasari syarat:
pertumbuhan ekonomi 7,62 persen, inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan
penduduk 1,2 persen per tahun.
Nawacita muncul sejak
kampanye Pilpres 2014 berisi sembilan poin yang mendasari kebijakan
Jokowi-Kalla. Sementara Kapsul Waktu digerakkan pada 2015 yang berisi
impian-impian rakyat untuk dicapai pada 2085. Visi Indonesia 2030, Nawacita maupun
Kapsul Waktu belum bisa disebut GBHN karena tidak dibuat oleh lembaga yang
mewakili seluruh bangsa dan belum disepakati oleh seluruh komponen dan
kekuatan negara-bangsa.
Jika sebelum Reformasi
ada GBHN, sungguh aneh kalau di era Reformasi tidak ada GBHN. Di masa
demokratis ini aspirasi bebas muncul ibarat air di musim hujan, yang kalau
tidak diwadahi, dikelola, dan dilembagakan, akan menjadi tak jelas dan tak
produktif bagi kemajuan negara bangsa kita. Dalam kaitan ini bisa dipahami
kalau pidato Megawati secara umum mendapat sambutan positif.
Bernas dan proporsional
Untuk itu, untuk
membuat GBHN yang baru, beberapa hal perlu kita pertimbangkan. Pertama, GBHN
haruslah disahkan oleh lembaga yang mencakup semua unsur kekuatan bangsa
sehingga produknya sah dan disepakati oleh seluruh komponen bangsa, bukan
hanya eksekutif saja. Untuk membuat draf, kita punya Bappenas, sebagaimana
RRT punya Pusat Penelitian Modernasi, Thailand punya National Economic and Social Development Board (NESDB), dan India
punya National Institute for
Transforming India (NITI).
Problemnya, lembaga apa
yang berwenang untuk mengesahkan GBHN itu. Politik adalah seni untuk
mewujudkan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kalau kemauan politik kuat,
tentu tidak sulit bagi eksekutif, DPR, DPD, dan MPR untuk menyepakati lembaga
apa yang mengesahkan GBHN itu.
Kedua, rumusan-rumusan
yang ada di dalamnya mesti mengerucut pada target-target yang sederhana dan
catchy sehingga mudah masuk di benak semua warga negara. Rumusan GBHN atau
RPJMP yang pernah ada amat panjang dan kompleks karena semuanya ingin
dicakup. Akibatnya, tak seperti di RRT, masyarakat di Indonesia tak tahu
persis target pembangunan nasionalnya. Diperlukan GBHN baru yang bisa dibaca
secara bernas dan sederhana, dengan target-target tegas, sehingga mudah
dicerna seluruh rakyat.
Ketiga, selain kemauan
politik untuk membuat GBHN, juga harus ada kemauan politik yang mendorong dan
menggerakkan seluruh energi bangsa untuk mencapainya. Kendati kita bisa
berasumsi bahwa kalau kesepakatan itu dibuat bersama maka perwujudannya akan
lebih didukung masyarakat, tetapi harus dilakukan upaya terus-menerus
menyosialisasikan dan menggerakkan semua unsur kekuatan bangsa. Hal ini akan
dipermudah kalau kita punya pemerintahan yang kuat.
Keempat, di
negara-negara lain, visi, peta jalan, maupun target nasional biasanya
bersifat economic heavy. Dalam
iklim ekonomi global saat ini, ekonomisasi seluruh aspek kehidupan memang
sedang menggejala. Namun, untuk GBHN baru, kita tak boleh mengalah pada
gejala neoliberal itu. Ekonomi mesti kita tempatkan pada proporsi sewajarnya.
GBHN baru mesti mencakup secara seimbang aspek-aspek kehidupan, yang secara
mendasar sudah tersirat dan tersurat dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar